Bela Negara, Millenial dan Tradisi Baca
Secara umum kaum millenial adalah generasi yang lahir dalam rentang waktu tahun 1980 sampai tahun 2000. Sehingga mereka memiliki jarak waktu yang demikian jauh dengan para pendiri pendiri bangsa, yang kalau dikelompokkan berdasarkan National Chamber Foundation masuk dalam GI Generation. Karena para founding fathers and mothers tersebut pada umumnya lahir pada 1901-1924.
Tantangannya saat ini adalah bagaimana mendesiminasikan (Dissemination) nilai-nilai kebangsaan dan semangat bela negara para pendiri bangsa kepada kaum millenial.
Pasalnya, kelompok millenial, merujuk temuan Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 di Amerika Serikat, antara lain minat membaca secara konvensional menurun karena Generasi Y (sebutan lain millenial) lebih memilih membaca lewat smartphone dan millennial wajib memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi dan pusat informasi, yang mengkhawatirkan adalah tingkat literasi anak milenial dan rakyat Indonesia secara umum sangat rendah.
Bahkan, melalui survey Program for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menempatkan Indonesia dalam bidang literasi pada urutan ke-74 dari 79 negara partisipan survey, dengan skor 371.
Tingkat literasi millennial Indonesia sangat mengkhawatirkan di tengah ramai dan berisiknya sosial media, sehingga produksi percakapan publik yang miskin kualitas karena rendah literasi menjadi ancaman serius. Ruang dialektika dirusak dengan monolog sok tahu yang asal ngotot.
Karena itu kalau tidak ada usaha aktif dari para stakeholders, generasi millenial bisa mengalami keterputusan sejarah, dan sulit menerapkan spirit Bela Negara. Mereka tidak mengetahui bagaimana perjuangan para pahlawan, bagaimana proses intelektual melalui dialektika panjang para politisi pendiri bangsa menghasilkan rumusan-rumusan ideologis seperti Pancasila. Karena umumnya hal-hal demikian didapat lewat kegemaran membaca.
Setidaknya ada dua ancaman di tengah rendahnya tingkat literasi kaum millenial. Pertama, tidak peduli terhadap bangsa dan negara, atau terjebak pada paham yang fatalistik seperti terorisme dan anti ideologi negara.
Kedua, adanya sikap berlebihan terhadap nasionalisme dengan mengusung slogan right or wrong is my country. Rendahnya tingkat literasi menyebabkan absennya sikap kritis. Setiap kritik untuk perbaikan negeri dengan serta-merta dilawan dan dicap tidak nasionalis.
Para pendiri bangsa sendiri sejak awal sudah mewanti-wanti bahwa nasonalisme bisa berbahaya karena berpotensi menjadi chauvinisme. Karena itu, nasihat pahlawan nasional Suharso (1912-1971) layak diikuti: "Right or wrong is my country. Lebih-lebih jika tahu negara kita dalam keadaan kesulitan dan salah urus, justru itu pula kita wajib memperbaikinya.
Oleh sebab itu, perlu kita terbiasa dengan kritik dan tidak menganggap kritik sebagai ancaman terhadap negara, karena kritik adalah khas negara demokratis yang maju.