Mohon tunggu...
Dafid Riyadi
Dafid Riyadi Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bandung

Menyukai bincang-bincang pendidikan, sastra dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karen Beauty

6 Juli 2024   12:47 Diperbarui: 6 Juli 2024   12:48 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ya, sangat.”

“Mengapa begitu lama Dra, butuh waktu 15 tahun hanya untuk menunggu kamu mengatakan itu”

“…”

Besoknya aku tidak pergi bekerja. Kepalaku berat, demam, dan nyeri badan. Sepanjang malam aku diliputi penyesalan yang teramat dalam. Ternyata aku yang selama itu dinantikan Karen. Aku laki-laki terpilih itu. Bukan adik kelas, bukan juga kakak kelas, bukan mahasiswa apalagi guru. Tetapi aku, ya Aku. Mengapa waktu itu Aku tak bisa menangkap pertanda yang diberikan Karen. Andai saja aku sedikit peka, mungkin saat ini, Karenlah yang menemani tidurku, melahirkan anak-anakku, mengisi hari yang penuh gairah. Bagaimana rasanya bersama dengan si cantik Karen setiap hari, setiap waktu bahkan setiap detik. Mengapa…mengapa…

Matahari mulai meninggi, cahayanya menelisik melalui celah diantara dua jendela. Kuraih kembali gawai setelah melihat mobil yang dikendarai istriku melaju meninggalkan halaman rumah. Kubuka aplikasi messenger. Berharap dia sedang aktif, dan melanjutkan perbicangan semalam. Melanjutkan lagi cerita masa lalu yang seharusnya hanya menjadi kata dan kenangan saja.

Tetapi sayangnya, Karen tidak dalam suasana baik-baik saja. Dia tengah bersedih, setidaknya begitu yang kurasakan dari balasan chatnya. Padahal aku sedang dalam perasaan senang karena menjadi seorang pemenang. Juara kompetisi belasan tahun silam. Kompetisi tanpa piala dan panitia.

“Aku ditipu orang Dra,” emot menangis.

“Kok bisa?”

Karen menceritakan tentang tawaran menggiurkan dari temannya untuk investasi. Masih di seputar bidang kosmetik. Sayangnya setelah tiga kali transfer hingga mencapai nilai seratus juta, keuntungan yang dijanjikan tak kunjung datang. Bahkan modal yang diminta kembali pun malah raib.

Lagi dan lagi setiap chat diakhiri emot tangis. Entahlah karena aku tengah berbahagia karena menjadi yang terpilih, dengan ringan kubuka aplikasi bank dan kutransfer seratus juta ke nomor yang dikirim Karen. Tidak apa yang penting dia bahagia. Dan benar saja, seketika emot tangis berubah menjadi emot terharu dan bahagia.

Bagiku berjumpa kembali dengannya, meskipun hanya sebatas di ruang maya, sudah lebih dari cukup. Berbalas pesan sambil sesekali menatap wajah yang tersimpan di akun facebooknya sudah begitu menyenangkan. Apalagi kini aku tahu bahwa selama ini akulah yang yang menjadi cinta pertamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun