“Ya, saya Anu”, sahutnya. Ia tidak melihat orang yang memanggil dirinya. Namun beranjak menuju meja pria muda berbaju batik. Demi sertifikat suntik untuknya pergi bekerja mengais rejeki yang pas-pasan.
“Ini surat suntiknya”, pria berbaju batik memberikan dengan tangan kiri. Ia teringat ajaran ibunya jika memberi dengan tangan kiri tidak sopan. “Terima kasih”, ucap Anu dengan lega. Rasa bersalah dan tidak diinginkan menampar wajahnya sepanjang jalan keluar dari gedung tersebut. Saat menyalakan kendaraanya ia ditegus juru parkir, “Bayar parkirnya”.
Anu hanya memiliki secercah uang. “Hari ini aku mengurangi ayam menjadi telur ayam”, ucap dirinya. Di tengah roda motornya mengantarkan pulang Anu merasa tertekan dan tertusuk. Ketika sampai di rumah melemparkan diri ke atas kasurnya. “Apakah tidak memiliki quota kesalahan?”, tanya Anu pada dirnya.
“Apakah meminta koneksi internet untuk urusan administrasi tidak bermoral?”, lanjut dirinya. Anu yang tergolong menengah ke bawah tidak layak mendapat keramahan, kenyamanan, dan kepuasan. “Aku mengisi quota maka aku kelaparan lalu berujung kematian. Aku mengisi perut maka aku mengalami rasa bersalah, tidak diinginkan dan secara tersirat dilabeli tidak modal. Bahkan tidak masuk akal di era serba teknologi ini aku tidak memiliki quota”, lanjut Anu. Anu merasa karena tidak memiliki quota membuat dirinya pantas dikatakan apa pun. Bahkan dianggap bersalah karena hal itu dan membuatnya wajib dienyahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H