Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manunggaling Kawula-Gusti: Ajaran Hakikat Hidup dalam Serat Dewa Ruci

20 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Wayang (Sumber: DeviantArt)

Kisah-kisah tentang Walisongo tak dapat dipisahkan dari aspek sosiologis dalam kehidupan orang Jawa, terutama yang beragama Islam. Bahkan, orang Jawa benar-benar menggeluti Islam “walisongoisme” atau pemikiran-pemikiran dari Wali Songo. Pernyataan ini tampaknya tidak berlebihan, sebab berkat jasa para wali Allah ini, Islam berhasil berkembang  dan berjaya di tanah Jawa.

Apabila kita telusuri kembali sejarah, Islam sudah mulai memasuki Nusantara pada abad ke-7. Namun, perkembangan Islam baru benar-benar signifikan pada abad ke-12 sampai ke-14, tepatnya pada masa Wali Songo menyebarkan Islam dan mulai berdakwah. Oleh karena itu, Wali Songo dinilai sangat berjasa dalam “meng-Islam-kan” Pulau Jawa.

Setelah kepercayaan-kepercayaan lokal dan agama Hindu-Buddha berkembang, Islam hadir sebagai agama baru di masyarakat Pulau Jawa. Pendekatan kultural pun digunakan oleh Sunan Kalijaga guna menarik hati masyarakat, misalnya dengan melalui hal-hal yang digemari oleh masyarakat Jawa.

Salah satu caranya adalah dengan menggunakan seni sebagai media, seperti perwayangan dan tembang-tembang berbahasa Jawa. Pendekatan ini kemudian menghasilkan pandangan di kalangan masyarakat Jawa, bahwa Islam, sebagai agama baru, juga mampu “merangkul” budaya mereka, sehingga tidak ada perasaan “alienasi” atau keterasingan diri terhadap Islam. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga juga dikenal sampai sekarang sebagai seorang dalang dalam seni perwayangan.

Sunan Kalijaga pernah menggunakan cerita tentang Dewa Ruci untuk menjadi fasilitator penyebaran ajaran agama Islam. Cerita Dewa Ruci ini mengisahkan perjalanan Raden Werkudara (Bima) dalam pencarian seorang bernama Tirta Prawitasari atau air suci. Resi Durna yang merupakan guru Bima kemudian memerintahkan Bima untuk mencari air suci tersebut.

Kepada Bima, Resi Durna menuturkan, “Anakku tercinta, air suci itu berada di tengah Hutan Tikbrasara. Di dalam hutan lebat itu terdapat Gunung Reksamuka. Air suci terletak di dalam gua gunung itu.”

Perintah Resi Durna kemudian disangsikan oleh saudara-saudara Bima, yaitu empat Pandawa lainnya. Mereka mencurigai bahwa perintah tersebut hanyalah siasat licik dari Kurawa untuk memusnahkan keluarga mereka. Namun, peringatan itu tidak diindahkan oleh Bima. Baginya, perintah Sang Guru wajib untuk dipatuhi. Bima meyakini bahwa ia tidak mungkin dibunuh, karena niatnya adalah suci, yaitu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Restu Sang Dewata diyakininya pasti menyertainya.

Setibanya di gua Gunung Reksamuka, dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala, justru yang ditemui oleh Bima. Mereka pun segera bertarung, dan Bima berhasil mengalahkan kedua raksasa tersebut. Akan tetapi, Bima tetap kecewa karena tidak menemukan air suci. Ia kembali kepada gurunya untuk meminta petunjuk. Melihat kedatangan Bima yang dikiranya akan kalah melawan kedua raksasa itu, Resi Durna—Sang Guru—pun terkejut.

“Wahai putraku yang sedang diuji, kini terbukti bahwa engkau adalah muridku yang setia. Maka, akan kutunjukkan keberadaan air suci yang sesungguhnya. Ia berada di tengah samudra. Seberangilah samudra itu dengan berjalan kaki,” titah Sang Guru.

Tanpa keraguan terhadap titah Gurunya, petunjuk gurunya langsung dipatuhi oleh Bima. Di tengah samudra, air suci itu dicarinya, tetapi tetap tidak ditemukan. Malahan, ia diserang oleh seekor ular-naga Amburnawa di tengah samudra itu. Tubuh Bima kemudian dililit oleh ular-naga tersebut. Namun demikian, Bima tetap berhasil menancapkan kukunya sampai ular-naga Amburnawa itu tewas. Bima menang lagi.

Bima bingung atas semua perintah ini. Di manakah letak Tirta Prawita Sari sesungguhnya? Dalam kebingungan itu, ia bertemu dengan sosok manusia yang sangat kecil, bahkan ukurannya hanya seukuran jari kelingking, tapi sosok itu menyerupai dirinya. Sosok itu adalah Dewa Ruci.

“Masuklah ke dalam diriku!” perintah Dewa Ruci. Bima yang kebingungan saat mendengar perintah tersebut, bertanya dalam hatinya: Bagaimana mungkin dirinya yang tinggi besar dapat masuk ke dalam sosok Dewa Ruci yang merupakan manusia kerdil seperti itu?

“Masuklah lewat telinga kiriku!” tutur Dewa Ruci. Bima merasakan pengalaman mistis luar biasa saat memasuki tubuh Dewa Ruci, sebagaimana yang diceritakan oleh Sunan Kalijaga. Dialog antara kedua tokoh itu dibuat Sunan Kalijaga serupa dengan dialognya saat berguru dengan Nabi Khidir a.s.

Kisah Dewa Ruci tersebut sebenarnya merupakan cara Sunan Kalijaga menyampaikan ajaran “tasawuf” (penyucian hati) kepada masyarakat. Ajaran tasawuf yang berdasarkan pengalaman spiritual yang ia alami sendiri.

Ajaran Sunan Kalijaga dalam Serat Dewa Ruci mengajarkan konsep kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Ajaran ini menekankan bahwa manusia pada hakikatnya adalah berasal dari Tuhan dan harus berupaya untuk berpulang kembali dengan-Nya (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).  Kesatuan ini dapat dicapai melalui penghayatan mistikus (sufisme), sufiyyah, atau tasawwuf. Namun, dalam Serat Dewa Ruci, kesatuan sempurna antara manusia dengan Tuhan baru terjadi setelah datangnya ajal. Manusia yang berhasil mencapai penghayatan dalam kesatuan dengan Tuhan akan menjadi waskita dan mencapai kesempurnaan hidup. Setelah Bima mengalami pengalaman spiritual bertemu dengan Dewa Ruci, ia kemudian menjadi manusia suci yang mawas diri.

Dewa Ruci yang menyerupai Bima merupakan perumpamaan bahwa untuk mengenal Yang Ilahi, maka seseorang harus terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri lebih dalam. Proses ini akan melibatkan penempaan kesadaran akan hidup yang mencakup diri sendiri, moral, sosial, dan lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan membawa pada kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran Ilahi. Saat kesadaran tertinggi tercapai, seseorang akan mengalami pertemuan dan kesatuan dengan Sang Hyang Widi, yang dalam konsep Jawa dikenal sebagai Manunggaling Kawula-Gusti

Penulisan cerita Dewa Ruci dianggap oleh sebagian orang Jawa sebagai strategi dakwah sekaligus simbolisasi pengalaman pribadi Sunan Kalijaga ketika ia memperoleh pelajaran dari tokoh spiritual ghaib yang diyakini umat Islam, yaitu Nabi Khidir a.s. Menurut cerita, Sunan Kalijaga berguru kepada Nabi Khidir as. di dekat Bar’ul Akbar, di tanah Lulmat Agaib. Dalam pertemuan ini, Nabi Khidir a.s. menjelma sebagai rare bajang (anak kecil) yang memberikan berbagai wejangan-wejangan kepada Sunan Kalijaga.

Simbolisme Sunan Kalijaga dalam Dewa Ruci

Simbolisme dalam ajaran Sunan Kalijaga adalah upayanya untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam dengan metode kultural dan dengan cara yang perlahan-lahan. Di mana, pemahaman Rakyat yang awam akan suka kepada cerita-cerita fiktif yang berisikan perang-perangan, petualangan, dan pertempuran. Namun, ketika pemahaman dari rakyat mulai meningkat, ia akan sadar simbolisme yang digambarkan olehnya, dan menyebut “O, jadi ini maksud Kanjeng Sunan Kalijaga.”

1) Dewa Ruci: menggambarkan Manunggaling Kawula-Gusti atau bersatunya hamba dan Gusti Allah.

2) Air Suci Prawitasari: menggambarkan Ilmu Sejati, yaitu mengungkap rahasia kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi sendiri adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul manusia dan kehidupannya. Ungkapan ini bertujuan untuk menuntun manusia agar lebih dekat mengenal Tuhan-Nya. Secara harfiah, istilah sangkan paraning dumadi, terdiri dari dua bagian: sangkaning dumadi, yang berarti asal-usul penciptaan kehidupan, dan paraning dumadi, yang merujuk pada tujuan akhir kehidupan.

3) Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka menggambarkan rasa prihatin (tikbra) dan tajamnya pisau (sara), sehingga melambangkan pelajaran untuk mencapai landeping cipta (tajamnya cipta). Gunung Reksamuka melambangkan, yaitu reksa (memelihara atau mengurusi) dan muka (wajah). Jadi, reksamuka melambangkan: mencapai sari ilmu melalui laku samadi.

4) Raksasa Rukmuka dan Rukmakala menggambarkan kemukten dan kamulyan. Rukmuka menggambarkan hambatan yang berasal dari makanan enak (kemukten) yang berkaitan dengan kerusakan. Rukmakala, yang berarti emas (rukma) dan bahaya (kala), melambangkan rintangan yang datang dari kemewahan kekayaan material, seperti pakaian, perhiasan, dan emas permata (kamulyan).

5) Ular Naga Amburnawa: sifat jahat dalam hati, seperti ego, sombong, nafsu, dan lain-lain.

Referensi

Khofsah, Umi. “Dewa Ruci (Simbol Perjalanan Mencari Hakikat Hidup).” Masjid Jendral Sudirman, 6 April 2018. https://mjscolombo.com/dewa-ruci-simbol-perjalanan-mencari-hakikat-hidup.

Pamungkas, Damar. “Kisah Serat Dewa Ruci: Pengalaman Mistik Sunan Kalijaga.” Jaringan Santri, 15 Mei 2020. https://jaringansantri.com/kisah-serat-dewa-ruci-pengalaman-mistik-sunan-kalijaga/.

Santoso, Kukuh. “Makna Hidup Dalam Falsafah Jawa: Sangkan Paraning Dumadi.” TIMES Indonesia, 25 Mei 2024. https://timesindonesia.co.id/kopi-times/496775/makna-hidup-dalam-falsafah-jawa-sangkan-paraning-dumadi.

Susila, Rico Surya Putra. “[Javanologi Explore] Cerita Wayang: Dewa Ruci.” PUI Javanologi (Kajian Tradisi Jawa), 28 November 2022. https://javanologi.uns.ac.id/2022/11/28/dewa-ruci/.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun