“Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, jawaban apapun itu tidak menjadi soal. Dari manapun datangnya cinta itu sama saja, karena yang terpenting adalah cinta itu sendiri. Dan itulah yang sebenarnya aku belum mengerti dan memahami.”
Kami terdiam dalam renungan masing-masing. Mencari, mencari, dan mencari. Jangan putus asa, hanya itu yang terus berkobar dalam jiwa ini.
“Saudaraku, dari mana engkau akan mulai mencari wujud sesungguhnya cinta?” akal tiba-tiba bertanya.
“Dari mata.”
“Mengapa?”
“Karena kebanyakan manusia menggunakannya.”
“Apakah selain dirinya, mereka tidak menggunakan?”
“Menggunakan tetapi tidak sepenuhnya.”
“Karena apa?”
“Karena matalah mereka mengerti keindahan, keanggunan, kebaikan, keburukan, kebodohan, kepandaian, kelicikan, dan kejujuran.”
“Baiklah kalau itu maumu, mari kita mulai.”