Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Von Mohl & Mazhab Sejarah: Sang Arsitek Rechtsstaat yang Menata Dunia Hukum Kontemporer

2 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Robert von Mohl adalah salah seora pengacara dan politisi berkebangsaan Jerman pada abad ke-19. Mohl dikenal sebagai salah satu tokoh yang menciptakan dan mempopulerkan konsep Rechtsstaat atau negara hukum.

Menurut von Mohl, konsep Rechtsstaat tidak dapat berfungsi tanpa adanya norma-norma hukum, di mana prinsip utama yang mendasarinya adalah "kesakralan semua hukum." Bagi von Mohl, sumber hukum utama adalah hukum tertulis (positive law), meskipun hukum kebiasaan dan keputusan pengadilan juga dianggap penting. Dalam pemikirannya, norma hukum dalam negara hukum dikelompokkan ke dalam tiga jenis besar yang membentuk struktur legal negara.

Von Mohl mengklasifikasikan hukum ke dalam tiga tingkatan utama. 

Pertama, hukum "negara" atau "konstitusional" (Verfassungsgesetze) yang berfungsi sebagai dasar bagi semua institusi hukum lainnya. 

Kedua, Undang-Undang biasa (einfache Gesetze) yang dikeluarkan oleh otoritas politik, biasanya oleh seorang raja, dengan konsultasi dari badan perwakilan. 

Ketiga, ordinances (Verordnungen) yang dikeluarkan secara sepihak oleh otoritas dengan tujuan menegakkan norma-norma dari Undang-Undang yang lebih tinggi. 

Dalam kerangka ini, Undang-Undang konstitusional memiliki peran tertinggi, diikuti oleh Undang-Undang biasa yang mengatur isu hukum spesifik, sementara ordinances hanya berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan hukum yang sudah ada tanpa menciptakan norma baru.

Hukum Tidak Tertulis (Common Law atau Hukum Adat) dan Hukum Tertulis

Von Mohl mengakui baik hukum tertulis maupun hukum adat (hukum tidak tertulis) sebagai sumber hukum yang sah dalam suatu negara. Von Mohl menolak gagasan bahwa hukum tertulis harus lebih dominan.

Hukum adat, yang muncul dari pengalaman sejarah, politik, dan agama, mengatur masalah sehari-hari dan didukung oleh keyakinan masyarakat terhadap legitimasi norma tersebut. Meskipun ia menghargai nilai norma adat, ia juga mengidentifikasi tantangan mempertahankan dua sistem hukum yang berbeda ini---adat dan tertulis---dan mengusulkan agar konflik di antara keduanya diselesaikan dengan memprioritaskan hukum yang muncul belakangan.

Solusi yang dikemukakan tersebut berarti, jika ada benturan antara norma adat dan norma yang tertulis dalam Undang-Undang, hukum yang diterbitkan lebih terbaru akan diutamakan untuk diterapkan. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa hukum yang lebih baru kemungkinan akan lebih relevan dengan keadaan terkini dan perkembangan di dalam masyarakat. Von Mohl tidak sepenuhnya mengembangkan ide ini, tetapi prinsip ini mencerminkan keyakinannya bahwa hukum harus mencerminkan kondisi dan kebutuhan masyarakat dinamis yang terus berubah.

Pandangan Von Mohl dipengaruhi oleh Mazhab Sejarah Jerman. Mazhab Sejarah Jerman adalah aliran pemikiran hukum yang berkembang di Jerman pada abad ke-19, yang menekankan pentingnya sejarah, adat istiadat, dan perkembangan kebudayaan dalam pembentukan hukum. Mazhab ini berargumen bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari konteks historis dan sosialnya di mana hukum tersebut berkembang. Tokoh-tokoh penting dalam mazhab ini termasuk Friedrich Carl von Savigny, yang berpendapat bahwa hukum adalah hasil dari evolusi sosial dan budaya, bukan sesuatu yang ditetapkan secara arbitrer oleh lembaga legislatif.

Von Mohl jelas dipengaruhi oleh Mazhab Sejarah Jerman, sebab ia mengakui pentingnya adat dan kebiasaan dalam pembentukan hukum. Ia percaya bahwa hukum harus mencerminkan tingkat peradaban dan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. 

Von Mohl menolak pandangan bahwa hukum muncul secara spontan dari "jiwa" atau spirit dari suatu bangsa, sebab pandangan tersebut dianggap sebagai bentuk "mysticism" atau mistisisme yang tidak praktis. Menurutnya, negara tidak boleh hanya mengodifikasi norma adat, tetapi juga harus membuat Undang-Undang secara mandiri, terutama ketika perubahan sosial---seperti yang terjadi selama Revolusi Industri---menuntut adanya struktur hukum yang lebih formal.

Dengan demikian, von Mohl lebih memilih pandangan yang mengakui peran aktif negara dalam merumuskan hukum secara rasional dan terstruktur, serta mengadaptasi hukum sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Ia percaya bahwa, meski hukum harus mencerminkan adat dan kebiasaan, negara juga harus memiliki peran dalam menciptakan dan memperbaharui hukum untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya dalam masyarakat yang terus berkembang. Pada hakikatnya, von Mohl mendukung pendekatan yang seimbang dan selaras, dengan menganjurkan agar hukum adat tetap menjadi pertimbangan dalam proses legislasi sekaligus mengedepankan peran utama negara dalam menjaga persatuan, keteraturan, dan memperbaiki hukum adat yang tidak adil.

Verfassung dan Verfassungs-Urkunde

Doktrin von Mohl berfokus pada triad constitution, yaitu Undang-Undang, dan peraturan, yang mendominasi karyanya, sementara common law memiliki posisi sekunder. Secara historis, istilah "Verfassung" (konstitusi) dalam ilmu hukum Jerman merujuk pada sistem atau kondisi negara secara keseluruhan, bukan hanya pada suatu tindakan hukum tunggal Undang-Undang tertulis yang spesifik. Sebaliknya, Verfassung dipahami sebagai konsep yang lebih luas yang mencakup struktur dan prinsip-prinsip dasar negara. Hal ini berarti Verfassung bukan hanya merujuk pada satu dokumen hukum atau konstitusi yang tertulis, melainkan juga mencakup sistem dan kondisi keseluruhan yang mendefinisikan mekanisme negara dalam beroperasi. Selain itu, Verfassung adalah organisasi atau struktur umum negara yang mencakup berbagai aspek, seperti bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan hubungan antara negara dan warganya.

Konstitusi dapat muncul dalam berbagai bentuk hukum, tidak harus dalam satu dokumen atau Undang-Undang tertulis. Hal ini juga bisa mencakup akta konstitusi (Verfassungs-Urkunde) yang merupakan dokumen tertulis, serta prinsip-prinsip yang mungkin tersebar dalam beberapa Undang-Undang atau bahkan hukum adat.

Pemahaman tersebut berkembang pada abad ke-17 dan ke-18, seiring berkembangnya ide-ide Pencerahan yang menekankan pembatasan kekuasaan absolut melalui norma konstitusi. Pada abad ke-19, konstitusi dianggap sebagai mekanisme borjuis untuk membatasi kekuasaan monarki. Dalam arti lain, konstitusi berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh kelas borjuis (kelas menengah yang berkembang dalam masyarakat kapitalis) untuk membatasi atau mengurangi kekuasaan absolut para monarki dan penguasa absolut.

Konstitusi, memang pada waktu itu dianggap sebagai cara untuk menerapkan aturan dan prinsip yang mengendalikan kekuasaan penguasa dan memastikan bahwa kekuasaan tersebut dibagi atau dibatasi. Kelas borjuis, yang saat itu semakin berpengaruh dalam masyarakat, mendorong penerapan konstitusi sebagai jalan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka serta membatasi kekuasaan penguasa yang mutlak. Konstitusi digunakan untuk menerapkan norma-norma hukum yang mengurangi kekuasaan absolut para monarki dan penguasa, dan memperkenalkan prinsip-prinsip pemerintahan yang lebih demokratis atau berbasis pada hukum.

Pandangan Von Mohl sejalan dengan pandangan ini, yang memahami "Verfassung" bukan sebagai konstitusi tertulis, tetapi sebagai konsep yang lebih luas yang mendefinisikan organisasi dan tujuan negara. Penafsirannya tentang "organisasi" antara lain mencakup prinsip-prinsip negara, struktur kekuasaan, dan hubungan dengan warga negara, dan pandangan ini tetap konsisten sepanjang kariernya. Ia membedakan antara "Verfassung" (organisasi) dan "Verfassungs-Urkunde" (akta konstitusi), yang menekankan bahwa tidak semua prinsip negara tercermin dalam Undang-Undang tertulis.

Von Mohl mendukung sistem konstitusi yang didasarkan pada kesepakatan antara penguasa dan rakyat, tetapi juga memungkinkan konstitusi yang diberlakukan tanpa perwakilan. Dalam hal ini, konstitusi tanpa perwakilan dapat diberlakukan apabilan hak-hak warga negara tetap dilindungi. Dengan begitu, Mohl juga mengakui bahwa dalam beberapa situasi, sebuah konstitusi bisa saja diadopsi atau diberlakukan secara sepihak oleh penguasa tanpa adanya keterlibatan atau persetujuan langsung dari wakil rakyat (perwakilan rakyat).

Namun, meskipun konstitusi bisa diberlakukan tanpa partisipasi dari dan atas perwakilan, von Mohl tidak menentang perwakilan sepenuhnya. Dia mendukung konstitusi yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan antara penguasa dan rakyat, di mana perwakilan biasanya terlibat dalam proses tersebut. Dalam pandangannya, partisipasi rakyat melalui perwakilan merupakan cara yang ideal untuk menetapkan aturan dan hak-hak yang berlaku dalam suatu negara. Von Mohl pun lebih menyukai konstitusi yang dihasilkan dari kesepakatan antara penguasa dan rakyat melalui sistem perwakilan, karena ini memberikan legitimasi yang lebih kuat pada pemerintahan dan melindungi hak-hak warga negara. Dalam pandangannya, konstitusi berfungsi sebagai alat untuk menegakkan hukum dan melindungi kebebasan individu.

Von Mohl pun ercaya bahwa ketentuan konstitusi harus terus-menerus berkembang sesuai dengan tujuan negara, tetapi memperingatkan agar perubahan tidak dilakukan secara cepat, karena warga negara perlu membangun hubungan yang kuat dengan norma konstitusi. Konstitusi dan norma-norma konstitusional harus menjadi bagian integral dari kehidupan politik dan sosial warga negara. Hal ini berarti bahwa warga negara tidak hanya tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh konstitusi, tetapi mereka juga harus memahami, menerima, dan menghargai prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam konstitusi.

Von Mohl percaya bahwa konstitusi hanya akan berlaku efektif dan menjamin  stabilitas apabila masyarakat memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai konstitusional, seperti hak asasi, kebebasan, dan keadilan. Dengan demikian, warga negara diharapkan:

1) Menerima norma konstitusional sebagai panduan utama dalam kehidupan bernegara dan berpolitik;
2) Mengidentifikasi diri dengan norma-norma tersebut, sehingga norma-norma itu tidak hanya dipandang sebagai aturan yang diberlakukan dari atas (oleh penguasa), tetapi juga sebagai sesuatu yang dimiliki dan didukung oleh rakyat sendiri; dan
3) Membina hubungan emosional dan moral dengan konstitusi, sehingga mereka merasa bertanggung jawab untuk mematuhi dan melindungi aturan-aturan tersebut.

Menurut von Mohl, konstitusi yang tidak diinternalisasi oleh warga negara atau tidak relevan dengan perkembangan sosial dan politik masyarakat, akan kehilangan fungsinya. Maka dari itu, keterkaitan yang kuat antara warga negara dan norma konstitusi amatlah penting untuk menjaga stabilitas politik dan legitimasi dari hukum negara.

Pandangan lainnya, von Mohl juga mendukung adanya pengadilan konstitusi untuk menyelesaikan sengketa. Pengadilan konstitusi menurut von Mohl adalah lembaga yang diperlukan untuk memastikan penegakan aturan konstitusional dan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan konstitusi. Dalam pandangannya, pengadilan konstitusi bertindak sebagai penengah dan penegak aturan hukum tertinggi dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip negara hukum (Rechtsstaat).

Menurut von Mohl, pengadilan konstitusi menjadi penting karena:

1) Menegakkan Supremasi Konstitusi: Von Mohl melihat bahwa pengadilan konstitusi harus memastikan bahwa semua peraturan dan tindakan pemerintah tunduk pada konstitusi. Dalam sistem negara hukum yang baik, konstitusi harus selalu dijaga dan diutamakan di atas segala aturan hukum lain;
2) Menyelesaikan Sengketa Konstitusional: Von Mohl menyadari bahwa dalam sistem politik yang kompleks, sering kali terjadi sengketa antara berbagai lembaga negara, seperti antara pemerintah dan badan legislatif atau bahkan di antara lembaga eksekutif. Pengadilan konstitusi menjadi penting sebagai wadah untuk menyelesaikan konflik semacam itu dengan cara yang adil dan legal, sehingga keseimbangan kekuasaan tetap terjaga;
3) Mencegah Penyalahgunaan Kekuatan Konstitusional: Karena konstitusi sering kali berisi prinsip-prinsip umum yang luas, von Mohl merasa khawatir bahwa interpretasi konstitusi yang salah dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Pengadilan konstitusi, menurutnya, berperan untuk menghindari penyalahgunaan norma-norma ini, sehingga tidak ada pihak yang menggunakan konstitusi untuk memperkuat kekuasaan secara tidak sah; dan
4) Membantu Perkembangan Politik dan Hukum: Von Mohl menganggap bahwa adanya pengadilan konstitusi merupakan tanda dari tingkat pendidikan politik yang maju dalam masyarakat. Pengadilan konstitusi melambangkan kematangan politik dan hukum suatu negara, di mana konflik dan perbedaan pendapat diselesaikan secara legal dan terstruktur, bukan dengan cara-cara kekerasan atau otoritarian.

Pada akhirnya, von Mohl melihat konstitusi sebagai mekanisme perlindungan hak-hak warga negara sekaligus cerminan dari perkembangan politik suatu bangsa. Von Mohl menekankan bahwa konstitusi berfungsi sebagai mekanisme perlindungan hak-hak warga negara dengan cara menetapkan batasan kekuasaan negara dan memberikan jaminan terhadap hak-hak fundamental yang dimiliki oleh warga negara. Konstitusi memastikan bahwa kekuasaan negara tidak melampaui batasan yang telah ditetapkan. Dengan adanya konstitusi, warga negara memiliki jaminan bahwa pemerintah tidak bisa bertindak sewenang-wenang atau melanggar hak-hak mereka tanpa alasan yang sah.

Konstitusi juga merupakan dokumen yang melindungi hak-hak fundamental warga negara, termasuk hak atas kebebasan, keamanan, dan partisipasi politik. Dalam pandangan ini, konstitusi adalah alat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa warga negara memiliki perlindungan hukum yang kuat terhadap tindakan negara. Dengan adanya aturan hukum yang jelas dalam konstitusi, warga negara dapat memahami hak dan kewajiban mereka, serta mengetahui proses hukum yang harus diikuti untuk melindungi hak-hak mereka jika dilanggar.

Konstitusi sebagai dari perkembangan politik suatu bangsa dimaksudkan sebagai struktur dan isi konstitusi harus mencerminkan tingkat kematangan politik dan aspirasi nasional masyarakat di suatu negara pada masa tertentu. Von Mohl percaya bahwa konstitusi tidak boleh dipaksakan secara seragam kepada semua negara, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan politik yang ada di negara tersebut. Konstitusi harus lahir dari aspirasi dan keinginan masyarakat itu sendiri, bukan dari kekuatan eksternal (di luar negara) atau pengaruh asing. Menurut von Mohl, imposisi konstitusi yang tidak sesuai dengan kondisi internal suatu bangsa akan menghasilkan ketidakstabilan dan mungkin akan mengakibatkan resistensi politik yang berbahaya.

Perbedaan antara Act (Undang-Undang) dan Ordinance (Peraturan)

Act (Undang-Undang) adalah dokumen hukum yang bertujuan untuk mengembangkan dan mengisi konten hukum di bidang-bidang yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Undang-undang harus mematuhi norma-norma yang lebih tinggi (yaitu konstitusi) dan tidak boleh bertentangan dengan semangatnya.

Mengisi konten yang telah ditetapkan oleh konstitusi, misalnya Undang-Undang (act) harus mengembangkan dan menjabarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan batas-batas umum bagi sistem hukum dan pemerintahan dalam konstitusi dengan memberikan rincian spesifik dan aturan-aturan yang lebih terperinci. Artinya, Undang-Undang (act) harus berfungsi sebagai alat untuk menerapkan prinsip-prinsip konstitusi dalam praktik sehari-hari, serta mengatur berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang diatur oleh konstitusi.

Von Mohl juga menegaskan bahwa Undang-Undang (act) harus selaras dengan semangat konstitusi, yang mana merujuk pada nilai-nilai dan tujuan dasar yang terkandung dalam konstitusi. Von Mohl menekankan bahwa Undang-Undang (act) tidak hanya harus sesuai dengan teks konstitusi secara literal, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan yang lebih mendasar yang dimaksudkan oleh konstitusi. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang harus mencerminkan nilai-nilai inti dari konstitusi, seperti keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak-hak dasar, dan tidak boleh mengatur atau memperkenalkan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Karakteristik Undang-Undang (act) menurut von Mohl:

1) Harus bersifat permanen dan imperatif, artinya Undang-Undang harus berupa norma yang tetap dan bersifat mengikat. Undang-undang (act) dirancang permanen, yaitu dirancang untuk berlaku dalam jangka waktu yang lama dan tidak mudah diubah. Karakter permanen dari Undang-Undang akan memastikan bahwa ada kontinuitas dan kepastian hukum dalam sistem hukum. Von Mohl menekankan bahwa Undang-Undang tidak boleh sering berubah atau diubah tanpa alasan yang jelas dan mendasar, karena perubahan yang terlalu sering dapat merusak stabilitas dan keandalan hukum itu sendiri. Selain itu, Undang-Undang (act) harus bersifat imperatif, yang berarti ia memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa. Sebagai norma yang imperatif, Undang-Undang dapat menetapkan kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh warga negara dan pihak-pihak terkait. Undang-undang sebagai norma imperatif berfungsi untuk mengatur perilaku dan hubungan dalam masyarakat secara tegas dan memberikan dasar hukum yang jelas untuk penegakan hukum dan pembuatan keputusan.

2) Regulasi yang menetapkan kewajiban dan hak, artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh warga negara, lembaga, atau entitas lainnya. Kewajiban ini meliputi berbagai tindakan atau larangan yang diatur oleh Undang-Undang, dan setiap pelanggaran terhadap kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi atau tindakan hukum. Dengan demikian, Undang-Undang bertindak sebagai instrumen untuk mengatur perilaku dan memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum. Selain menetapkan kewajiban, Undang-Undang juga mengatur hak-hak yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam masyarakat. Hak-hak ini dapat mencakup hak-hak sipil, politik, sosial, dan ekonomi yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang. Undang-undang dapat menyediakan kerangka hukum yang memungkinkan warga negara untuk mengklaim dan melindungi hak-hak mereka, serta menetapkan mekanisme untuk penyelesaian sengketa terkait hak.

3) Harus didasarkan pada keperluan yang nyata (real necessity), artinya Undang-Undang hanya boleh dikeluarkan jika benar-benar diperlukan, dan harus menghindari regulasi yang tidak perlu atau merugikan negara. Undang-undang pun tidak boleh dibentuk hanya untuk memenuhi tuntutan atau keinginan yang tidak berdasar atau hanya untuk kepentingan sesaat. Keperluan nyata dalam hal ini bisa berupa masalah hukum, sosial, ekonomi, atau administratif yang membutuhkan solusi hukum yang terstruktur. Dengan demikian, von Mohl menolak pembentukan Undang-Undang yang tidak memiliki dasar kebutuhan yang jelas atau yang tidak akan memberikan manfaat praktis, sehingga menyebabkan malah menambah kerumitan dan mungkin merugikan negara, alih-alih memberikan solusi yang efektif.

4) Harus berprinsip generalisasi dalam konteks latar belakang pembentukanya, artinya Undang-Undang harus bersifat umum dan menghindari regulasi yang terlalu spesifik atau kasus demi kasus. Memang sudah seharusnya Undang-Undang menjadi aturan umum yang berlaku untuk berbagai situasi dan kasus. Dengan demikian, Undang-Undang harus memberikan panduan yang berlaku secara umum dan tidak terlalu detail.

5) Harus tepat waktu penerapannya, artinya Undang-Undang harus dipublikasikan dan diterapkan pada saat yang tepat, yaitu ketika kondisi sosial, ekonomi, atau politik benar-benar memerlukan aturan baru. Undang-undang tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan atau tidak boleh ditetapkan secara terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang mengenai waktunya. Ini juga berkaitan dengan ciri sebelumnya, yaitu keperluan yang nyata, sehingga Undang-Undang tersebut didasarkan pada penilaian yang mendalam mengenai kebutuhan nyata dan kesiapan masyarakat untuk menerima serta menerapkan aturan baru.

6) Tidak mengatur kewajiban yang tidak perlu, artinya Undang-Undang harus menghindari ad impossibilia non datur obligatio, sehingga Undang-Undang tidak boleh mencantumkan kewajiban yang tidak mungkin dipenuhi oleh subjek hukum. Ini mencakup kewajiban yang secara nyata tidak dapat dipenuhi baik karena ketidakmungkinan teknis maupun karena ketidakcocokan dengan sifat manusia atau kondisi praktis. Kewajiban seperti ini akan dianggap tidak sah dan tidak dapat diberlakukan, contohnya antara lain, kewajiban yang tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia, bertentangan dengan konstitusi, tidak mempertimbangkan kondisi dan keperluan yang nyata, dan kewajiban yang memberikan beban kepada subjek hukum secara berlebihan.

7) Kesesuaian dengan hukum adat dan kebiasaan, artinya Undang-Undang harus memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Ini termasuk mempertimbangkan tingkat peradaban dan kebutuhan khusus dari masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa ketika merancang dan menerapkan Undang-Undang, penting untuk mempertimbangkan norma-norma sosial dan tradisi yang sudah ada dalam masyarakat. Undang-undang baru harus selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat dan kebiasaan lokal. Hal ini memastikan bahwa Undang-Undang tidak bertentangan dengan praktik-praktik yang sudah mapan dan diterima dalam masyarakat, serta membantu dalam penerimaan dan pelaksanaan Undang-Undang tersebut di lapangan. Undang-undang baru harus selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat dan kebiasaan lokal. Hal ini memastikan bahwa Undang-Undang tidak bertentangan dengan praktik-praktik yang sudah mapan dan diterima dalam masyarakat, serta membantu dalam penerimaan dan pelaksanaan Undang-Undang tersebut di lapangan.

8) Kepatuhan pada hukum yang lebih tinggi, artinya Undang-Undang harus sesuai dengan norma yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan hak-hak pribadi yang telah diperoleh secara sah, seperti Undang-Undang dasar (konstitusi) atau prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Selain itu, Undang-Undang harus sejalan pula dengan prinsip-prinsip fundamental yang diatur dalam norma-norma hukum yang lebih tinggi. Prinsip-prinsip ini mencakup nilai-nilai dasar dari sistem hukum yang lebih tinggi, yang mencerminkan tujuan dan ideologi dasar dari negara hukum. Hal ini pun akan berdampak pada proses perubahan Undang-Undang. Von Mohl menekankan bahwa perubahan Undang-Undang harus dilakukan dengan mematuhi prosedur yang ditetapkan oleh norma hukum yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Undang-Undang hanya dapat diubah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam konstitusi atau norma hukum yang lebih tinggi, dan tidak dapat diubah sembarangan tanpa memperhatikan ketentuan tersebut.

9) Konsistensi, artinya semua Undang-Undang harus konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain. Undang-undang harus bebas dari kontradiksi internal. Artinya, Undang-Undang harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak mengandung ketentuan yang saling bertentangan. Setiap pasal atau ketentuan dalam Undang-Undang harus selaras satu sama lain dan mendukung tujuan hukum secara keseluruhan. Konsistensi lainnya, antara lain dengan prinsip-prinsip dasar---hak asasi manusia, keadilan, dan prinsip demokrasi---yang mendasari sistem hukum negara tersebut; Undang-Undang harus konsisten dengan Undang-Undang lain yang berlaku dalam sistem hukum, sehingga selaras dengan Undang-Undang yang sudah ada dan tidak membentuk ketentuan yang bertentangan dengan peraturan yang telah ada (harmonisasi dan terintegrasi); berkaitan dengan sejauh mana Undang-Undang mencerminkan dan mendukung tujuan dan ideologi negara; konsistensi juga perlu dijaga dalam hal implementasi dan penegakan Undang-Undang.

10) Stabilitas dan Kepastian: Undang-undang harus "stabil" dan tidak sering berubah. Penerimaan hukum asing harus disesuaikan dengan kondisi faktual negara. Stabilitas hukum ini penting untuk menciptakan kepercayaan dan kepastian dalam masyarakat serta untuk menjaga integritas sistem hukum. Stabilitas ini juga berfungsi untuk melindungi negara dari perubahan legislasi yang sembrono atau ad hoc, yang bisa merusak tatanan hukum yang telah ada. Mengenai kepastian, diartikan bahwa Undang-Undang harus jelas, tegas, dan tidak ambigu, sehingga warga negara dapat mengetahui dan memahami hak dan kewajiban mereka dengan jelas. Tanpa kepastian, hukum bisa menjadi tidak dapat diandalkan, dan penegakan hukum bisa menjadi tidak konsisten, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Ciri-ciri Undang-Undang yang baik, antara lain:
1) Kejelasan dan Kepastian: Harus jelas, tidak ambigu, dan mudah dipahami oleh warga negara.

2) Kesederhanaan dan Keringkasan: Harus disusun dengan cara yang ringkas dan mudah dipahami tanpa pengulangan yang tidak perlu.

3) Ketepatan: Harus mencakup masalah secara tepat tanpa regulasi yang berlebihan atau kurang.

Berbeda dengan Undang-Undang (act), peraturan (ordinance) merupakan dokumen hukum yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang. Peraturan tidak boleh memperkenalkan norma baru dan harus mematuhi Undang-Undang (act) yang lebih tinggi. Peraturan lebih bersifat eksekutif dan dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan spesifik dari Undang-Undang (act) yang ada. Ordinance berfungsi untuk mengatur pelaksanaan ketentuan Undang-Undang. Lembaga eksekutif menyusun rincian yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang dengan lebih praktis, seperti aturan teknis atau prosedural yang diperlukan untuk mencapai tujuan Undang-Undang.

Peraturan (ordinance) dapat dikeluarkan oleh otoritas negara atau badan yang berwenang apabila diatur oleh Undang-Undang. Apabila suatu badan atau otoritas tidak diatur dalam Undang-Undang (act) atau tidak memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (act), mereka tidak dapat mengeluarkan ordinance.  Ini sejalan dengan prinsip von Mohl yang menekankan bahwa ordinance harus mematuhi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Berbeda dengan Undang-Undang (act), pembuatan ordinance tidak memerlukan konsultasi dengan perwakilan rakyat (DPR) atau partisipasi publik yang luas, sebab peraturan (ordinance) lebih bersifat administratif dan teknis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun