Mengutip Hans Nawiasky, polizei staat terdiri atas dua tipe. Pertama, Sicherheit Polizei sebagai negara yang berfungsi untuk menjaga tata tertib dan keamanan. Kedua, Verwaltung Polizei atau Wohlfart Polizei sebagai negara yang menyelenggarakan perekonomian dan memenuhi semua kebutuhan warga negara. Maka dari itu, polizei staat adalah negara yang menyelenggarakan keamanan dan tata tertib sekaligus memenuhi kebutuhan perekonomian semua warga negara.
Andaipun, kedua fungsi tersebut berjalan semaksimal mungkin dan nyata adanya, maka permasalahan pun tidak akan timbul. Permasalahan itu akan timbul ketika negara polisi tersebut tidak melaksanakan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan perekonomian semua warga negara. Maka, negara polisi yang demikian ini adalah negara polisi yang tidak baik. Negara polisi yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan, bukan saja mengabaikan kewenangannya, melainkan juga menyelewengkan kewenangannya untuk kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi dan keluarganya.
Praktik seperti itu dapat dilihat dari peristiwa Revolusi Prancis 1789, pada saat pemerintahan Louis XIV. Setelah itu, sejak 4 Juli 1789, negara hukum mulai menjadi satu "fakta sejarah" sampai sekarang.
Kalau pada masa monarki sebelumnya yang berperan dalam kegiatan bernegara hanyalah bangsawan dan para agamawan saja, kali ini para kaum borjuis terlibat juga di dalam pemerintahan setelah revolusi. Makin lama, peran kaum borjuis pun makin besar, ditambah pada saat itu raja membutuhkan bantuan keuangan untuk melanjutkan peperangan.
Keikusertaan dan keterlibatan kaum borjuis dalam pemerintahan ini menjadi memiliki pengaruh besar terhadap konsep negara hukum di Prancis dan Jerman saat ini. Konsep negara hukum ini kemudian disebut sebagai Negara Hukum Liberal.
Dalam kepustakaan di Indonesia, istilah negara hukum disadur dari kata rechtstaat. Istilah ini mulai menjadi populer di Eropa sejak abad ke-19, walau sudah ada sejak lama di sana. Selanjutnya pula muncul istilah lain yang populer tentang negara hukum, yaitu rule of law. Istilah yang disebut belakangan ini populer setelah tulisan A. V. Dicey bertajuk Introduction to the Study of Law of the Constitution pada tahun 1885.
Pada mulanya di antara rechtstaat dan rule of law terdapat perbedaan pemaknaan, tetapi pada masa kini perbedaan itu sudah tidak lagi menjadi persoalan. Oleh karena, pada masa kini, telah ditentukan bahwa kedua-duanya sama-sama mengarahkan negara untuk mengakui, menghargai, dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski keduanya memiliki arah dan sasaran yang sama, jalan pemerintahan dan metode penerapannya tetaplah berbeda, yakni tetap sesuai dengan sistem hukum masing-masing.
Singkatnya, perbedaannya adalah rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme negara, sehingga memiliki sifat revolusioner di dalamnya. Berbeda dengan rule of law yang bersifat evolusioner. Perbedaan fundamental ini dapat dilihat dari substansi atau karakteristik baik rechtstaat maupun rule of law.
Konsep rechtstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (Eropa daratan), yaitu civil law, sedangkan rule of law bertumpu pada sistem hukum yang sering kali disebut common law. Karakteristik utama civil law adalah administratif, sedangkan karakteristiknya common law adalah judicial.
Adapun ciri-ciri dari rechtstaat adalah:
1) Adanya UUD dan konstitusi yang memuat ketentuan tertulis mengenai hubungan penguasa dan rakyatnya;
2) Adanya pembagian kekuasaan negara; dan
3) Hak-hak kebebasan rakyat diakui dan dilindungi oleh Negara.
Ciri-ciri di atas menunjukkan arah dari rechtstaat untuk melindungi dan mengakui hak asasi manusia yang berbasis pada kebebasan dan persamaan. Undang-undang dasar yang disusun adalah untuk memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Yang terakhir, pembagian kekuasaan ditujukan untuk mengikis dan menghindari adanya pemusatan kekuasaan di dalam satu tangan, sehingga dapat memperkosa asas kebebasan dan persamaan.
Mengenai rule of law, A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti, yaitu:
1) Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogratif atau directionary authority yang luas dari pemerintah.
2) Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama terhadap ordinary law of the land pada setiap golongan yang dilaksanakan melalui ordinary court. Hal ini mengartikan kepada bahwa tak ada orang yang berada di atas hukum dan tidak ada peradilan administrasi negara.
3) Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, yang mana hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.