Negara Policy
TipeNegara polisi (policy) adalah negara yang menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran dalam perekonomian. Dalam hal ini, negara hanya akan berfungsi sebagai penegak hukum dan penjaga tata tertib di tengah masyarakat saja, sehingga sering kali disebut juga sebagai Negara Jaga Malam.
Pemerintahan dalam tipe Negara Polisi ini adalah pemerintahan monarki absolut. Ciri khas tipe negara polisi, antara lain: Pertama, penyelenggaraan negara positif (bestuur); Kedua, penyelenggaraan negara negatif, yaitu dengan menolak segala bahaya yang mengancam negara atau keamanannya.
Negara polisi ini terkenal dengan slogannya "sallus publica supreme lex" (kepentingan umum sebagai sesuatu yang harus diutamakan). Untuk menentukan sesuatu sebagai kepentingan umum atau tidak, hanyalah raja. Dengan demikian, orang banyak atau rakyat tidak memiliki andil sama sekali. Kepentingan umum itu ditentukan oleh raja sendiri, bukan oleh pihak-pihak yang memang berkepentingan. Raja akan menentukan sesuatu sebagai kepentingan, sebab negara adalah raja. "L'etat c'est moi," yang berarti negara adalah aku (Raja). Saat ungkapan itu diucapkan di Prancis, kebebasan berpendapat dan berekspresi, bahkan kebebasan mengkritik raja, sangatlah tabu dan tak pernah terjadi.
Setelah mengamati kondisi negara-negara monarki absolut, baik di Eropa-daratan maupun di Prancis, tiap-tiap pemerintahan monarki absolut adalah tipe negara polisi. Seluruh penyelenggaraan kegiatan negara dan ketatanegaraan adalah bersumber dan berpusat pada raja. Dengan kata yang lebih ringkas, setiap tindakan negara ataupun kebijakannya pasti didasarkan atas perintah raja, sehingga lembaga-lembaganya hanya menjalankan apa yang menjadi titah sang raja.
Tipe Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum telah muncul jauh sebelum meletusnya Revolusi 1688 di Inggris. Muncul kembali pada abad ke-17 dan mulai populer pada abad ke-19. Latar belakang dari kemunculan pemikiran negara hukum ini adalah akibat dari tindakan kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya yang terjadi pada masa lampau. Oleh karena itu, ciri-ciri tiap negara hukum sangatlah sesuai dengan kondisi sosial, sejarah, dan perkembangan masyarakat di suatu bangsa tertentu.
Cita-cita negara hukum itu lebih tua dari ilmu negara dan ilmu politik. Cita-cita negara hukum pertama kali dicetuskan oleh Plato dan kemudian kembali dipertegas oleh Aristoteles.
Plato, melalui bukunya yang bertajuk Nomoi, sudah menaruh perhatian yang dalam terhadap isu hukum. Plato mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah penyelenggaraan yang diatur atau ditentukan oleh hukum. Cita-cita Plato demikian ini, diteruskan oleh muridnya bernama Aristoteles. Aristoteles pun menegaskan bahwa negara yang baik adalah negara yang diperintah langsung oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Lebih lanjut Aristoteles menjelaskan, bahwa negara diatur bukan oleh manusia, melainkan diatur oleh pemikiran yang adil dan kesusilaan yang dapat menentukan baik-buruknya suatu hukum. Oleh karena itulah, manusia perlu dididik, supaya manusia dapat menjadi warga yang baik, bersusila, sehingga manusia dapat menjadi manusia yang adil.
Pada saat kondisi tersebut telah terwujud, maka saat itulah dinamakan "negara hukum". Jelas seperti itu, sebab negara hukum memiliki tujuan untuk mencapai kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa keadilan yang memimpin atau memerintah suatu kehidupan bernegara. Kendatipun Plato dan Aristoteles telah merumuskan negara hukum ini jauh-jauh hari, tetapi untuk menerapkannya di Bumi Manusia ini bukanlah hal yang mudah.
Seperti yang disebutkan dalam alinea sebelumnya, di mana negara hukum muncul akibat kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya, maka negara hukum adalah reaksi (antitesis) dari negara polisi (polizei staat) yang ada terlebih dahulu.
Mengutip Hans Nawiasky, polizei staat terdiri atas dua tipe. Pertama, Sicherheit Polizei sebagai negara yang berfungsi untuk menjaga tata tertib dan keamanan. Kedua, Verwaltung Polizei atau Wohlfart Polizei sebagai negara yang menyelenggarakan perekonomian dan memenuhi semua kebutuhan warga negara. Maka dari itu, polizei staat adalah negara yang menyelenggarakan keamanan dan tata tertib sekaligus memenuhi kebutuhan perekonomian semua warga negara.
Andaipun, kedua fungsi tersebut berjalan semaksimal mungkin dan nyata adanya, maka permasalahan pun tidak akan timbul. Permasalahan itu akan timbul ketika negara polisi tersebut tidak melaksanakan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan perekonomian semua warga negara. Maka, negara polisi yang demikian ini adalah negara polisi yang tidak baik. Negara polisi yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan, bukan saja mengabaikan kewenangannya, melainkan juga menyelewengkan kewenangannya untuk kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi dan keluarganya.
Praktik seperti itu dapat dilihat dari peristiwa Revolusi Prancis 1789, pada saat pemerintahan Louis XIV. Setelah itu, sejak 4 Juli 1789, negara hukum mulai menjadi satu "fakta sejarah" sampai sekarang.
Kalau pada masa monarki sebelumnya yang berperan dalam kegiatan bernegara hanyalah bangsawan dan para agamawan saja, kali ini para kaum borjuis terlibat juga di dalam pemerintahan setelah revolusi. Makin lama, peran kaum borjuis pun makin besar, ditambah pada saat itu raja membutuhkan bantuan keuangan untuk melanjutkan peperangan.
Keikusertaan dan keterlibatan kaum borjuis dalam pemerintahan ini menjadi memiliki pengaruh besar terhadap konsep negara hukum di Prancis dan Jerman saat ini. Konsep negara hukum ini kemudian disebut sebagai Negara Hukum Liberal.
Dalam kepustakaan di Indonesia, istilah negara hukum disadur dari kata rechtstaat. Istilah ini mulai menjadi populer di Eropa sejak abad ke-19, walau sudah ada sejak lama di sana. Selanjutnya pula muncul istilah lain yang populer tentang negara hukum, yaitu rule of law. Istilah yang disebut belakangan ini populer setelah tulisan A. V. Dicey bertajuk Introduction to the Study of Law of the Constitution pada tahun 1885.
Pada mulanya di antara rechtstaat dan rule of law terdapat perbedaan pemaknaan, tetapi pada masa kini perbedaan itu sudah tidak lagi menjadi persoalan. Oleh karena, pada masa kini, telah ditentukan bahwa kedua-duanya sama-sama mengarahkan negara untuk mengakui, menghargai, dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski keduanya memiliki arah dan sasaran yang sama, jalan pemerintahan dan metode penerapannya tetaplah berbeda, yakni tetap sesuai dengan sistem hukum masing-masing.
Singkatnya, perbedaannya adalah rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme negara, sehingga memiliki sifat revolusioner di dalamnya. Berbeda dengan rule of law yang bersifat evolusioner. Perbedaan fundamental ini dapat dilihat dari substansi atau karakteristik baik rechtstaat maupun rule of law.
Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (Eropa daratan), yaitu civil law, sedangkan rule of law bertumpu pada sistem hukum yang sering kali disebut common law. Karakteristik utama civil law adalah administratif, sedangkan karakteristiknya common law adalah judicial.
Adapun ciri-ciri dari rechtstaat adalah:
1) Adanya UUD dan konstitusi yang memuat ketentuan tertulis mengenai hubungan penguasa dan rakyatnya;
2) Adanya pembagian kekuasaan negara; dan
3) Hak-hak kebebasan rakyat diakui dan dilindungi oleh Negara.
Ciri-ciri di atas menunjukkan arah dari rechtstaat untuk melindungi dan mengakui hak asasi manusia yang berbasis pada kebebasan dan persamaan. Undang-undang dasar yang disusun adalah untuk memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Yang terakhir, pembagian kekuasaan ditujukan untuk mengikis dan menghindari adanya pemusatan kekuasaan di dalam satu tangan, sehingga dapat memperkosa asas kebebasan dan persamaan.
Mengenai rule of law, A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti, yaitu:
1) Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogratif atau directionary authority yang luas dari pemerintah.
2) Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama terhadap ordinary law of the land pada setiap golongan yang dilaksanakan melalui ordinary court. Hal ini mengartikan kepada bahwa tak ada orang yang berada di atas hukum dan tidak ada peradilan administrasi negara.
3) Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, yang mana hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Menurut Romo Magnis Suseno, ada empat landasan moral yang menekankan kepada negara harus menjalankan tugasnya berdasarkan hukum, yaitu:
1) Terjaminnya kepastian hukum;
2) Tuntutan perlakuan yang sama di hadapan hukum;
3) Legitimasi demokratis terhadap pemerintah; dan
4) Tuntutan akal budi manusia.
Selanjutnya, berdasarkan ilmu politik, Romo Magnis Suseno mengambil empat ciri-ciri dari negara hukum yang berdasarkan etis-relevan, yaitu:
1) Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku;
2) Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif;
3) Berdasarkan kepada undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia; dan
4) Harus menurut kepada pembagian kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H