10) Stabilitas dan Kepastian: Undang-undang harus "stabil" dan tidak sering berubah. Penerimaan hukum asing harus disesuaikan dengan kondisi faktual negara. Stabilitas hukum ini penting untuk menciptakan kepercayaan dan kepastian dalam masyarakat serta untuk menjaga integritas sistem hukum. Stabilitas ini juga berfungsi untuk melindungi negara dari perubahan legislasi yang sembrono atau ad hoc, yang bisa merusak tatanan hukum yang telah ada. Mengenai kepastian, diartikan bahwa Undang-Undang harus jelas, tegas, dan tidak ambigu, sehingga warga negara dapat mengetahui dan memahami hak dan kewajiban mereka dengan jelas. Tanpa kepastian, hukum bisa menjadi tidak dapat diandalkan, dan penegakan hukum bisa menjadi tidak konsisten, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Ciri-ciri Undang-Undang yang baik, antara lain:
1) Kejelasan dan Kepastian: Harus jelas, tidak ambigu, dan mudah dipahami oleh warga negara.
2) Kesederhanaan dan Keringkasan: Harus disusun dengan cara yang ringkas dan mudah dipahami tanpa pengulangan yang tidak perlu.
3) Ketepatan: Harus mencakup masalah secara tepat tanpa regulasi yang berlebihan atau kurang.
Berbeda dengan Undang-Undang (act), peraturan (ordinance) merupakan dokumen hukum yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-Undang. Peraturan tidak boleh memperkenalkan norma baru dan harus mematuhi Undang-Undang (act) yang lebih tinggi. Peraturan lebih bersifat eksekutif dan dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan spesifik dari Undang-Undang (act) yang ada. Ordinance berfungsi untuk mengatur pelaksanaan ketentuan Undang-Undang. Lembaga eksekutif menyusun rincian yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang dengan lebih praktis, seperti aturan teknis atau prosedural yang diperlukan untuk mencapai tujuan Undang-Undang.
Peraturan (ordinance) dapat dikeluarkan oleh otoritas negara atau badan yang berwenang apabila diatur oleh Undang-Undang. Apabila suatu badan atau otoritas tidak diatur dalam Undang-Undang (act) atau tidak memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (act), mereka tidak dapat mengeluarkan ordinance.  Ini sejalan dengan prinsip von Mohl yang menekankan bahwa ordinance harus mematuhi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi. Berbeda dengan Undang-Undang (act), pembuatan ordinance tidak memerlukan konsultasi dengan perwakilan rakyat (DPR) atau partisipasi publik yang luas, sebab peraturan (ordinance) lebih bersifat administratif dan teknis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H