Mohon tunggu...
Dahnil Anzar Simanjuntak
Dahnil Anzar Simanjuntak Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Peneliti

Peneliti dan Dosen, juga pedagang kopi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Milenial Bela Negara?

29 Desember 2019   22:46 Diperbarui: 30 Desember 2019   05:48 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berpidato dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengutip pernyataan Ernest Renan dan Otto Bauer tentang syarat untuk menjadi sebuah bangsa. Renan mensyaratkan perlunya orang-orang merasa diri bersatu dan mau bersatu (le desir d'etre ensemble). Sementara Bauer menyebut bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (eine nation ist eine aus Schiksalsgemeninchaft).

Bung Karno menilai Renan dan Bauer hanya melihat orangnya, karakternya.Tapi tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Menurut Bung Karno bumi yang didiami manusia itu adalah tanah air. Antara orang dan tempat tersebut tidak dapat dipisahkan.

Bagi Bung Karno, bangsa Indonesia adalah kesatuan orang yang tinggal di atas bumi Indonesia dari pulau Sumatera sampai Irian yang terletak di antara dua samudara (Pasifik dan Hindia) dan dua benua (Australia dan Asia).

Sebab itulah para pejuang, pahlawan, dan rakyat Indonesia pada umumnya berjuang mati-matian melawan Belanda karena menjajah rakyat dan menduduki bumi Indonesia. Peperangan pun tidak terelakkan, bahkan sampai dalam skala besar dan memakan waktu yang cukup lama. Seperti Perang Paderi (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Aceh (1872-1912).

Melihat serangkaian perlawanan terhadap penjajah tersebut, beberapa tokoh bangsa seperti Mohammad Natsir menolak anggapan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Karena Aceh sendiri, misalnya, hanya sempat dijajah selama 30 tahun (1912-1942).

Aceh merupakan daerah tersingkat yang berada di bawah sistem penjajahan (Maarif, 2004). Bahkan Aceh selama masa revolusi adalah satu-satunya provinsi dimana Belanda tidak lagi berani untuk kembali ke sana (Anderson,1999).

Kecintaan terhadap negeri dan penolakan akan penjajahan ditunjukkan kembali oleh anak bangsa setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Karena Belanda masih ingin kembali menjajah Indonesia. Bahkan pada masa inilah rakyat benar-benar melakukan peperangan, revolusi fisik melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan.

Puncaknya adalah saat Belanda melakukan apa yang disebut dengan Aksi Militer II dengan menyerang Yogyakarta dan menawan para pemimpin negeri seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem, dan Asaat pada 19 Desember 1948.

Dengan demikian Republik Indonesia yang masih belia ini hampir saja bubar kalau Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, yang tengah berada di Bukittinggi tidak membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah mendengar kabar penangkapan para pemimpin nasional tersebut.

Meski pun dalam rapat kabinet sebelum penangkapan dan penawanan Bung Karno, Bung Hatta dan yang lainnya telah diputuskan akan mengirimkan kawat kepada Sjafruddin untuk membentuk Pemerintah Darurat. Namun tidak sampai kepada Sjafruddin karena Belanda memusnahkan stasiun radio dan kantor telekomunikasi.

Saat itu ada ungkapan Sjafruddin yang heroik, "Kalau akan hancur lebih baik sama-sama, tetapi saya yakin kalau bersama-sama kita tidak akan tenggelam" (Harun dalam Madiner, 2013). Mengingat begitu bersejarahnya peristiwa pembentukan PDRI dan mendorong semangat kebangsaan, pemerintah lewat Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 2006 menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.

Spirit Agama

Perlawanan rakyat Indonesia yang mayoritas bergama Islam terhadap penjajahan tidak lepas dari ajaran agama yang diyakini. Kehadiran agama Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya: 107).

Karena itu Islam menolak kemungkaran (QS Al Imron: 104) dalam berbagai bentuk seperti kezaliman, penjajahan, penindasan, dan kesewenang-wenangan. Umat Islam pun diizinkan untuk melawan, berperang kalau sudah diperangi atau dianiaya (QS, Al-Hajj: 39). Cita-cita terbesar umat Islam adalah menjadikan Indonesia sebagai negara yang baik dan mendapat ampunan Allah Swt (QS As-Saba: 15).

Tapi yang menarik juga adalah umat Islam pun disuruh untuk selalu bersiaga menjaga negeri dan mewaspadai musuh (QSAl Imron: 200). Bahkan Nabi Muhammad bersabda, "Bersiap-siaga sehari semalam lebih utama dari berpuasa dan shalat malam sebulan" (HR Muslim).

Kuatnya motivasi keagamaan dalam mempertahankan dan membela negara membuat ungkapan hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman) cukup populer di kalangan umat Islam Indonesia. Meski dipastikan pernyataan tersebut adalah hadits maudhu alias hadis palsu karena bukan berasal dari Nabi, namun sebagian ulama seperti Imam Al-Sakhawi menyatakan substansi Hadist tersebut shahih (Yaqub, 2003).

Karena itu tidak heran kalau Indonesianis George McTurnan Kahin menyebut Islam telah dijadikan sebagai ideological weapon (senjata ideologis) untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial (Anwar, 1995).

Saat ini Indonesia telah merdeka selama 74 tahun. Semangat bela negara yang telah dicontohkan para pejuang saat mendirikan PDRI dan diperingati setiap tanggal 19 Desember harus terus dijaga. Apalagi harus diakui, kita telah bekerja keras, namun masih banyak dari tujuan kemerdekaan yang belum terpenuhi. Sebab Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari persoalan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan lain sebagainya.

Hal ini penting untuk diperhatikan. Karena seperti pernah diingatkan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, merupakan penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jikalau kekuatan ekonomi pribumi tidak diprioritaskan untuk dikembangkan (Arief, 1991).

Karena itu tugas segenap rakyat Indonesia sekarang adalah mengisi kemerdekaan dan mengarahkan spirit bela negara kepada perbaikan dan kemajuan negeri. Mengutip salah satu konsepsi bela negara organisasi Islam besar yakni Muhammadiyah, bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dr al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dr al-syahdah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dr al-salm) layak untuk dicontoh.

Dalam Negara Pancasila sebagai Dr al-Syahdah, umat beragama, apa pun agamanya harus siap bersaing untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik.

Saat ini, semangat bela negara harus diarahkan pada upaya pembuktian (dr al-syahdah), melalui karya, kerja kreatif nan cerdas untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak ada lagi tempat untuk menggugat konsensus nasional (dr al-ahdi) yang sudah dibuat.

Bela Negara, Millenial dan Tradisi Baca

Secara umum kaum millenial adalah generasi yang lahir dalam rentang waktu tahun 1980 sampai tahun 2000. Sehingga mereka memiliki jarak waktu yang demikian jauh dengan para pendiri pendiri bangsa, yang kalau dikelompokkan berdasarkan National Chamber Foundation masuk dalam GI Generation. Karena para founding fathers and mothers tersebut pada umumnya lahir pada 1901-1924.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana mendesiminasikan (Dissemination) nilai-nilai kebangsaan dan semangat bela negara para pendiri bangsa kepada kaum millenial.

Pasalnya, kelompok millenial, merujuk temuan Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 di Amerika Serikat, antara lain minat membaca secara konvensional menurun karena Generasi Y (sebutan lain millenial) lebih memilih membaca lewat smartphone dan millennial wajib memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi dan pusat informasi, yang mengkhawatirkan adalah tingkat literasi anak milenial dan rakyat Indonesia secara umum sangat rendah.

Bahkan, melalui survey Program for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menempatkan Indonesia dalam bidang literasi pada urutan ke-74 dari 79 negara partisipan survey, dengan skor 371.

Tingkat literasi millennial Indonesia sangat mengkhawatirkan di tengah ramai dan berisiknya sosial media, sehingga produksi percakapan publik yang miskin kualitas karena rendah literasi menjadi ancaman serius. Ruang dialektika dirusak dengan monolog sok tahu yang asal ngotot.

Karena itu kalau tidak ada usaha aktif dari para stakeholders, generasi millenial bisa mengalami keterputusan sejarah, dan sulit menerapkan spirit Bela Negara. Mereka tidak mengetahui bagaimana perjuangan para pahlawan, bagaimana proses intelektual melalui dialektika panjang para politisi pendiri bangsa menghasilkan rumusan-rumusan ideologis seperti Pancasila. Karena umumnya hal-hal demikian didapat lewat kegemaran membaca.

Setidaknya ada dua ancaman di tengah rendahnya tingkat literasi kaum millenial. Pertama, tidak peduli terhadap bangsa dan negara, atau terjebak pada paham yang fatalistik seperti terorisme dan anti ideologi negara.

Kedua, adanya sikap berlebihan terhadap nasionalisme dengan mengusung slogan right or wrong is my country. Rendahnya tingkat literasi menyebabkan absennya sikap kritis. Setiap kritik untuk perbaikan negeri dengan serta-merta dilawan dan dicap tidak nasionalis.

Para pendiri bangsa sendiri sejak awal sudah mewanti-wanti bahwa nasonalisme bisa berbahaya karena berpotensi menjadi chauvinisme. Karena itu, nasihat pahlawan nasional Suharso (1912-1971) layak diikuti: "Right or wrong is my country. Lebih-lebih jika tahu negara kita dalam keadaan kesulitan dan salah urus, justru itu pula kita wajib memperbaikinya.

Oleh sebab itu, perlu kita terbiasa dengan kritik dan tidak menganggap kritik sebagai ancaman terhadap negara, karena kritik adalah khas negara demokratis yang maju.

Untuk membangun tradisi Bela Negara yang maju, kita membutuhkan tradisi dialektika yang kuat, sebagaimana para founding fathers and mothers kita merumuskan ideologi bangsa kita, dialog adalah kekuatan kita sebagai bangsa, mengutip Bung Hatta, Nalar ilmiah-lah yang mempersatukan Indonesia.

Dialog hanya dapat dilakukan oleh anak bangsa yang merawat rasionalitasnya atau dalam bahasa Bung Hatta adalah Nalar Ilmiah, dan mereka yang memiliki tradisi dialog dan nalar ilmiah tersebut tentu berangkat dari tradisi literasi yang tinggi.

Pilpres 2019, bagi saya setidaknya menunjukkan bahwa tradisi dialog telah menjaga keutuhan Indonesia, sikap yang ditunjukkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto setidaknya memberikan pesan kuat Bela Negara, bahwa kepentingan bangsa dan negara menggugurkan semua residu pertarungan politik yang penuh benci dan dendam politik diantara keduanya, dan tentu berharap juga berlaku kepada kedua pendukungnya.

Dr Dahnil Anzar Simanjuntak
Peneliti Senior Institute Kajian Strategis
Universitas Kebangsaan Republik Indonesia

(Artikel Opini ini telah Diterbitkan Oleh Harian Republika Cetak (19/12/19)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun