Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Teori Keadilan John Rawls: Inikah Solusi untuk Dunia Kita yang Tidak Adil?

8 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 8 Desember 2024   19:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikimedia Commons

"Keadilan" adalah konsep yang kompleks dan sering kali sulit dipahami, dengan berbagai interpretasi yang sangatlah tergantung pada perspektif seseorang. Meskipun sifat teoritisnya yang abstrak, banyak ahli hukum dan HAM telah berusaha untuk mendefinisikannya seakurat mungkin. 

Salah satu pemikir liberalisme Eropa yang berpengaruh dalam hal ini adalah John Rawls, yang mengemukakan pandangannya tentang keadilan dalam karya terkenalnya, A Theory of Justice. Oleh karena itu, ulasan kali ini, kita akan membahas kontribusi Rawls dalam pemahaman tentang keadilan. 

John Bordley Rawls (1921--2002) adalah seorang filsuf yang melahirkan konsep moral-etis dan beberapa aspek politik asal Amerika yang diakui sebagai tokoh terkemuka dalam filsafat politik abad ke-20. Ia dianugerahi Schock Prize for Logic and Philosophy (1999) dan National Humanities Medal (1999). Selain itu, Rawls pun terkenal terutama karena karya monumental beliau, A Theory of Justice (1971), yang secara signifikan telah mempengaruhi pendiskursusan era kontemporer tentang hakikat dan makna dari "keadilan".

Sebelum kita jauh membahas, Rawls sendiri adalah seorang pengkritik yang keras asas utilitarianisme, yakni teori yang menyatakan bahwa tindakan adalah dianggap adil jika mereka menghasilkan kebaikan paling besar untuk jumlah orang paling banyak. Teori ini ditolak oleh Rawls, dengan argumentasi bahwa utilitarianisme telah memberikan keleluasan kepada keluarnya kebijakan yang hanya menguntungkan mayoritas, tetapi di sisi lain mengabaikan hak dan kebutuhan minoritas.

Dalam konteks penelusuran teoritis , pendekatan Rawls terhadap keadilan sangatlah dipengaruhi oleh Teori Kontrak Sosial, terutama interpretasi dari Immanuel Kant. Menurut Teori Kontrak Sosial, keadilan akan muncul dari kesepakatan yang dilakukan antara yang diperintah dengan yang memerintah (pemerintah), di mana kedua pihak menjadi penentu hak dan tanggung jawab masing-masing.

Versi Kant menekankan kontrak sosial yang diterima secara universal yang didasarkan pada hukum moral. Namun, versi Rawls, mengingat dia beraliran politik liberalis, memperkenalkan konsep "keadilan sebagai kesetaraan," yang mengadvokasi negara untuk tetap netral di antara nilai-nilai dan perspektif yang beragam. Ia berpendapat bahwa prinsip-prinsip kolektif pemerintahan, jika dibuat dalam kondisi yang adil, akan lebih mewakili kepentingan semua warga negara, daripada prinsip-prinsip yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang berpengaruh.

Untuk mengeksplorasi keadilan lebih lanjut, Rawls mengusulkan skenario hipotetis yang melibatkan "tirai ketidaktahuan." Dalam eksperimen pemikiran ini, individu membuat undang-undang dan aturan sosial tanpa pengetahuan tentang keadaan pribadi mereka sendiri---seperti status sosial, kedudukan dalam perekonomian, atau atribusi fisik dan mental. Kondisi ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembuatan aturan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.

Tujuan Rawls dalam memperkenalkan teorinya adalah untuk menguraikan kerangka kerja untuk masyarakat yang teratur dengan baik. Menurut Rawls, masyarakat semacam itu harus:

1) Meningkatkan Kesejahteraan Anggotanya, yaitu masyarakat harus dirancang untuk memajukan kesejahteraan semua anggotanya dan diatur oleh konsep keadilan publik.
2) Penerimaan Prinsip-Prinsip Keadilan, yaitu setiap anggota harus memahami dan menerima prinsip-prinsip keadilan yang sama, dan institusi sosial dasar harus memenuhi prinsip-prinsip ini.

Untuk mencapai ini, Rawls mengusulkan tiga perangkat hipotetis utama:

1) Posisi Asli, yakni situasi hipotetis di mana individu memilih prinsip-prinsip keadilan dari sudut pandang yang tidak memihak, tanpa mengetahui posisi mereka sendiri di masyarakat pada masa depan.
2) Tirai Ketidaktahuan, dimaknai sebagai alat konseptual yang memastikan para pembuat keputusan untuk tidak mengetahui karakteristik sosial, ekonomi, atau pribadi mereka sendiri, sehingga mendorong keadilan dan objektivitas dalam pembuatan aturan sosial.
3) Aturan Maksimum, adalah prinsip yang menyarankan agar para pembuat keputusan memilih aturan-aturan yang akan memaksimalkan kondisi bagi orang-orang yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Dalam konteks ini, para pembuat keputusan memilih aturan yang membuat posisi terburuk (paling tidak beruntung) sebaik mungkin.

Dengan menggunakan perangkat ini, Rawls bertujuan untuk mengembangkan prinsip-prinsip keadilan yang adil dan tidak bias, sehingga dapat menyediakan dasar yang kokoh untuk mewujudkan struktur masyarakat yang adil.

Menurut pemikirin John Rawls, terdapat dua keadaan dalam keadilan. 

Pertama, Keadaan Objektif, yaitu keadaan yang mengacu pada ketersediaan dan kelangkaan sumber daya dalam suatu masyarakat, yang memastikan kerja sama sosial tetap diperlukan. 

Kedua, Keadaan Subjektif, yaitu keadaan yang terjadi ketika individu memiliki kepentingan yang saling bertentangan, yang dapat mengganggu kerja sama yang saling menguntungkan.

Dua Prinsip Keadilan yang dikenalkan oleh John Rawls, antara lain:

1) Prinsip Kebebasan yang Sama: 

Setiap orang harus memiliki kebebasan dasar yang sama yang tidak boleh dilanggar untuk keuntungan orang lain. Ini termasuk kebebasan berbicara dan berkumpul. Setiap orang harus memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang paling luas, asalkan kebebasan tersebut kompatibel dengan kebebasan yang sama untuk orang lain.

2) Prinsip Difference dan Kesempatan yang Adil: 

Difference: Ketidaksetaraan harus memberikan manfaat kepada anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Prinsip ini menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga mendatangkan Manfaat Maksimal untuk Yang Paling Tidak Beruntung. 

Ketidaksetaraan tersebut harus memberikan keuntungan terbesar bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Dengan kata lain, walaupun ada ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan, ketidaksetaraan ini harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka yang berada dalam posisi terburuk tetap mendapatkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan skenario alternatif.

Kesempatan yang adil, yaitu  posisi dan jabatan dalam masyarakat harus tersedia bagi semua orang di bawah kondisi kesempatan yang adil. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa semua individu harus dapat memiliki akses yang setara untuk bersaing dalam mendapatkan posisi atau jabatan baik dalam posisi publik maupun swasta. Untuk memastikan kesempatan yang adil, masyarakat juga harus menyediakan sarana yang diperlukan, seperti pendidikan dan perawatan kesehatan yang memadai, agar setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk bersaing dan meraih posisi yang mereka inginkan tanpa adanya diskriminasi.

Sebagaimana pemikiran lainnya, kritik pun datang kepada Rawls. Kritik terhadap pandangan Rawls ini datang dari dua tokoh, yaitu:

1) G. A. Cohen:

G. A. Cohen mengkritik teori Rawls karena dianggap tidak praktis dalam konteks dunia nyata. Cohen berpendapat bahwa teori Rawls mengabaikan kebutuhan akan insentif yang membedakan untuk mendorong kerja keras dan motivasi dalam masyarakat. Menurut Cohen, masyarakat tidak dapat berfungsi secara efektif tanpa adanya diferensiasi insentif yang dapat memotivasi individu untuk berusaha lebih keras, dan teori Rawls tidak cukup mempertimbangkan aspek ini. Selain itu, ketidaksetaraan yang dibenarkan oleh prinsip perbedaan tidak cukup mempertimbangkan bagaimana ketidaksetaraan tersebut dapat memengaruhi motivasi dan kerjasama dalam masyarakat. Cohen berargumen bahwa teori Rawls mungkin gagal mengatasi masalah ketidaksetaraan yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan dalam hal motivasi dan kontribusi individu.

2) Martha C. Nussbaum:

Ia mengkritik teori Rawls karena tidak cukup mempertimbangkan kebutuhan khusus dan tantangan yang dihadapi oleh individu dengan disabilitas. Nussbaum berargumen bahwa teori Rawls, yang berfokus pada prinsip-prinsip keadilan dalam konteks distribusi sumber daya dan kesempatan yang adil, tidak memberikan perhatian yang cukup pada perlunya perlakuan diferensial untuk individu dengan disabilitas agar mereka dapat menjalani kehidupan yang layak dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat. Nussbaum juga mengkritik teori Rawls karena dianggap terlalu umum dalam pendekatannya dan kurang memadai dalam menangani keragaman kebutuhan individu. Dia berargumen bahwa teori Rawls mungkin tidak cukup fleksibel untuk menangani berbagai keadaan khusus dan kebutuhan yang bervariasi di antara individu, terutama mereka yang memiliki kondisi khusus seperti disabilitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun