Pendahuluan
Artikel ini membahas kehidupan dan pemikiran Buya Hamka dengan menyoroti biografinya, pemikiran dalam Tafsir Al-Azhar, pengaruh ayahnya terhadap pemikiran Hamka, dan keterkaitan pemikiran politiknya dengan latar belakang sosial-politik Sumatra Barat. Analisis ini mencakup hubungan antara pengalaman hidup Hamka dan dinamika sosial-politik yang mempengaruhi perjalanan hidup serta pandangannya dalam gerakan nasional Indonesia.
Biografi Buya Hamka
Buya Hamka, yang bernama lengkap Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Sungai Batang, Sumatra Barat. Ia tumbuh dalam keluarga ulama terkemuka; ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), adalah pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Ayahnya dikenal sebagai tokoh modernisme Islam yang memperjuangkan pembaruan pemikiran keagamaan melalui gerakan "kaum muda."
Hamka menempuh pendidikan formal hanya hingga tingkat dasar, tetapi ia memperkaya pengetahuannya melalui pembelajaran informal. Ia belajar agama di Sumatra Thawalib, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh ayahnya, dan melalui guru-guru seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasjid Sutan Mansyur. Selain itu, Hamka secara mandiri mempelajari filsafat, kesusastraan, sejarah, sosiologi, dan politik Islam ataupun Barat. Ia menguasai bahasa Arab dan mendalami karya-karya pemikir Timur Tengah, seperti Abbas Al-Aqqad dan Mustafa Al-Manfaluti, serta filsuf Barat seperti Freud, Karl Marx, dan Jean-Paul Sartre. Sebagai seorang aktivis, Hamka bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Interaksi ini semakin memperkaya wawasannya dan membentuk pemikirannya tentang Islam politik.
Hamka dan Pemikiran dalam Tafsir Al-Azhar
Salah satu karya monumental Hamka adalah Tafsir Al-Azhar, sebuah tafsir Al-Qur'an yang ditulisnya saat di penjara pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Tafsir ini mencerminkan pemikiran Hamka yang moderat dan inklusif dalam konteks keagamaan. Pemikirannya menekankan relevansi ajaran Islam dalam kehidupan modern. Selain itu, Hamka juga mengaitkan nilai-nilai Islam dengan dinamika sosial-politik yang ia hadapi. Hal ini sungguh-sungguh mencerminkan keberanian intelektualnya untuk menyuarakan kebenaran, meski dirinya sedang berada dalam tekanan politik.
Pengaruh Ayah terhadap Pemikiran Hamka
Ayah Hamka, Haji Rasul, memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan intelektual dan spiritual Hamka. Sebagai tokoh reformasi Islam, Haji Rasul memperkenalkan Hamka pada gagasan modernisme dan pembaharuan keagamaan. Pendidikan di Sumatra Thawalib pada masa mudanya berkontribusi dalam memperkuat fondasi pemikiran Hamka, yang kemudian berkembang menjadi pandangan yang kritis terhadap tradisi konservatif dan praktik-praktik kolonialisme.
Hamka kemudian juga mengadaptasi prinsip-prinsip modernisme Islam ke dalam kehidupan praktis dan pemikirannya, sehingga menjadikannya seorang pemikir Islam yang progresif. Pengaruh ini terlihat dalam pendekatan Hamka terhadap isu-isu sosial dan politik, termasuk peran Islam dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera serta keputusan dirinya untuk berkhidmat dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Latar Belakang Sosial-Politik Sumatra Barat
Sumatra Barat pada masa itu adalah pusat dinamika sosial-politik yang berkontribusi besar terhadap gerakan nasional Indonesia. Sebagai wilayah yang kaya akan tradisi intelektual dan keagamaan, Sumatra Barat telah menjadi pusat berkembangnya pemikiran reformasi Islam yang dipelopori oleh kaum muda. Gerakan ini, yang dipengaruhi oleh gagasan modernisme Islam dari Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha, menginspirasi Hamka untuk berperan aktif dalam pergerakan nasional yang berbasis Islam.
Interaksi antara tradisi lokal, reformasi Islam, dan pengaruh kolonial berhasil membentuk kerangka berpikir Hamka. Ia melihat Islam sebagai kekuatan moral dan intelektual untuk melawan penjajahan dan memajukan masyarakat. Pemikiran Hamka ini tercermin dalam aktivitasnya yang multitalenta, yakni sebagai politisi, jurnalis, dan ulama Islam yang kompeten.
Pengaruh Sosial-Politik terhadap Pemikiran Politik Hamka
Pengalaman hidup Hamka, termasuk hubungan dirinya dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dan keterlibatannya dalam organisasi seperti Partai Masyumi, memperkuat pandangannya tentang Islam-politik. Hamka percaya bahwa Islam harus menjadi dasar moral dalam politik kenegaraan, tetapi ia juga menekankan pentingnya toleransi dan inklusivitas dalam penerapan dan praktiknya.Â
Ketegangan antara keyakinan politik dan tekanan dari rezim pemerintahan menjadi tantangan besar bagi Hamka. Penolakannya terhadap kebijakan otoriter Presiden Sukarno kemudian menunjukkan komitmennya pada prinsip-prinsip moral dan keadilan yang berbasiskan Islam. Mengingat bahwa pada saat itu Presiden Sukarno erat sekali hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran politik Hamka tidak hanya teoritis tetapi juga diterapkan dalam perjuangan praktis.