Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat dan ridhonya sehingga kita sekalian pada hari ini dapat berkumpul, dalam keadaan sehat walafiat, dalam rangka acara Dies Natalies Universitas Budi Luhur Periode April 2007 Tahun Akademik 2007/ 2008.
Sungguh merupakan suatu kebahagiaan dan kehormatan untuk saya pada hari ini, karena dapat berada di tengah-tengah Civitas Akademika Universitas Budi Luhur. Izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan juga penghargaan kepada Bapak Rektor yang terhormat Prof. DR. Ronny Rahman Nitibaskara, para wakil pembantu rektor, para dekan, dosen dan staf Universitas Budi Luhur, yang telah memberikan kesempatan berharga pada sidang terhormat ini untuk menyampaikan orasi (sambutan) dengan tema “Refleksi Keamanan Guna Membangun Kembali Kepercayaan Dunia / Internasional Terhadap Indonesia”.
Orasi ini merupakan sebuah sumbangan untuk lapangan akademik dari refleksi pengalaman saya sendiri saat mengemban tugas selama 37 tahun pada POLRI hingga diberikan kepercayaan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengalaman lapangan dari seorang praktisi sudah barang tentu akan disajikan berbagai fakta empirik yang akan banyak diwarnai oleh subyektifitas penyaji dalam bentuk opini, ide/ gagasan bahkan juga kesan, yang sudah tentu diperlukan suatu kajian akademik dan ilmiahnya lebih lanjut. Semoga menjadi masukan bagi Universitas Budi Luhur dalam pengkajian ilmiahnya.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Dari tema yang saya pilih, hakikatnya ada dua substansi yakni keamanan dan kepercayaan dunia internasional. Oleh karena itu saya mulai dengan pemahaman tentang keamanan, yang berasal dari kata ‘aman”, yang mempunyai makna: security (ketentraman), surety (kepastian), safety (keselamatan) dan peace (perdamaian). Oleh karenanya rasa aman merupakan kebutuhan hakiki setiap insan manusia. Seorang psikolog terkemuka ‘Maslow’, menempatkan rasa aman sebagai ‘basic need’ setelah kebutuhan biologis manusia.
Dalam ketatanegaraan pun baik negara sebagai badan (wadah) ataupun fungsinya dalam melindungi segenap warganya, tentu membutuhkan hal ihwal tentang keamanan, sehingga disebutkan sebagai keamanan negara. Keamanan dalam suatu negara sebagai suatu kondisi ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, tertib dan tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakatnya.
Pengertian keamanan juga dapat dilihat dari suatu konsep dasar pemikiran bangsa kita di masa lalu, yaitu “Tata Tentram Kertaraharja”, disini pemaknaan keamanan yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kesejahteraan, sehingga aspek keamanan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang.
Dengan demikian pemahaman keamanan pada dasarnya merupakan suatu kondisi yang orang per orang dan atau masyarakat dapat melakukan aktifitas sehari-hari, tidak dalam ketakutan, kecemasan, kekhawatiran adanya gangguan dalam bentuk fisik maupun psikis dalam tatanan kehidupan yang dinamis dan demokratis dalam wilayah Republik Indonesia.
Hadirin yang berbahagia,
Substansi kedua dari tema ini yaitu kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat telah lahir sejak kemerdekaannya pada tahun 1945. Bahkan dengan ketokohan kepemimpinan nasional Presiden Sukarno menjadi dikenal di dunia. Dalam perkembangan pergaulan internasional Indonesia telah mengambil peranan penting baik pada tingkat regional maupun internasional. Di tingkat internasional, Indonesia berperan dalam berbagai forum seperti Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dll. Dalam tingkat regional, Indonesia penggagas ASEAN dan dapat julukan ‘Big Brother’ oleh sesama negara ASEAN lainnya.
Perjalanan bangsa ini mengalami pasang surut. Diawali dengan program pembangunan di era ORBA (Orde Baru), bangsa kita menampakkan kekuatan dan kemampuan terutama di bidang pembangunan ekonominya dan didukung dengan keamanan yang stabil. Terpaan ‘krisis’ melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia, diawali krisis moneter sampai dengan ekonomi, dan bahkan Indonesia masuk pula krisis politik, dengan turunnya Pemerintahan dibawah Presiden Soeharto.
Diawali era inilah, dengan terjadinya peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda, terutama di ibukota sebagai pusat Pemerintahan dan kota-kota besar di Indonesia, kondisi itu menggambarkan seakan hukum mati, aparat keamanan tidak mampu mengendalikan situasi.
Peristiwa demi peristiwa yang terjadi sudah tentu menjadi berita bagi media baik dalam maupun luar negeri. Potret tentang Indonesia bagi dunia internasional tentu menjadi buram, karena sebenarnya banyak negara di Asia yang juga terkena dampak krisis moneter, seperti Korea, Thailand, Malaysia, Philipina, tapi tidak menimbulkan terjadi kerusuhan massal seperti di Indonesia.
Pengrusakan dan penjarahan terhadap pusat-pusat perbelanjaan, merupakan bentuk-bentuk penghancuran citra investasi perekonomian, sedangkan jatuhnya korban manusia, yang juga diikuti kejahatan lainnya seperti perampasan dan perkosaan, merupakan keadaan meningkatnya rasa takut, cemas dan khawatir menjadi korban-korban kejahatan berikutnya. Isu penyerangan terhadap kelompok etnik (Keturunan Tionghoa) pun merebak, sehingga ada warga yang harus meninggalkan Indonesia.
Aparat keamanan disaat itu berusaha untuk mengendalikannya, tapi tidak mampu karena berbagai keterbatasan, dalam menghadapi gelombang kerusuhan yang bertubi-tubi sesuai hasil TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) peristiwa kerusuhan Mei 1998. Oleh karena memang peristiwa tersebut, merupakan puncak (kulminasi) dari berbagai persoalan bangsa, baik ekonomi, politik maupun keamanan.
Hadirin Yang saya Hormati,
Saya tidak ingin berpanjang lebar mengenang ingatan kita sekalian akan tragedi kemanusiaan itu dalam konteks gangguan keamanan masa lalu, walaupun kita tidak boleh melupakannya, agar tidak terulang kembali dimasa datang.
Akan tetapi dari peristiwa Mei 1998 itu muncullah berbagai bentuk gangguan keamanan, seperti kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara massal, yaitu: kasus penjarahan di daerah perkebunan baik milik Pemerintah maupun swasta, kasus penjarahan terhadap milik perorangan seperti tambak ikan, udang serta kejahatan kekerasan lainnya.
Apakah memang aparat sudah tidak mampu menghadapi situasi seperti itu? Tentu jawabnya tidak, tapi ada pengakuan yang tertutup, bahwa aparat dalam kondisi gamang atau ragu-ragu. Mengapa terjadi seperti itu? Sepertinya setelah peristiwa Mei 1998 dan diawalinya era reformasi. Banyak hal menjadi tuntutan dalam reformasi itu, termasuk tentu reformasi terhadap aparat keamanan. Tekanan politik untuk mengungkapkan peristiwa Tri Sakti terhadap aparat keamanan dan peristiwa lainnya, yang dianggap sebagai bentuk-bentuk kesewenangan dan simbol kekuasaan, sampai dengan tuntutan pemisahan TNI dan POLRI semakin menguat.
Tuntutan itu memang tuntutan yang wajar dalam era reformasi, tetapi kondisi obyektif aparat keamanan tidak bisa secara otomatis berubah, mengingat perubahan pada hal hal yang substansial, meliputi aspek Instrumental (aturan perundangan), Sistem dan Struktural (organisasi dan prosedural) dan aspek Kultural (sikap dan perilaku).
Sementara aparat sedang mengevaluasi dan mengadopsi perubahan, tuntutan dan tekanan terus mengalir di bidang keamanan. Munculnya issue politik untuk memisahkan diri dari NKRI yang tidak saja di Papua dan Aceh, tapi juga di propinsi lain. Dan pada gilirannya muncul peristiwa di beberapa daerah terjadinya konflik antar kelompok etnik dan bahkan menyeret ke agama. Sebutlah kasus Sanggoledo di Kalimantan Barat, konflik kelompok ini menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda, bahkan terjadi pengungsian.
Peliputan berita luar negeri yang menyolok adalah ditayangkannya kepala manusia yang ditancapkan pada bambu. Peristiwa Ketapang di Jakarta, antar kelompok, dalam peliputan media luar negeri, terlihat seseorang yang dikejar sampai dengan dipotong lehernya. Peristiwa kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah, terjadinya kerugian jiwa dan harta benda, dan pengungsian suku pendatang (Madura) yang belum tuntas.
Selanjutnya yang paling menarik tentu kasus Poso, dan Ambon, Maluku. Peristiwa ini apabila digambarkan menyita waktu yang panjang, karena kedua peristiwa itu terjadi di tahun 1999, sampai baru dapat dikendalikan tahun 2004, yang hingga kini masih menyisakan masalah.
Konflik Poso yang berkepanjangan berawal dari suatu peristiwa kriminal biasa, karena berbagai sebab seperti penanganan yang tidak tuntas oleh aparat, masuknya kelompok tertentu dalam persoalan kasus dan ketidakpuasan dari masing-masing pihak terhadap aparat, memicu terjadi konflik tersebut. Pengrusakan, pembakaran dan pembunuhan antar kelompok dan menyeret juga masalah agama.
Kehadiran orang-orang pendatang dengan berbagai alasan pun menambah panjang permasalahan. Indikasi adanya anggota kelompok jaringan teroris, masuk atau bersembunyi di wilayah inipun sangat mungkin. Poso pun menjadi bagian berita di dunia sebagai daerah konflik dan sarang teroris, sebagaimana dituduhkan bahwa di wilayah Poso dijadikan ajang latihan teroris jaringan internasional, walaupun sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
Konflik Ambon, juga diawali dari peristiwa kriminal biasa, berupa pemalakan, karena ikut munculnya solidaritas kelompok menjadikan peristiwa kecil itu memicu konflik antar kelompok, utamanya warga setempat dan pendatang. Dengan berbagai sebab seperti diuraikan di muka, konlik Ambon dan hampir seluruh wilayah Maluku membawa kehancuran bangunan baik perkantoran, sekolah, universitas, tempat-tempat ibadah, tempat perbelanjaan dan sarana umum lainnya, termasuk tentunya korban manusia yang tidak sedikit.
Kehancuran kota Ambon sangat besar, dibandingkan Poso, karena kantor Gubernur dan Asrama Polisi terbesar Ambon pun habis dibakar. Kerugian yang luar biasa bagi kehidupan warga masyarakat di Ambon. Peristiwa disinipun menyeret masalah agama dan menjadi perhatian dunia, karena dihubungkan pula dengan adanya sinyalemen terorisme, munculnya tokoh Umar Farouk yang pernah tinggal di Ambon, juga berkembang issue separatisme dari RMS (Republik Maluku Selatan).
Hadirin yang berbahagia,
Sementara itu bangsa ini disibukkan oleh penanganan masalah Tim-Tim dalam pasca penentuan jajak pendapat tahun 1999, diperlukan konsentrasi kekuatan aparat di wilayah tersebut. Sedangkan penanganan di Aceh telah pula menguras berbagai sumberdaya, dengan menerapkan berbagai kebijakan dan strategi untuk penyelesaiannya, dari pola penanganan ‘Pemulihan Keamanan Terpadu,’ kemudian ditingkatkan menjadi ‘Darurat Sipil’ dan juga diterapkannya ‘Darurat Militer’ dan upaya dialog dengan kesepakatan COHA (Cessation of Hostility Agreement) dan barulah tahun 2005,
dengan MoU Helsinki. Di wilayah Papua, gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) tetap menuntut perhatian pemerintah, walaupun kekuatan bersenjata yang kecil, tapi tetap menjadi gangguan, seperti penyerangan terhadap PT Free Port, yang menjadi perhatian dunia, khususnya Amerika Serikat.
Di tengah-tengah kesibukan menghadapi konflik-konflik di daerah-daerah, di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera dan Sulawesi, terjadi peristiwa serangan teror Bom. Sasaran serangan teror Bom terhadap pusat perbelanjaan, tempat umum, tempat peribadatan (gereja, mesjid), Kantor, Gedung DPR-RI, Gedung Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Bandara Soekarno-Hatta, Rumah Dinas Dubes Philipina di Jakarta, Gedung BEJ Jakarta, di beberapa tempat di Medan, Bandung dan Makassar. Peristiwa tersebut di atas terjadi pada periode tahun 1999 sampai dengan peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Sangatlah sulit waktu itu untuk mengatakan Indonesia aman. Sekalipun dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, POLRI dapat menemukan pelakunya, tapi belum mampu menghentikan serangan tersebut, karena memang belum ditemukan kelompok jaringannya. Sehingga pada waktu panitia dari PBB untuk menyelenggarakan “Preparatory Summit for Sustainable Development” yang dilaksanakan di Jakarta, terpaksa harus dialihkan ke Denpasar Bali. Pertemuan itu sukses, tanpa gangguan, panitia PBB berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia.
Terjadilah peristiwa 11 September 2001, yaitu serangan teroris terhadap Gedung Kembar WTC, New York, Gedung Pentagon, Washington dan di Pensylvania, Amerika Serikat, tentu mengagetkan Amerika Serikat dan menarik perhatian dunia, akan ancaman terorisme.
Pemerintah Amerika Serikat menggalang dukungan dunia untuk melawan terorisme. Muncul suara lantang dari Malaysia, melalui pernyataan PM Mahatir, dengan tindakan menangkap anggota kelompok Al-Jama’ah Al-Islamiyah. Indonesia dituduh Amerika Serikat, kurang tegas dalam melawan terorisme, bahkan tim Amerika Serikat yang dipimpin oleh Direktur FBI Robert Mueller bertemu dengan kami di Bali, menanyakan hal tersebut. Kami telah membantahnya karena sebenarnya kami sudah menjadi korban serangan teroris.
Apa hendak dikata, ternyata 12 Oktober 2002, terjadilah peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali, peristiwa ini merupakan serangan teroris terbesar kedua setelah di New York 11 September 2001. Sungguh mengagetkan bangsa ini. Dengan jumlah korban meninggal dunia 202 orang dan 300 orang lebih luka-luka dan sebagian besar adalah warga negara asing. Bali sangat terkenal di dunia, maka menjadi semakin terkenal dengan peristiwa Bom Balinya. Upaya pengungkapan terus dilakukan dalam waktu kurang satu bulan, telah dapat ditemukan pelakunya. Dari pengungkapan ini, maka terungkaplah suatu jaringan kelompok pelaku internasional.
Prestasi pengungkapan tersebut, dengan membawa para pelakunya ke meja pengadilan, mendapat acungan jempol dari dunia internasional, karena peristiwa besar lainnya di berbagai negara termasuk Amerika Serikat belum dapat membawanya ke pengadilan. Namun sudah barang tentu tetap peristiwa Bom Bali itu mempunyai dampak psikologis besar bagi citra keamanan di negeri ini, khususnya di Bali, sebagai salah satu tujuan wisata dunia terpopuler. Selanjutnya diikuti dengan peristiwa Bom di Hotel J.W. Marriott, Jakarta tanggal 5 Agustus 2003 dan Bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta tanggal 9 September 2004, dan Bom Bali kedua tanggal 1 Oktober 2005.
Hadirin Yang terhormat,
Gambaran situasi keamanan di negara ini diawali peristiwa besar kerusuhan Mei 1998, disusul dengan berbagai bentuk kejahatan secara massal di beberapa daerah, terjadinya konflik dari kelompok hingga menyeret ke agama, separatisme di beberapa wilayah dan serangan terorisme baik tingkat lokal maupun internasional, merupakan suatu refleksi keamanan bagi bangsa ini untuk menatap ke depan membangun kembali kepercayaan dunia terhadap Indonesia.
Dampak yang dirasakan bangsa ini tidak saja kondisi internal negara dari aspek sosial politik, sosial ekonomi dan keamanan yang belum sepenuhnya pulih, tapi juga aspek psikologis.
Aspek sosial politik, telah menumbuhkan suatu proses politik yang memantapkan sendi-sendi demokratis ditegakkan dalam tatanan bernegara, dengan diawali Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang pertama kali di tahun 2004, dengan sukses. Kini tentu implementasi dalam tataran demokrasi agar komitmen politik mampu melahirkan kebijakan dan strategi yang dapat menjadi payung bagi tumbuh-kembangnya di bidang sosial dan perekonomian, serta mampu memberikan dukungan sekaligus kontrol terhadap upaya penyelenggaraan di bidang keamanan.
Kebijakan dan strategi di bidang perekonomian yang dilahirkan atas komitmen politik bangsa ini, seyogyanya mendapat dukungan dari berbagai pihak segenap komponen bangsa, sehingga akan dapat jaminan kontinuitas dan keberlanjutannya. Berbagai persoalan di bidang perekonomian yang selalu mendapatkan perhatian, seperti jumlah pengangguran yang tinggi, investasi kecil, menurunnya daya beli masyarakat, mundurnya para investor dari Indonesia karena sering kebijakannya yang tidak jelas dan sering berubah-ubah.
Komitmen politik pun harus mampu memberikan dukungan dan kendali terhadap segala upaya penyelenggaraan keamanan, karena faktor keamanan lebih cenderung pada hal yang abstrak berupa ‘citra’ sehingga lebih menonjol pada faktor psikologis daripada aspek faktualnya. Berita-berita melalui media dalam negeri maupun luar negeri, membangun ‘citra’ (image) tentang suatu kondisi keamanan di suatu wilayah ataupun negara.
Terjadi peristiwa Bom di Bali, maka dampaknya banyak penerbangan dari luar negeri ke Indonesia dibatalkan, padahal Bali jauh dari Jakarta. Banyak penerbangan asing yang singgah ke Jakarta atau Denpasar tapi hampir semua ‘home base’ crew nya di Singapura, jadi mereka mengambil penumpang atau barang dan mengantar orang atau barang kemudian terbang lagi.
Tentu juga kita pernah mendengar, betapa sedih dan malunya sebagai warga bangsa Indonesia, yang konon tidak dilayani pada waktu masuk restoran di Amsterdam, Belanda, dan tidak dilayani oleh sopir taxi di Singapura setelah mereka melihat tayangan peristiwa kerusuhan, konflik dan bom Bali pada masa lalu.
Untuk memulihkan citra keamanan ini, telah dilakukan berbagai upaya seperti pengalaman saya, untuk melakukan Road Show ke berbagai negara, menjelaskannya dihadapan persnya maupun kalangan pebisnis. Polri membangun dan mengembangkan berbagai bentuk kerjasama melalui MoU dengan Kepolisiannya seperti dengan Australian Federal Police (AFP), membangun TNCC (Transnational Crime Coordination Centre) di Jakarta dan JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation) di Semarang, yang telah mempu mengangkat citra bangsa ini, khususnya dunia penegak hukum dan kepolisian untuk belajar di lembaga tersebut. Juga melakukan kerjasama dengan negara-negara di Eropa, Amerika Serikat dan ASEAN, Jepang, China, Korea Selatan dll.
Dalam menangani terorisme, walaupun dilihat dari infrastruktur yang belum memadai, tapi prinsip-prinsip penanganan yang dipegang Polri, yaitu secara ‘Teknik dan Taktik dapat diterima secara ilmiah’ (Scientific Crime Investigation), Tidak melanggar aturan hukum (not against the law), Tidak melanggar Hak Azasi Manusi (not violating Human Rights Convention), dan Diterima publik (acceptable by the Public). Telah mendapat pengakuan banyak pihak seperti “Ms. Mary Robinson” (tokoh Hak Azasi Manusia dunia dan Mantan Perdana Menteri Irlandia) dalam World Security Conference di Brussel tanggal 20 Februari 2007 yang menyatakan bahwa Indonesia tidak saja telah berhasil menangkap para teroris, tetapi juga telah membawa ke pengadilan sebagaimana mestinya.
Upaya untuk membangun kembali kepercayaan dunia terhadap Indonesia, tidak saja melalui upaya-upaya yang bersifat pro-aktif ke luar negeri, melalui peningkatan intensitas komunikasi baik melalui saluran pemerintah, diplomasi tetapi juga kegiatan-kegiatan seperti workshop, seminar internasional, menjadi ajang yang dapat dimanfaatkan pihak terkait dari Indonesia. Dari pengalaman saya menjadi pembicara tentang keamanan di berbagai event, seperti di Hong Kong, Dubai, Brussel, Singapura, minat untuk itu masih kurang.
Juga penyelenggaraan yang dilakukan oleh Indonesia sendiri pada level internasional, sebagai contoh yang dilakukan oleh LCKI (Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia), yang pada bulan Februari 2006 telah menyelenggarakan seminar internasional dengan judul “Building International Cooperation Against Terrorism”, diikuti 45 negara dan pada bulan November 2006, menyelenggarakan “World Conference, bersama ACPF (Asia Crime Prevention Foundation), diikuti 30 utusan negara dengan tema Crime Prevention and Criminal Justice yang melahirkan Jakarta Declaration.
Disamping upaya tersebut yang bersifat ke luar, juga membangun kapasitas dan kapabilitas aparaturnya, seperti aparat Kepolisian, Kejaksaan, Intelijen dan TNI serta potensi masyarakatnya yang merupakan tuntutan bagi pulihnya kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Hal ini memerlukan dukungan politik dari penyelenggara negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR.
Hadirin yang terhormat,
Menarik pengalaman dalam penyelenggaraan keamanan sebagai fungsi pemerintah yang dipegang Presiden, pada situasi yang eskalasinya menuju krisis, Presiden seharusnya mempunyai alat kelengkapan dan prosedur yang tidak saja pada kompartemen tingkat Departemen dan Kementrian (Menko), tetapi harus dalam bentuk Dewan. Jadi Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memimpin Dewan yang dapat memutuskan suatu keputusan politik yang menyangkut keamanan (nasional), sehingga Presiden terhindar dari pengambilan keputusan seorang diri, atau hanya dibantu menteri-menterinya saja.
Pelajaran masa lalu bagi bangsa ini, dalam menghadapi situasi krisis politik-keamanan tahun 1998, yang dikenal dengan lahirnya Keppres No. 16, yang tidak dilaksanakan oleh pemegangnya. Sudah barang tentu keputusan itu tidak melalui suatu proses keputusan dewan karena hingga saat ini belum ada dewan dimaksud. Apalah namanya nanti Dewan Keamanan Nasional atau Dewan Keamanan Negara.
Civitas Akademika dan Hadirin sekalian,
Demikianlah selintas tentang Refleksi Keamanan yang sumber utamanya dari pengalaman pribadi saya yang merasa menjadi bagian dari upaya bangsa dalam mewujudkan cita-citanya. Sangat mungkin informasi ini kurang lengkap atau tidak komprehensif, atau kurang akurat, hal ini menjadi catatan saya untuk senantiasa dilakukan koreksi dan perbaikannya.
Akhirnya pada kesempatan yang berharga ini saya ingin mengucapkan selamat kepada para Wisudawan dan Dirgahayu Universitas Budi Luhur dalam Dies Natalis tahun 2007.
Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H