Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Program Perekonomian Indonesia Pasca-Kemerdekaan, dari PTE hingga Diplomasi KMB yang Menentukan!

28 November 2024   10:15 Diperbarui: 28 November 2024   10:27 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kondisi perekonomian pada masa kolonial Hindia Belanda yang tidak menumbuhkan industri dalam negeri, sehingga tidak menumbuhkan borjuasi nasional. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian rakyat yang lesu akibat pendudukan Jepang yang singkat tapi melelahkan, serta kondisi industri yang masih terpuruk dan masih terbatas pada pertanian. 

Hal-hal inilah yang melatarbelakangi penyusunan program-program perekonomian dan pembangunan pada masa Revolusi Nasional Indonesia atau Revolusi Kemerdekaan, mulai dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus hingga penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar.

Pusat Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia (PTE)

Sebelum proklamasi kemerdekaan, sistem perekonomian Indonesia sudah digariskan secara ideologis dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, yang mengamanatkan penyusunan sistem perekonomian bercorak sosialis-demokratis. Tak hanya itu, Indonesia juga mengajukan gagasan "Koperasi" sebagai saka guru perekonomian bangsa, sebagai tawaran alternatif di luar sistem pasar dan kapitalisme yang eksis di internasional.

Tepat pada 6--8 April 1945, pertemuan diadakan di Bandung untuk membahas tentang ekonomi dan sistemnya pasca-Indonesia merdeka. Dwitunggal---Sukarno dan Hatta---hadir pula dalam pertemuan tersebut, juga dihadiri sejumlah pedagang-pengusaha bumiputra.

 Hasil dari pertemuan tersebut kemudian melahirkan organisasi yang bernama Pusat Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia (PTE). Organisasi ini kemudian akan bertugas untuk menjembatani kepentingan dari pedagang-pengusaha bumiputra dengan perekonomian negara.

Usai Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaannya, PTE meluncurkan kerja sama antara kaum bisnis bumiputra dan perekonomian negara dalam rangka pengambilalihan perusahaan-perusahaan sisa-sisa kekuasaan Jepang, Belanda, dan kaum Tionghoa yang telah dikuasai Jepang. Akan tetapi, situasi pascaproklamasi yang begitu revolusioner dan meluluhlantakkan segala-galanya, menyebabkan PTE tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya. 

PTE yang didirikan sebelum proklamasi tak berdaya ketika perusahaan, jawatan, bisnis, kantor, gudang makanan, senjata, jaringan listrik, dan instalasi listrik berhasil diambil alih oleh laskar-laskar rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka.

PTE kemudian menuai kontroversinya, di mana para anggotanya---pengusaha/pedagang ikut serta terlibat, bahkan duduk, dalam jabatan pemerintahan. Harian Merdeka pernah menyebutnya sebagai "persekongkolan yang rawan penyelewengan" dan dijuluki sebagai "catut". 

Pada akhir tahun 1946, PTE telah kesulitan dalam bergerak, sebab pengawasan yang ketat dilaksanakan oleh Belanda---KNIL---yang kembali ingin berkuasa di bekas koloninya, dan kemudian berujung pada matinya PTE pada tahun 1947.

Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE)

Sebagaimana diketahui sebelumnya, pekerjaan paling besar pemerintah Republik pascaproklamasi adalah membenahi sistem perekonomian yang carut-marut. Kemudian, konferensi perencanaan perekonomian diadakan pada tahun 1946 di Yogyakarta. Dalam konferensi ini, dibahas mengenai program-program perekonomian, keuangan negara, pengendalian harga dan inflasi, serta pengalokasian sumber daya manusia milik bangsa Indonesia.

Dengan demikian, oleh Badan Perancang Ekonomi, tepat pada 17 Januari 1947 dibentuklah kebijakan ekonomi yang sejalan dengan Manifesto Politik bulan November 1945. 

Kebijakan itu menyatakan pengembalian aset-aset ekonomi yang sebelumnya diambil alih oleh pemerintah Republik kepada pemilik-pemiliknya dan restitusi setimpal atas aset-aset ekonomi yang tidak dikembalikan dan untuk aset yang akan diambil alih pemerintah pada masa mendatang. 

Selanjutnya, kebijakan tersebut pun menambahkan supaya "perbantuan ekonomi" dari luar negeri untuk segera dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat dan sejalan dengan garis politik pemerintah yang menekankan diplomasi.

Badan Perancang Ekonomi tersebut baru diperluas dan diperlengkap dengan dibentuknya Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE) pada tanggal 12 April 1947, di mana Hatta sebagai ketuanya. Tugas PPSE ini disebutkan dalam surat ketetapan pengangkatan anggotanya, yakni:

"... menyiapkan bukti-bukti dan buah pikiran untuk menjadi rencana dan dasar Pendirian Negara Republik Indonesia untuk menghadapi perundingan dan penyelesaian soal-soal ekonomi yang akan datang, terutama yang berhubungan dengan perusahaan bangsa asing yang ada di negeri kita serta dengan pembentukan Negara Indonesia Serikat."

PPSE juga menyatakan sikap senada dengan pendahulunya, yakni segala aset-aset ekonomi yang senyatanya milik bangsa asing, selain yang memang diperlukan oleh negara, akan diupayakan untuk segera dikembalikan kepada yang berhak, dan apabila ada aset yang akan diambil alih sesuai dengan kebutuhan negara, akan dibayarkan ganti kerugian yang sepadan dan proporsional. 

PPSE kemudian menyatakan perihal utang yang kemudian akan tercantum secara de jure dalam hasil Konferensi Meja Bundar, yaitu: Republik Indonesia akan mengakui semua utang atas nama Hindia Belanda, sebelum Perang Asia-Pasifik, dan akan menjadi utang Republik Indonesia. 

Hal ini serupa dengan pandangan Moh. Hatta bahwa Indonesia merdeka tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari pergaulan internasional. Karena, bagaimanapun juga, Indonesia yang masih belia ini membutuhkan bantuan-bantuan, terutama perbantuan kapital untuk menyelenggarakan pembangunan.

Keputusan PPSE dalam rangka penyediaan barang dan produksi dari Republik Indonesia dapat dilihat dalam Rancangan Sementara Plan Mengatur Ekonomi Indonesia:

"Jadi, import adalah sambungan yang tidak boleh tidak daripada produksi nasional. Baru setelah itu datang exsport, untuk pembayaran import itu.

Bukanlah "export-economie" yang harus diutamakan, ... melainkan: menimbulkan tenaga-pembeli rakyat yang sebesar-besarnya.

Tujuan perekonomian yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan dengan suatu plan-ekonomi yang teratur."

Argumentasi demikian ini ditujukan Hatta sebagai alat persuasif supaya Belanda dan ineternasional dapat segera mengakui pemerintah Republik Indonesia. Sejurus dengan ini, PPSE akan melaksanakan rencana ekonomi besar-besaran untuk kemakmuran, sehingga membutuhkan modal asing dan kredit yang sangat-sangat banyak dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Australia. 

Sikap politik-ekonomi yang demikian ini kembali dipertegas dengan pernyataan bahwa PPSE akan melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan bantuan modal asing. Guna menampung uang dari investasi modal asing di Indonesia, pemerintah Republik akan membentuk satu bank yang bertugas khusus untuk itu, yaitu Bank Pembangunan.

Namun demikian, proposal pembangunan dengan bantuan modal asing ini tidak dapat dilaksanakan secara efektif akibat Indonesia belum mendapatkan kedaulatan sepenuhnya. Hal ini semakin diperparah ketika Belanda melancarkan kebijakan blokade ekonomi kepada Republik dan menyerang teritorial Republik dalam Agresi Militer I dan Agresi Militer II.

Dalam menghadapi kondisi seperti demikian, pemerintah memerintahkan Hatta untuk mengkaji lebih dalam mengenai analisis bukti-bukti untuk memperkuat Indonesia dalam diplomasi, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian-penyelesaian perekonomian nasional, perusahaan asing, dan persiapan-persiapan untuk pembentukan RIS. 

Untuk mencapai tujuannya, PPSE menghindari pembahasan perusahaan-perusahaan besar milik Belanda, seperti pertambangan dan perdagangan.

Tugas PPSE yang diperintahkan kepada Hatta tersebut kemudian melibatkan beberapa tokoh-tokoh politik dan teknokrat. Namun, seiring berjalannya waktu, Hatta lebih fokus untuk mengurusi ranah "perundingan", sehingga lebih menonjolkan usaha-usaha penyelesaian diplomasi Indonesia. Oleh karena itu, PPSE seperti berubah rupa menjadi tim riset dan delegasi Indonesia untuk mendesak Belanda segera mengakui Republik Indonesia.

Setelah suasana diplomasi telah meredam dan perundingan KMB telah berhasil, rencana PPSE tidak mendapatkan tempat lagi dalam pendiskusian mengeni perekonomian negara. 

Dalam perjanjian yang ditandatangani oleh KMB menyebutkan bahwa Indonesia harus membayar kerugian perang yang terjadi selama revolusi Indonesia, mengembalikan semua aset milik Belanda, dan kemudian wajib membayarkan utang Hindia Belanda, baik utang dalam negeri maupun luar negeri.

 Persyaratan yang memberatkan Republik-nya Proklamasi ini, juga diterima oleh BFO (wakil-wakil dari negara bagian dalam RIS). Akan tetapi, tema tentang pembangunan ekonomi nasional di antara keduanya, masih menjadi topik utama pembicaraan.

Djuanda, dalam pengantarnya di Ekonomi Indonesia: Dari Ekonomi Kolonial Ke Ekonomi Nasional yang terbit pada bulan Juni 1949, sebagai berikut:

"Tujuan kita yang terutama bukanlah memperbaiki kembali atau merehabilitasi perekonomian dahulu akibat peperangan, akan tetapi kita menghendaki pembangunan dan pembaharuan menuju ekonomi nasional, yang diawasi, dipimpin, dan diselenggarakan oleh bangsa Indonesia sendiri, dengan tenaga ahli sendiri dengan bahan dan kekayaan kita sendiri, sedangkan hasilnya diperuntukkan untuk kemakmuran kita bersama."

Pikiran ekonomi Djuanda sebagaimana tertulis di atas, disahkan pasca-KMB. Akan tetapi, Indonesia tetap sulit melaksanakannya, karena biar bagaimanapun, Indonesia telah terikat dengan pasal-pasal ekonomi yang merugikan dalam Konferensi Meja Bundar. 

Akibatnya adalah tidak terealisasinya cita-cita perombakan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional dengan berbagai alasan, baik akibat instabilitas politik dalam negeri, ekonomi lesu yang terikat KMB, maupun pengondisian-pengondisian internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun