Integrasi teori-teori etika tradisional ke dalam etika lingkungan kontemporer telah berkembang dengan sangat kompleks dan beragam. Berikut ini adalah sedikit paparan tentang bagaimana teori-teori ini berhubungan dengan masalah lingkungan:
Konsekuensialisme
Konsekuensialisme adalah sebuah pendekatan dalam etika yang menilai benar atau salahnya suatu tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Berikut adalah rincian dari perspektif konsekuensialis dalam konteks etika lingkungan:
1. Nilai Intrinsik dan Disvalue
Dalam teori konsekuensialisme, nilai intrinsik atau kebaikan dan keburukan dianggap sebagai konsep moral yang lebih mendasar daripada penilaian tentang kebenaran atau kesalahan tindakan. Dengan kata lain, apa yang dianggap sebagai intrinsik baik atau buruk mempengaruhi penilaian tentang apakah suatu tindakan benar atau salah. Misalnya, utilitarianisme, salah satu bentuk utama konsekuensialisme, menganggap bahwa kebahagiaan atau kepuasan adalah satu-satunya nilai intrinsik di dunia, sedangkan penderitaan atau frustrasi terhadap kepuasan adalah satu-satunya disvalue (nilai buruk).
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan seberapa besar keseimbangan antara kebahagiaan (atau kepuasan kepentingan, keinginan, dan/atau preferensi) dan penderitaan yang dihasilkan. Sebuah tindakan dianggap benar jika menghasilkan keseimbangan positif dari kebahagiaan atau kepuasan terhadap penderitaan. Utilitarianisme tidak memperhitungkan siapa yang merasakan kebahagiaan atau penderitaan tersebut dalam penilaian moralnya; yang penting adalah total keseimbangan kebahagiaan atau penderitaan.
3. Kepentingan Semua Makhluk Sentien
Utilitarianisme, seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan kemudian Peter Singer, berargumen bahwa kepentingan semua makhluk yang mampu merasakan kebahagiaan atau penderitaan harus dipertimbangkan sama pentingnya. Dengan kata lain, tidak hanya manusia yang harus diperhitungkan, tetapi juga hewan non-manusia. Singer bahkan menyamakan penilaian kepentingan spesies non-manusia dengan isu-isu diskriminasi seperti seksisme dan rasisme, menyebutnya sebagai "speciesism".
4. Kritik terhadap Nilai Intrinsik Alam
Utilitarianisme memandang objek non-sentien di lingkungan, seperti spesies tumbuhan, sungai, gunung, dan lanskap, hanya memiliki nilai instrumental---yaitu nilai mereka tergantung pada bagaimana mereka mempengaruhi kesejahteraan makhluk sentien. Dengan kata lain, utilitarianisme tidak mengakui nilai intrinsik dari elemen-elemen ini. Oleh karena itu, praktik-praktik yang dapat menyebabkan penderitaan pada hewan non-manusia mungkin dianggap benar jika mereka menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi manusia.
5. Konsekuensialisme yang Lebih Luas
Meskipun utilitarianisme berfokus pada kebahagiaan dan penderitaan sebagai satu-satunya nilai intrinsik, pendekatan konsekuensialis yang lebih luas mungkin juga mengakui nilai intrinsik dari berbagai objek dan proses di lingkungan. Ini bisa mencakup pengakuan atas nilai intrinsik dari ekosistem atau proses ekologis yang lebih besar, bukan hanya nilai instrumentalnya bagi makhluk sentien.
6. Kontroversi dan Masalah
Konsekuensialisme, khususnya utilitarianisme, menghadapi kritik karena kemungkinan untuk membenarkan tindakan yang dapat merusak lingkungan atau menyebabkan penderitaan besar pada makhluk non-manusia jika itu menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi manusia. Contohnya, praktik berburu paus atau pembunuhan gajah untuk gading dapat dibenarkan dalam kerangka utilitarian jika dianggap menghasilkan kepuasan manusia yang lebih besar.
Secara keseluruhan, sementara konsekuensialisme, terutama utilitarianisme, berusaha untuk memaksimalkan kebaikan total dengan menilai tindakan berdasarkan hasilnya, pendekatan ini menghadapi tantangan dalam mempertimbangkan nilai intrinsik dari elemen-elemen lingkungan non-sentien dan konflik antara kepentingan manusia dan non-manusia.
Etika Deontologis
Etika deontologis adalah pendekatan dalam etika yang menilai benar atau salahnya tindakan berdasarkan kepatuhan terhadap aturan atau kewajiban moral, bukan berdasarkan konsekuensi dari tindakan tersebut. Berikut rincian tentang etika deontologis dalam konteks etika lingkungan:
1. Kepatuhan terhadap Kewajiban Moral
Dalam etika deontologis, benar atau salahnya suatu tindakan dianggap lebih bergantung pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip moral atau kewajiban tertentu daripada hasil dari tindakan tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan bisa dianggap benar atau salah secara intrinsik, tanpa memandang hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut.
