Sejak kecil, semua orang pasti diajarkan untuk senantiasa berperilaku jujur, adil, dan amanah. Tanpa memandang agama, saya yakin ketiga ajaran ini adalah basic yang pasti diajarkan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar. Perilaku jujur, adil, dan amanah ini jika ditanamkan dengan serius tentu akan memiliki dampak yang baik bagi seseorang di masa mendatang. Sebaliknya, jika perilaku-perilaku tersebut hanya diajarkan sambil lalu, bukan tidak mungkin seseorang akan senantiasa memiliki perilaku yang bertentangan dengan ajaran tersebut.
Salah satu manifestasi dari sikap amanah di era modern ini adalah menyampaikan segala sesuatu secara lengkap, tanpa ada pengurangan ataupun penambahan. Misalnya, saya diamanahi untuk menyampaikan perasaan cinta teman saya kepada salah satu teman perempuannya. Teman saya menyampaikan kata-kata puitisnya kepada saya agar bisa disampaikan kepada teman perempuannya---yang dalam hal ini adalah teman saya juga, misalnya. Secara sadar, saya akan menyampaikan rasa cinta teman saya itu kepada teman perempuan saya, lengkap dengan kata-kata yang pernah disampaikannya kepada saya. Kenapa? Ya, karena saya menghargai usaha teman saya dan saya juga tidak mau berbohong. Berbohong itu dosanya besar sekali, saya enggak sanggup untuk menerimanya. Rasanya, mubazir menghabiskan waktu untuk memperoleh dosa. Ya, beginilah kira-kira analoginya.
Sebelum menyampaikan segala sesuatu, hal yang terlebih dahulu akan dialami oleh kita adalah menerima segala sesuatu tersebut. Bentuk penerimaan seseorang terhadap sesuatu itu memang bermacam-macam. Setidaknya, ada dua macam---yang dapat menentukan juga kualitas pikiran seseorang---yaitu menelan mentah-mentah atau mengklarifikasinya terlebih dahulu.
Menelan mentah-mentah sesuatu tanpa mencari kebenaran atas sesuatu tersebut akan membuat kita bereaksi secara spontan dan gelap mata mempercayai sesuatu tersebut---dalam hal ini adalah sebuah berita. Mempercayai sebuah berita begitu saja tanpa melakukan cross-check terlebih dahulu, singkatnya dinamakan "termakan hoaks".
Hoaks, menurut KBBI, adalah "informasi bohong". Apakah hoaks dapat diproduksi begitu saja? Jawabannya; bisa. Berlagak paling bahagia saat kumpul bersama teman padahal hatimu hancur sejadi-jadinya pun termasuk hoaks, hanya saja tak merugikan siapa pun---termasuk dirimu sendiri, kan?
Awalnya, saya hanya berpikir bahwa hoaks akan bekerja secara efektif apabila menyasar orang-orang dengan tingkat literasi yang rendah. Tak perlu munafik menyebut orang lain, ibu saya sendiri kerap termakan hoaks. Biasanya, ciri beliau termakan hoaks adalah membuka percakapan dengan kalimat, "bener teu sih berita x anu di WhatsApp?" (benar gak sih berita x yang ada di WhatsApp). Kendati berupa kalimat tanya, tapi keterangan lanjutan biasanya adalah justifikasi terhadap isi berita tersebut benar-benar terjadi.
Biasalah, ibu-ibu~
Pandangan saya itu ternyata salah; hoaks juga efektif menyasar orang-orang intelek, apalagi terkait dengan agama.
Baru-baru ini, beredar video klarifikasi dari Ustaz Hanan Attaki, pendiri Gerakan Pemuda Hijrah atau lazim dikenal "Shift". Ia mengunggah sebuah video di kanal YouTube pribadinya, Hanan Attaki, berjudul "Yuk bangun Indonesia bersama, jangan saling menjatuhkan. Yuk bisa yuk (emot peace)". Video berdurasi 10 menit 32 detik ini juga dibagikan di akun Instagram pribadinya, @hanan_attaki.
Pertama melihat postingan Ustaz Hanan Attaki di Instagram, yang terlintas di pikiran saya adalah; wah ada apa nih? Enggak biasanya blio bikin video klarifikasi. Wajar saja, saya sering menonton kajian blio lewat kanal YouTube Shift Media sejak 2018. Pembawaannya yang lemah lembut, penuh canda, dan relate dengan anak muda bikin saya tertarik mengikuti dakwahnya.
Setelah menonton video lengkapnya di YouTube, saya paham dan miris. Paham terhadap kekecewaan Ustaz Hanan Attaki. Miris terhadap hoaks yang berubah menjadi budaya Indonesia---tanpa kenal umur, pendidikan, dan jabatan.
Dalam videonya, Ustaz Hanan Attaki mengklarifikasi pemberitaan tentang penolakan PCNU Lembaga Takmir Masjid Gresik terhadap acara dakwah bertajuk "Konser Langit: Agar Hidup Penuh Miracle. Dilansir dari cnnindonesia.com, salah satu alasan PCNU Gresik menolak kedatangan Ustaz Hanan Attaki karena Ustaz Hanan Attaki disinyalir mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi terlarang di Indonesia. Kesimpulan PCNU Gresik itu disandarkan pada rekam jejak digital Ustaz Hanan Attaki yang menyebut bahwa Rasulullah pernah tersesat. Menurut mereka, ini adalah indikator Ustaz Hanan Attaki itu mantan anggota HTI.
Terlihat berdasarkan fakta sekali, bukan, kesimpulan yang dibuat?
Tapi dilansir detik.com, Sekretaris PCNU Gresik, Mohammad Syifaul Fuad, menjelaskan bahwa PCNU tidak bisa memastikan Ustaz Hanan Attaki mantan anggota HTI atau bukan.
Jangan tertawa, lho, ini ormas Islam yang bilang! Kalau mau tertawa, diam-diam saja, ya.
Ustaz Hanan Attaki pun mengklarifikasi tuduhan ini. Setidaknya, ada tiga poin yang ia tekankan. Pertama, ia bukanlah anggota ataupun simpatisan HTI. Sejak pulang dari Mesir, beliau tidak tergabung dalam organisasi mana pun---justru membuat organisasi dakwah anak muda, "Dakwah Pemuda Hijrah". Selain itu, setiap kali Ustaz Hanan Attaki mengadakan tablig akbar di luar masjid, acara selalu dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Lagu yang tidak akan dinyanyikan oleh anggota HTI karena mereka lebih cinta semua hal-hal yang berbau Islam, bukan?
Kedua, Ustaz Hanan Attaki tidak pernah menyebut Rasulullah saw. pernah tersesat, seperti yang dituduhkan oleh Sekretaris PCNU Gresik, Mohammad Syifaul Fuad. Ia 100% menyatakan pendapat tersebut salah. Hal itu karena ustaz yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah tersesat bukanlah Ustaz Hanna Attaki, tetapi Ustaz Evie Effendi. Ustaz Evie Effendi memang pernah keliru dalam menafsirkan Surat Ad-Dhuha ayat ke-8. Namun, Ustaz Evie Effendi pun, menurut beliau, sudah mengklarifikasi dan meminta maaf sehingga kasus tersebut sudah selesai.
Ustaz Hanan Attaki pun mengakui bahwa ia sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Ustaz Evie Effendi, kecuali mungkin dalam hal berpakaian. Gaya berpakaian Ustaz Hanan Attaki yang biasa menggunakan kupluk dan jaket atau kemeja flannel. Nah, mungkin ini yang menyilaukan pandangan PCNU Gresik dan menganggap Ustaz Hanan Attaki dan Ustaz Evie Effendi mirip atau bahkan mungkin adalah orang yang sama.
Kalau saya, sih, terbiasa menggunakan Google. Satu menit searching Ustaz Hanan Attaki dan Ustaz Evie Effendi pun akan langsung terlihat bedanya.
Ketiga, video yang berisi penjelasan Ustaz Hanan Attaki tentang khilafah. Menurutnya, video yang beredar bukanlah berasal dari kanal YouTube Pemuda Hijrah, tetapi ditayangkan dan diedit oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, konsep khilafah yang dijelaskan oleh Ustaz Hanan Attaki adalah konsep yang dijelaskan ketika ia sedang membahas Sirah Nabawiyah, sejarah nabi, bukan membicarakan konsep khilafah dalam organisasi HTI.
Khilafah dalam Sirah Nabawiyah merupakan hal yang lazim dibicarakan oleh seorang ustaz ketika membahas Sirah Nabawiyah. Karena khilafah bukanlah istilah HTI, melainkan istilah yang terdapat dalam hadis agar menciptakan semangat dalam berdakwah, menyebarkan agama Islam.
Sebagai pengikut kajian-kajian Ustaz Hanan Attaki, jujur, saya menyayangkan terjadinya kasus ini---apalagi yang menyerukannya adalah seorang tokoh ulama dan berpendidikan tinggi, saya yakin.
Kok bisa sekelas ulama yang paham agama dan intelek termakan oleh hoaks, ya?
Saya jadi paham. Hoaks bukanlah sesuatu yang bisa diberantas dalam 10 atau 20 tahun ke depan. Hoaks sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia yang memang gemar menerima informasi tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu. Hoaks juga tidak mengenal usia, pendidikan, atau jabatan. Khususnya dalam kasus ini, bisa terlihat bahwa orang yang dianggap paling paham agama dan berpendidikan tinggi pun mudah termakan hoaks.
Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun. Tulisan ini murni adalah keresahan hati, melihat ustaz yang saya cintai diperlakukan sedemikian rupa, Mungkin ini adalah salah satu bentuk fanatisme terhadap seorang ulama. Toh kalau kita merasa baik-baik saja ustaz atau ulama kita diperlakukan tidak adil dan kita diam saja, bukankah itu adalah salah satu ciri akhir zaman?
Wallahualam bishawab.
Teruntuk Ustaz Hanan Attaki, sabar. Hoaks memang sudah jadi budaya masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H