perekonomian pada masa kolonial Hindia Belanda yang tidak menumbuhkan industri dalam negeri, sehingga tidak menumbuhkan borjuasi nasional. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian rakyat yang lesu akibat pendudukan Jepang yang singkat tapi melelahkan, serta kondisi industri yang masih terpuruk dan masih terbatas pada pertanian.Â
Dengan kondisiHal-hal inilah yang melatarbelakangi penyusunan program-program perekonomian dan pembangunan pada masa Revolusi Nasional Indonesia atau Revolusi Kemerdekaan, mulai dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus hingga penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar.
Pusat Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia (PTE)
Sebelum proklamasi kemerdekaan, sistem perekonomian Indonesia sudah digariskan secara ideologis dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, yang mengamanatkan penyusunan sistem perekonomian bercorak sosialis-demokratis. Tak hanya itu, Indonesia juga mengajukan gagasan "Koperasi" sebagai saka guru perekonomian bangsa, sebagai tawaran alternatif di luar sistem pasar dan kapitalisme yang eksis di internasional.
Tepat pada 6--8 April 1945, pertemuan diadakan di Bandung untuk membahas tentang ekonomi dan sistemnya pasca-Indonesia merdeka. Dwitunggal---Sukarno dan Hatta---hadir pula dalam pertemuan tersebut, juga dihadiri sejumlah pedagang-pengusaha bumiputra.
 Hasil dari pertemuan tersebut kemudian melahirkan organisasi yang bernama Pusat Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia (PTE). Organisasi ini kemudian akan bertugas untuk menjembatani kepentingan dari pedagang-pengusaha bumiputra dengan perekonomian negara.
Usai Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaannya, PTE meluncurkan kerja sama antara kaum bisnis bumiputra dan perekonomian negara dalam rangka pengambilalihan perusahaan-perusahaan sisa-sisa kekuasaan Jepang, Belanda, dan kaum Tionghoa yang telah dikuasai Jepang. Akan tetapi, situasi pascaproklamasi yang begitu revolusioner dan meluluhlantakkan segala-galanya, menyebabkan PTE tidak mampu untuk melaksanakan tugasnya.Â
PTE yang didirikan sebelum proklamasi tak berdaya ketika perusahaan, jawatan, bisnis, kantor, gudang makanan, senjata, jaringan listrik, dan instalasi listrik berhasil diambil alih oleh laskar-laskar rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka.
PTE kemudian menuai kontroversinya, di mana para anggotanya---pengusaha/pedagang ikut serta terlibat, bahkan duduk, dalam jabatan pemerintahan. Harian Merdeka pernah menyebutnya sebagai "persekongkolan yang rawan penyelewengan" dan dijuluki sebagai "catut".Â
Pada akhir tahun 1946, PTE telah kesulitan dalam bergerak, sebab pengawasan yang ketat dilaksanakan oleh Belanda---KNIL---yang kembali ingin berkuasa di bekas koloninya, dan kemudian berujung pada matinya PTE pada tahun 1947.
Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE)
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pekerjaan paling besar pemerintah Republik pascaproklamasi adalah membenahi sistem perekonomian yang carut-marut. Kemudian, konferensi perencanaan perekonomian diadakan pada tahun 1946 di Yogyakarta. Dalam konferensi ini, dibahas mengenai program-program perekonomian, keuangan negara, pengendalian harga dan inflasi, serta pengalokasian sumber daya manusia milik bangsa Indonesia.
Dengan demikian, oleh Badan Perancang Ekonomi, tepat pada 17 Januari 1947 dibentuklah kebijakan ekonomi yang sejalan dengan Manifesto Politik bulan November 1945.Â