2. Aturan Moral dan Kewajiban
Menurut perspektif deontologis, terdapat sejumlah aturan atau kewajiban moral yang harus dipatuhi, seperti "tidak membunuh atau merugikan yang tidak bersalah," "tidak berbohong," "menghormati hak orang lain," dan "memenuhi janji."Â Pelanggaran terhadap aturan-aturan ini dianggap intrinsik salah, terlepas dari konsekuensi yang mungkin timbul.
3. Hak dan Nilai Intrinsik
Dalam konteks etika lingkungan, deontologis sering kali mengaitkan kewajiban moral dengan nilai intrinsik dari makhluk hidup. Misalnya, Tom Regan, seorang advokat hak-hak hewan, mengklaim bahwa beberapa hewan memiliki "nilai bawaan" (inherent value) yang memberi mereka hak untuk diperlakukan dengan hormat. Regan berargumen bahwa hewan-hewan ini, sebagai "subjek kehidupan," memiliki hak moral untuk tidak diperlakukan hanya sebagai sarana untuk tujuan lain, dan praktik-praktik seperti perburuan olahraga atau eksperimen pada hewan adalah intrinsik salah.
4. Kriteria "Subjek Kehidupan"
Regan menyarankan bahwa hewan yang memiliki "nilai bawaan" adalah mereka yang memenuhi kriteria sebagai "subjek kehidupan". Kriteria ini mencakup kemampuan untuk memiliki persepsi indrawi, keyakinan, keinginan, motif, memori, kesadaran masa depan, dan identitas psikologis sepanjang waktu. Hewan yang memenuhi kriteria ini dianggap memiliki hak moral yang kuat untuk tidak disakiti atau diperlakukan dengan tidak hormat.
5. Biocentrism dan Kewajiban Moral
Beberapa teori deontologis memperluas perhatian moral untuk mencakup semua makhluk hidup, tidak hanya individu dengan kesadaran. Paul Taylor, misalnya, mengemukakan pandangan biocentrism, yang menganggap bahwa setiap makhluk hidup---termasuk tumbuhan dan mikroorganisme---memiliki "nilai bawaan" sebagai "pusat teleologis kehidupan". Taylor berargumen bahwa semua makhluk hidup memiliki hak moral untuk diperlakukan dengan hormat dan bahwa tindakan yang merusak atau mengabaikan kesejahteraan mereka adalah intrinsik salah.
6. Kritik terhadap Pendekatan Individualistik
Etika deontologis yang berfokus pada individu sering kali dikritik karena tidak mempertimbangkan keseluruhan ekosistem atau komunitas biologis. Misalnya, perhatian etika hak-hak hewan dan biocentrism yang berfokus pada individu mungkin berkonflik dengan kebutuhan untuk melindungi integritas ekosistem. Ini dapat menyebabkan ketegangan antara perlindungan individu dan konservasi lingkungan yang lebih luas.
Pendekatan Holistik (Holistic Approach)
Pendekatan holistik dalam etika lingkungan menilai nilai dan moralitas berdasarkan keseluruhan ekosistem atau komunitas biologis, bukan hanya individu di dalamnya. Berikut adalah beberapa poin penting tentang pendekatan ini:
1. Nilai Komunitas Biotik (Biotic Community Value)
Pendekatan holistik, seperti yang dikemukakan oleh J. Baird Callicott, berfokus pada nilai intrinsik dari komunitas biotik secara keseluruhan. Menurut pendekatan ini, nilai utama terletak pada integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik sebagai satu kesatuan, bukan pada nilai individual dari setiap anggota.
2. Prinsip Etika Tanah (Land Ethic)
Callicott mengadopsi prinsip etika tanah yang diilhami oleh Aldo Leopold, yaitu: "Sesuatu benar jika itu cenderung mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik. Sesuatu salah jika itu cenderung sebaliknya." Dengan prinsip ini, tindakan yang melindungi keseluruhan komunitas biotik dianggap benar, bahkan jika itu berarti mengorbankan individu di dalam komunitas tersebut.
3. Pengorbanan Individu untuk Kepentingan Holistik
Pendekatan ini mengizinkan pengorbanan individu jika itu diperlukan untuk melindungi atau memperbaiki keseluruhan komunitas biotik. Misalnya, jika memang perlu untuk men-culling (memusnahkan) populasi hewan tertentu untuk melindungi habitat atau keseimbangan ekosistem, maka tindakan tersebut dianggap etis dalam kerangka pendekatan holistik.
4. Kritik terhadap Pendekatan Holistik
Kritik terhadap pendekatan holistik mencakup tuduhan misantropi atau "fasisme lingkungan" yang mengabaikan hak individu. Beberapa kritikus berpendapat bahwa menilai nilai hanya berdasarkan keseluruhan ekosistem bisa mengabaikan hak dan nilai individu, baik manusia maupun non-manusia.
5. Revisi dan Pengembangan
Menyadari kritik tersebut, Callicott kemudian merevisi posisinya untuk mengakui nilai baik pada komunitas biotik maupun pada individu yang menjadi bagian dari komunitas tersebut. Prinsip-prinsip "second-order" atau prinsip tingkat kedua diperkenalkan untuk menetapkan prioritas antara kewajiban terhadap komunitas manusia dan komunitas alam.
Nilai Kesungguhan Alam (Value of Naturalness)
1. Definisi Nilai Kesungguhan (Naturalness)
Nilai kesungguhan (naturalness) berhubungan dengan seberapa "alami" suatu entitas atau kondisi, yaitu seberapa sedikit campur tangan manusia dalam hal tersebut. Robert Elliot berpendapat bahwa naturalness adalah sebuah sifat yang memberikan nilai intrinsik kepada segala sesuatu yang alami, termasuk entitas, kejadian, dan keadaan di alam.
2. Argumen untuk Nilai Kesungguhan
Elliot mengklaim bahwa nilai intrinsik dari naturalness sangat penting sehingga pengurangan nilai tersebut akibat dari perubahan atau kerusakan tidak dapat dikompensasi oleh nilai-nilai lain yang dihasilkan oleh manusia. Dengan kata lain, kerusakan pada kesungguhan alam tidak dapat digantikan oleh nilai-nilai yang dihasilkan secara artifisial.
3. Kritik terhadap Nilai Kesungguhan
Beberapa kritik terhadap nilai kesungguhan mencakup ambiguitas konsep "alami" dan asumsi bahwa naturalness selalu memiliki nilai intrinsik. Bernard Williams, misalnya, menunjukkan bahwa kita mungkin perlu menggunakan kekuatan teknologi untuk mempertahankan aspek-aspek yang tampaknya berada di luar kendali kita, yang dapat menciptakan paradoks dalam usaha melestarikan area liar.
4. Restorasi Alam
Perdebatan juga mencakup nilai dari lingkungan yang telah dipulihkan oleh manusia. Elliot berpendapat bahwa lingkungan yang dipulihkan tidak memiliki nilai kesungguhan yang sama seperti lingkungan alami yang tidak terjamah, sedangkan Katz berpendapat bahwa lingkungan yang dipulihkan sebenarnya adalah ciptaan manusia dan karenanya memiliki nilai instrumental, bukan nilai intrinsik.
Etika Keutamaan (Virtue Ethics)
Etika keutamaan adalah pendekatan moral yang berfokus pada karakter dan keutamaan individu, daripada pada prinsip-prinsip tindakan atau hasil dari tindakan tersebut. Pendekatan ini berbeda dari etika konsekuensialis dan deontologis dalam hal fokus dan penilaian moral. Berikut adalah rincian mengenai etika keutamaan:
Etika keutamaan berfokus pada karakter moral individu dan kualitas pribadi, bukan hanya pada tindakan itu sendiri atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Pendekatan ini menilai moralitas tindakan berdasarkan pada apakah tindakan tersebut mencerminkan keutamaan atau kebajikan tertentu.
Dalam etika keutamaan, moralitas ditentukan oleh kualitas karakter seseorang dan apakah seseorang memiliki sifat-sifat yang dianggap baik. Beberapa keutamaan yang sering disebutkan dalam etika keutamaan adalah kebajikan seperti kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan keadilan. Pendekatan ini berbeda dari etika deontologi yang menilai tindakan berdasarkan kepatuhan terhadap aturan moral atau etika konsekuensialis yang menilai tindakan berdasarkan hasilnya.
Etika keutamaan menilai moralitas berdasarkan karakter moral seseorang. Keutamaan (virtues) adalah kualitas moral yang membentuk karakter dan menentukan tindakan seseorang. Dalam etika keutamaan, tindakan dianggap benar jika mencerminkan sifat-sifat moral yang baik. Sifat-sifat ini termasuk kebajikan seperti kebaikan hati, kejujuran, dan keberanian.
Menurut etika keutamaan, kehidupan yang baik atau bahagia adalah hasil dari hidup yang sesuai dengan keutamaan. Aristoteles, salah satu tokoh utama dalam etika keutamaan, berpendapat bahwa hidup yang berbudi pekerti baik adalah cara terbaik untuk mencapai kebahagiaan.
Etika keutamaan menganggap motivasi di balik tindakan sebagai hal penting. Tindakan harus dilakukan dengan niat yang baik dan dengan sifat-sifat moral yang benar.
Etika keutamaan sering dikritik karena dianggap terlalu antroposentris (terpusat pada manusia) dan kurang memperhatikan masalah-masalah lingkungan non-manusia. Namun, beberapa pemikir berpendapat bahwa hidup yang berbudi pekerti baik juga melibatkan penghargaan dan perawatan terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H