Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Heresiografi ke Ekumenis: Menelisik Upaya Rekonsiliasi Sunni-Syiah

16 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   03:09 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi persahabatan antara Sunni-Syiah dalam lingkup persaudaraan Islam (beriman dan ber-Islam) (Sumber: DeviantArt)

Fenomena perdebatan mengenai interpretasi sejarah pernah terjadi di mana-mana, baik di suatu wilayah tertentu, negara, maupun di suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, polemik tentang sejarah dunia adalah tidak terbatas pada Eropa atau Jerman. 

Dalam konteks sejarah Islam, perdebatan-perdebatan mulai muncul pada abad ke-20, di mana perdebatan sejarah dipenuhi dengan contoh yang menunjukkan bagaimana insiden-insiden pada dekade-dekade pertama sejarah Islam dan interpretasinya dapat menghasilkan dampak yang tidak terduga hingga hari ini.

Salah satu contoh paling mencolok adalah peristiwa yang melibatkan Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, seorang dosen filsafat teologi berhaluan liberal asal Mesir. Pada tahun 1990-an, Abū Zaid memicu kontroversi besar dengan usahanya untuk mengkaji dan menginterpretasi Al-Qur’an secara historis dan literal. Pendekatan ini dianggap bertentangan dengan pandangan ortodoks, sehingga memunculkan serangkaian peristiwa yang tidak biasa, termasuk tuduhan murtad dan tuntutan pembatalan pernikahannya oleh otoritas pemerintahan. Akibat tekanan tersebut, Abū Zaid dan istrinya terpaksa hidup dalam pengasingan.

Insiden ini tidak dapat dipisahkan dari relevansi sejarah Islam pada masa Islam awal yang terus mempengaruhi kehidupan masyarakat Muslim hingga saat ini. Sebagian besar perdebatan dalam Islam kontemporer memiliki akar dalam peristiwa-peristiwa awal Islam, seperti perbedaan interpretasi atas peran tokoh-tokoh tertentu atau peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah agama ini. Kaitan langsung antara masa lalu dan masa kini, mencerminkan bagaimana narasi sejarah digunakan sebagai alat untuk membangun atau mempertahankan identitas dan legitimasi, baik dalam konteks keagamaan maupun politik.

Banyak dari kontroversi dan perdebatan-perdebatan ini kemudian melibatkan perwakilan dari dua golongan Islam terbesar di dunia, yakni Sunni dan Syiah. Konflik antara kedua golongan ini, yang berasal dari lebih dari 1300 tahun yang lalu, masih memiliki dampak besar hingga saat ini. Konflik ini tidak hanya membentuk persepsi keagamaan masing-masing kelompok yang saling kontradiktif dan bertentangan (khususnya mengenai kekhalifahan pascawafatnya Nabi Muhammad ﷺ), tetapi juga telah mempengaruhi identitas politik mereka dan aspek-aspek kehidupan sehari-hari. 

Dampaknya tidak hanya terbatas pada keyakinan teologis keagamaan saja, tetapi juga merembet ke dalam kehidupan sosial dan politik modern. Menyerang atau meragukan tokoh yang dihormati oleh satu kelompok sering kali dianggap sebagai serangan langsung terhadap identitas kolektif mereka. Hal ini menjelaskan mengapa debat sejarah di dunia Islam sering kali disertai oleh polemik yang tajam, bahkan hingga melibatkan retorika yang menyerang secara emosional. Misalnya, bagaimana perbedaan yang terjadi di Iran (Syiah) dan masyarakatnya yang jauh berbeda secara agama, kultural, dan cara beribadah dengan Indonesia yang beraliran Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Begitu pula rakyat Indonesia, mereka meyakini bahwa semua Khalifah adalah orang baik dan sahabat Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia-manusia yang paling baik, saleh, dan bersahabat erat dengan Sang Nabi ﷺ, sedangkan bagi orang Iran, bagi mereka tokoh Islam, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman, bahkan Muawiyah, adalah orang yang menyimpang.

Setiap upaya yang dilakukan oleh masing-masing golongan untuk meragukan tokoh yang dihormati oleh golongan lainnya atau mempertanyakan peristiwa dari periode awal Islam yang dianggap tak terbantahkan oleh satu kelompok, sering kali dipandang sebagai serangan terhadap kelompok tertentu oleh kelompok yang menyatakannya. 

Contoh-contoh polemik ini kemudian meluas ke abad ke-20, seperti penulisan sanggahan terhadap teks kontroversial dari abad-abad sebelumnya atau menggunakan otoritas klasik sebagai saksi utama dalam perselisihan dengan lawan kontemporer.

Bernard Lewis menggambarkan hubungan ini dengan sangat tepat: “Nama-nama seperti Ali, Mu’awiyah, dan Yazid adalah seaktual berita pagi ini, bahkan lebih segar daripada berita kemarin.” Kutipan ini menegaskan bagaimana figur-figur historis dalam agama Islam ni tetap hidup dalam narasi dan dinamika konflik modern.  Artinya, perdebatan tentang nama-nama tokoh besar dalam Islam ini masih menjadi polemik hingga sekarang antara Sunni dan Syiah.

Sementara itu, di tengah polemik yang berakar pada tradisi heresiografi (tulisan yang membahas tentang kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari iman yang benar) yang panjang, muncul pula upaya untuk mendekatkan kedua denominasi ini. Aspirasi untuk mendekatkan Sunni dan Syiah (taqrīb) merupakan fenomena yang relatif baru dalam sejarah Islam. Gerakan ini pertama kali muncul pada akhir abad ke-19 sebagai bagian dari gerakan Pan-Islamisme. Awalnya gerakan ini bersifat sporadis, tetapi mulai terorganisasikan pada kongres-kongres Islam tahun 1920-an dan 1930-an. Setelah itu, terbentuk kelompok-kelompok khusus yang didirikan untuk tujuan ini, yang biasanya menerbitkan karya-karya dialog antara kaum Sunni dan Syiah.

Konflik historis yang diwariskan dalam tradisi ke-Islam-an, seperti halnya dalam konteks Eropa, tidak hanya mencerminkan perdebatan akademik saja, tetapi juga menyangkut realitas identitas politik dan budaya modern. Perbedaan pandangan atas masa lalu sering kali digunakan sebagai dasar legitimasi untuk agenda-agenda yang terjadi di era kontemporer, baik dalam lingkup agama, politik, maupun konteks sosial. Dengan kata lain, sejarah tidak hanya menjadi cermin masa lalu, tetapi juga alat untuk memahami dan membentuk realitas hubungan masa kini.

Meskipun perpecahan polemik antara Sunni dan Syiah telah berakar panjang dan begitu dalam di tengah tradisi heresiografis Islam, upaya untuk mencapai rekonsiliasi ekumenis atau persatuan (taqrīb atau taqārub) di antara kedua komunitas adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah Islam. Gerakan ini timbul pada akhir abad ke-19, bersamaan dengan berkembangnya gerakan pan-Islamisme di dunia.

Kemunculan gerakan rekonsiliasi antarmazhab Islam ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pan-Islamisme, yang berusaha menyatukan umat Islam di tengah meningkatnya kolonialisme dan modernisasi. Pada awal abad ke-20, upaya ini mulai terorganisasikan melalui kongres-kongres Islam sedunia pada 1920-an dan 1930-an. Kongres yang dilakukan di tengah gejolaknya kolonialisme dan imperialisme, membuka jalan bagi dialog antarmazhab dan kerja sama lintas sektarian antarmazhab di dalam agama Islam. 

Sebagai kelanjutan dari langkah awal tersebut, muncul organisasi-organisasi dengan nama programatik yang menyediakan forum formal untuk dialog antara ulama Sunni dan Syiah. Diskusi dalam forum ini menjadi tonggak penting dalam upaya mengatasi ketegangan yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Intisari

Perselisihan mengenai interpretasi sejarah, baik dalam konteks Eropa maupun Islam, menunjukkan bahwa sejarah adalah medan konflik dari konteks identitas, nilai, dan kekuasaan. Di dunia Islam, relevansi sejarah pada masa awal pertumbuhan dan penyebarannya terus mendefinisikan hubungan antara berbagai kelompok dan menciptakan dinamika polemik yang kompleks.

Seperti halnya dalam kasus Jerman dengan perdebatan mengenai Holocaust atau Reich Ketiga, peristiwa-peristiwa awal sejarah di di dunia Islam menjadi dasar bagi pemahaman identitas yang modern. Sejarah bukan sekadar rekaman masa lalu, melainkan juga narasi hidup yang terus dibentuk ulang oleh kebutuhan dan tantangan masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun