Bima bingung atas semua perintah ini. Di manakah letak Tirta Prawita Sari sesungguhnya? Dalam kebingungan itu, ia bertemu dengan sosok manusia yang sangat kecil, bahkan ukurannya hanya seukuran jari kelingking, tapi sosok itu menyerupai dirinya. Sosok itu adalah Dewa Ruci.
“Masuklah ke dalam diriku!” perintah Dewa Ruci. Bima yang kebingungan saat mendengar perintah tersebut, bertanya dalam hatinya: Bagaimana mungkin dirinya yang tinggi besar dapat masuk ke dalam sosok Dewa Ruci yang merupakan manusia kerdil seperti itu?
“Masuklah lewat telinga kiriku!” tutur Dewa Ruci. Bima merasakan pengalaman mistis luar biasa saat memasuki tubuh Dewa Ruci, sebagaimana yang diceritakan oleh Sunan Kalijaga. Dialog antara kedua tokoh itu dibuat Sunan Kalijaga serupa dengan dialognya saat berguru dengan Nabi Khidir a.s.
Kisah Dewa Ruci tersebut sebenarnya merupakan cara Sunan Kalijaga menyampaikan ajaran “tasawuf” (penyucian hati) kepada masyarakat. Ajaran tasawuf yang berdasarkan pengalaman spiritual yang ia alami sendiri.
Ajaran Sunan Kalijaga dalam Serat Dewa Ruci mengajarkan konsep kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Ajaran ini menekankan bahwa manusia pada hakikatnya adalah berasal dari Tuhan dan harus berupaya untuk berpulang kembali dengan-Nya (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kesatuan ini dapat dicapai melalui penghayatan mistikus (sufisme), sufiyyah, atau tasawwuf. Namun, dalam Serat Dewa Ruci, kesatuan sempurna antara manusia dengan Tuhan baru terjadi setelah datangnya ajal. Manusia yang berhasil mencapai penghayatan dalam kesatuan dengan Tuhan akan menjadi waskita dan mencapai kesempurnaan hidup. Setelah Bima mengalami pengalaman spiritual bertemu dengan Dewa Ruci, ia kemudian menjadi manusia suci yang mawas diri.
Dewa Ruci yang menyerupai Bima merupakan perumpamaan bahwa untuk mengenal Yang Ilahi, maka seseorang harus terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri lebih dalam. Proses ini akan melibatkan penempaan kesadaran akan hidup yang mencakup diri sendiri, moral, sosial, dan lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan membawa pada kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran Ilahi. Saat kesadaran tertinggi tercapai, seseorang akan mengalami pertemuan dan kesatuan dengan Sang Hyang Widi, yang dalam konsep Jawa dikenal sebagai Manunggaling Kawula-Gusti.
Penulisan cerita Dewa Ruci dianggap oleh sebagian orang Jawa sebagai strategi dakwah sekaligus simbolisasi pengalaman pribadi Sunan Kalijaga ketika ia memperoleh pelajaran dari tokoh spiritual ghaib yang diyakini umat Islam, yaitu Nabi Khidir a.s. Menurut cerita, Sunan Kalijaga berguru kepada Nabi Khidir as. di dekat Bar’ul Akbar, di tanah Lulmat Agaib. Dalam pertemuan ini, Nabi Khidir a.s. menjelma sebagai rare bajang (anak kecil) yang memberikan berbagai wejangan-wejangan kepada Sunan Kalijaga.
Simbolisme Sunan Kalijaga dalam Dewa Ruci
Simbolisme dalam ajaran Sunan Kalijaga adalah upayanya untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam dengan metode kultural dan dengan cara yang perlahan-lahan. Di mana, pemahaman Rakyat yang awam akan suka kepada cerita-cerita fiktif yang berisikan perang-perangan, petualangan, dan pertempuran. Namun, ketika pemahaman dari rakyat mulai meningkat, ia akan sadar simbolisme yang digambarkan olehnya, dan menyebut “O, jadi ini maksud Kanjeng Sunan Kalijaga.”
1) Dewa Ruci: menggambarkan Manunggaling Kawula-Gusti atau bersatunya hamba dan Gusti Allah.
2) Air Suci Prawitasari: menggambarkan Ilmu Sejati, yaitu mengungkap rahasia kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi sendiri adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul manusia dan kehidupannya. Ungkapan ini bertujuan untuk menuntun manusia agar lebih dekat mengenal Tuhan-Nya. Secara harfiah, istilah sangkan paraning dumadi, terdiri dari dua bagian: sangkaning dumadi, yang berarti asal-usul penciptaan kehidupan, dan paraning dumadi, yang merujuk pada tujuan akhir kehidupan.
3) Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka menggambarkan rasa prihatin (tikbra) dan tajamnya pisau (sara), sehingga melambangkan pelajaran untuk mencapai landeping cipta (tajamnya cipta). Gunung Reksamuka melambangkan, yaitu reksa (memelihara atau mengurusi) dan muka (wajah). Jadi, reksamuka melambangkan: mencapai sari ilmu melalui laku samadi.