Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Buya Hamka: Ulama, Sastrawan, dan Politisi yang Negarawan

26 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   09:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buya Hamka (Sumber: Tempo.co)

Pendahuluan

Artikel ini membahas kehidupan dan pemikiran Buya Hamka dengan menyoroti biografinya, pemikiran dalam Tafsir Al-Azhar, pengaruh ayahnya terhadap pemikiran Hamka, dan keterkaitan pemikiran politiknya dengan latar belakang sosial-politik Sumatra Barat. Analisis ini mencakup hubungan antara pengalaman hidup Hamka dan dinamika sosial-politik yang mempengaruhi perjalanan hidup serta pandangannya dalam gerakan nasional Indonesia.

Biografi Buya Hamka

Buya Hamka, yang bernama lengkap Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Sungai Batang, Sumatra Barat. Ia tumbuh dalam keluarga ulama terkemuka; ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), adalah pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Ayahnya dikenal sebagai tokoh modernisme Islam yang memperjuangkan pembaruan pemikiran keagamaan melalui gerakan "kaum muda."

Hamka menempuh pendidikan formal hanya hingga tingkat dasar, tetapi ia memperkaya pengetahuannya melalui pembelajaran informal. Ia belajar agama di Sumatra Thawalib, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahnya, dan melalui guru-guru seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasjid Sutan Mansyur. Selain itu, Hamka secara mandiri mempelajari filsafat, kesusastraan, sejarah, sosiologi, dan politik Islam ataupun Barat. Ia menguasai bahasa Arab dan mendalami karya-karya pemikir Timur Tengah, seperti Abbas Al-Aqqad dan Mustafa Al-Manfaluti, serta filsuf Barat seperti Freud, Karl Marx, dan Jean-Paul Sartre. Sebagai seorang aktivis, Hamka bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Interaksi ini semakin memperkaya wawasannya dan membentuk pemikirannya tentang Islam politik.

Hamka dan Pemikiran dalam Tafsir Al-Azhar

Salah satu karya monumental Hamka adalah Tafsir Al-Azhar, sebuah tafsir Al-Qur'an yang ditulisnya saat di penjara pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Tafsir ini mencerminkan pemikiran Hamka yang moderat dan inklusif dalam konteks keagamaan. Pemikirannya menekankan relevansi ajaran Islam dalam kehidupan modern. Selain itu, Hamka juga mengaitkan nilai-nilai Islam dengan dinamika sosial-politik yang ia hadapi. Hal ini sungguh-sungguh mencerminkan keberanian intelektualnya untuk menyuarakan kebenaran, meski dirinya sedang berada dalam tekanan politik.

Pengaruh Ayah terhadap Pemikiran Hamka

Ayah Hamka, Haji Rasul, memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan intelektual dan spiritual Hamka. Sebagai tokoh reformasi Islam, Haji Rasul memperkenalkan Hamka pada gagasan modernisme dan pembaharuan keagamaan. Pendidikan di Sumatra Thawalib pada masa mudanya berkontribusi dalam memperkuat fondasi pemikiran Hamka, yang kemudian berkembang menjadi pandangan yang kritis terhadap tradisi konservatif dan praktik-praktik kolonialisme.

Hamka kemudian juga mengadaptasi prinsip-prinsip modernisme Islam ke dalam kehidupan praktis dan pemikirannya, sehingga menjadikannya seorang pemikir Islam yang progresif. Pengaruh ini terlihat dalam pendekatan Hamka terhadap isu-isu sosial dan politik, termasuk peran Islam dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera serta keputusan dirinya untuk berkhidmat dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Latar Belakang Sosial-Politik Sumatra Barat

Sumatra Barat pada masa itu adalah pusat dinamika sosial-politik yang berkontribusi besar terhadap gerakan nasional Indonesia. Sebagai wilayah yang kaya akan tradisi intelektual dan keagamaan, Sumatra Barat telah menjadi pusat berkembangnya pemikiran reformasi Islam yang dipelopori oleh kaum muda. Gerakan ini, yang dipengaruhi oleh gagasan modernisme Islam dari Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha, menginspirasi Hamka untuk berperan aktif dalam pergerakan nasional yang berbasis Islam.

Interaksi antara tradisi lokal, reformasi Islam, dan pengaruh kolonial berhasil membentuk kerangka berpikir Hamka. Ia melihat Islam sebagai kekuatan moral dan intelektual untuk melawan penjajahan dan memajukan masyarakat. Pemikiran Hamka ini tercermin dalam aktivitasnya yang multitalenta, yakni sebagai politisi, jurnalis, dan ulama Islam yang kompeten.

Pengaruh Sosial-Politik terhadap Pemikiran Politik Hamka

Pengalaman hidup Hamka, termasuk hubungan dirinya dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dan keterlibatannya dalam organisasi seperti Partai Masyumi, memperkuat pandangannya tentang Islam-politik. Hamka percaya bahwa Islam harus menjadi dasar moral dalam politik kenegaraan, tetapi ia juga menekankan pentingnya toleransi dan inklusivitas dalam penerapan dan praktiknya. 

Ketegangan antara keyakinan politik dan tekanan dari rezim pemerintahan menjadi tantangan besar bagi Hamka. Penolakannya terhadap kebijakan otoriter Presiden Sukarno kemudian menunjukkan komitmennya pada prinsip-prinsip moral dan keadilan yang berbasiskan Islam. Mengingat bahwa pada saat itu Presiden Sukarno erat sekali hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran politik Hamka tidak hanya teoritis tetapi juga diterapkan dalam perjuangan praktis.

Karya dan Aktivisme Hamka

Hamka memulai kariernya sebagai guru agama di Padang Panjang pada 1927 sampai 1929, sebelum melanjutkan pekerjaannya di perkebunan di Tebing Tinggi, Medan. Selama sepuluh tahun di Medan, ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat, yang menjadi wadah bagi Hamka untuk menyalurkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Salah satu karya terkenalnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, lahir dari masa ini. Hamka juga menulis karya-karya keagamaan seperti Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup, yang menggabungkan aspek spiritual dengan pembaharuan sosial.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Hamka kembali ke Padang Panjang bersama keluarganya. Ia memanfaatkan kemerdekaan untuk menjadi politisi Masyumi dan pendakwah. Dalam ranah dakwah, Hamka memanfaatkan media, seperti RRI dan TVRI, untuk menyebarkan ajaran agama, menjadikan dirinya sebagai figur penting dalam penyiaran agama Islam di Indonesia. Dakwahnya di media berlangsung selama sebelas tahun, yang kemudian membuatnya dikenal luas dan dicintai banyak orang.

Di dunia pendidikan, Hamka juga mengajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Islam di Jakarta dan Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1957, ia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam di Jakarta dan menjadi Guru Besar di Universitas Moestopo. Penghargaan yang ia terima, seperti gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Kebangsaan Malaysia, semakin meneguhkan posisinya sebagai ulama yang berpengaruh di tingkat nasional ataupun internasional.

Hamka dan Pergerakan Nasional

Kondisi sosial-politik yang dinamis di Sumatra Barat dan Indonesia pada umumnya memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan hidup dan pemikiran politik Hamka. Gerakan nasionalis dan perjuangan melawan kolonialisme mendorong Hamka untuk berperan aktif dalam Partai Masyumi, partai politik Islam terbesar pada masa itu. Peranannya dalam Masyumi menunjukkan bahwa Hamka tidak hanya seorang ulama yang peduli dengan persoalan teologis, tetapi juga seorang politisi yang memperjuangkan aspirasi umat Islam di arena politik nasional.

Namun, ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960, Hamka memilih untuk meninggalkan jabatan pemerintahannya di Kementerian Agama. Pada tanggal 26 Juli 1957, Hamka kemudian dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi ia meletakkan jabatan tersebut pada tahun 1981, karena nasihatnya kepada pemerintah sering kali tidak diindahkan. Hal ini menunjukkan sikap Hamka yang teguh dan konsisten untuk mempertahankan prinsipnya dan menolak kompromi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keyakinannya, khususnya terhadap aqidah Islam yang ber-tauhid.

Penutup

Pemikiran dan kontribusi Buya Hamka tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sosial-politik yang melingkupinya. Sebagai seorang ulama, sastrawan, dan aktivis, Hamka memainkan peran penting dalam membentuk wacana keislaman dan kebangsaan di Indonesia. Pemikirannya, yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, tetap relevan sebagai inspirasi untuk memahami hubungan antara agama, politik, dan kemanusiaan dalam konteks modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun