Konflik historis yang diwariskan dalam tradisi ke-Islam-an, seperti halnya dalam konteks Eropa, tidak hanya mencerminkan perdebatan akademik saja, tetapi juga menyangkut realitas identitas politik dan budaya modern. Perbedaan pandangan atas masa lalu sering kali digunakan sebagai dasar legitimasi untuk agenda-agenda yang terjadi di era kontemporer, baik dalam lingkup agama, politik, maupun konteks sosial. Dengan kata lain, sejarah tidak hanya menjadi cermin masa lalu, tetapi juga alat untuk memahami dan membentuk realitas hubungan masa kini.
Meskipun perpecahan polemik antara Sunni dan Syiah telah berakar panjang dan begitu dalam di tengah tradisi heresiografis Islam, upaya untuk mencapai rekonsiliasi ekumenis atau persatuan (taqrīb atau taqārub) di antara kedua komunitas adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah Islam. Gerakan ini timbul pada akhir abad ke-19, bersamaan dengan berkembangnya gerakan pan-Islamisme di dunia.
Kemunculan gerakan rekonsiliasi antarmazhab Islam ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pan-Islamisme, yang berusaha menyatukan umat Islam di tengah meningkatnya kolonialisme dan modernisasi. Pada awal abad ke-20, upaya ini mulai terorganisasikan melalui kongres-kongres Islam sedunia pada 1920-an dan 1930-an. Kongres yang dilakukan di tengah gejolaknya kolonialisme dan imperialisme, membuka jalan bagi dialog antarmazhab dan kerja sama lintas sektarian antarmazhab di dalam agama Islam.
Sebagai kelanjutan dari langkah awal tersebut, muncul organisasi-organisasi dengan nama programatik yang menyediakan forum formal untuk dialog antara ulama Sunni dan Syiah. Diskusi dalam forum ini menjadi tonggak penting dalam upaya mengatasi ketegangan yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Intisari
Perselisihan mengenai interpretasi sejarah, baik dalam konteks Eropa maupun Islam, menunjukkan bahwa sejarah adalah medan konflik dari konteks identitas, nilai, dan kekuasaan. Di dunia Islam, relevansi sejarah pada masa awal pertumbuhan dan penyebarannya terus mendefinisikan hubungan antara berbagai kelompok dan menciptakan dinamika polemik yang kompleks.
Seperti halnya dalam kasus Jerman dengan perdebatan mengenai Holocaust atau Reich Ketiga, peristiwa-peristiwa awal sejarah di di dunia Islam menjadi dasar bagi pemahaman identitas yang modern. Sejarah bukan sekadar rekaman masa lalu, melainkan juga narasi hidup yang terus dibentuk ulang oleh kebutuhan dan tantangan masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H