Tentu saja, ini adalah pertanda kemajuan, di mana autokrat legalistik menghindari pelanggaran hak asasi manusia dan menoleransi oposisi yang terbatas; gerakan hak asasi manusia telah berhasil dalam banyak hal. Namun, para autokrat legalistik jenis baru ini telah menemukan titik-titik tekanan baru untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka, yang jelas-jelas dipahami sebagai tindakan paksaan bagi mereka yang menjadi sasaran, tetapi tidak mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional. Para autokrat baru telah mempelajari bahwa mereka dapat mengonsolidasikan kekuasaan apabila mereka dapat dengan mudah membuat lawan-lawan mereka menyerah dan menyingkir, atau tinggal di rumah dan mengurusi urusan mereka sendiri. Mereka tidak perlu memenjarakan atau membunuh mereka yang menentang autokrasi; mereka hanya perlu meminta mereka untuk menoleransi kebebasan yang terbatas.
Oleh karena itu, para autokrat baru tidak akan terlihat seperti para otoriter zaman ayah kita semua, zaman Jenderal S, zaman Hitler, zaman Stalin, yang ingin menghancurkan sistem sebelumnya atas nama ideologi transformasi yang menyeluruh. Menggambarkan diri mereka sebagai penganut demokrasi konstitusionalis sangatlah penting untuk legitimasi publik Sri Paduka; apa yang tidak ada dalam retorika demokrasi baru adalah penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar kebebasan. Autrokat Legalistik tidak memiliki penghormatan terhadap minoritas, kemajemukan, atau sikap toleran. Autrokrat Legalistik juga tidak percaya bahwa kekuasaan publik harus dipertanggungjawabkan atau dibatasi. Singkatnya, paham kebebasan politik dan ekonomi jelas dihancurkan oleh para autokrat baru—termasuk Sri Paduka. Sementara itu, Sri Paduka tetap membiarkan wajah demokrasi dan konstitusionalisme langgeng, cantik, dan indah. Munafik dan zalim!
Lawannya Sri Paduka dalam pemilu dapat diganggu dengan tuduhan kriminal yang meresahkan, tapi mereka tidak akan dipenjara, atau setidaknya tidak untuk waktu yang lama. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat dibekukan, diancam akan diaudit keuangannya, dan lain sebaginya, tetapi mereka tidak akan ditutup oleh pemerintahan seperti rezimnya Sri Paduka. Pers yang mendukung oposisi tidak disensor, tetapi mungkin akan kekurangan iklan dan akhirnya akan segera dibeli oleh para oligarki yang terhubung dengan Sri Paduka, atau bahkan oleh uangnya Sri Padukanya sendiri. Pemilihan umum yang membuat para autokrat baru tetap berkuasa biasanya dicurangi dengan cara-cara teknis di belakang layar, bukan dengan taktik-taktik yang jelas dan dapat dilihat oleh para pengamat “seperti memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.” Tidak, tidak, semuanya terjadi di belakang layar! Dan Sri Paduka, lihai sekali cara-cara ini!
Melalui cara-cara tanpa kekerasan ini, demokrasi diubah menjadi mayoritarianisme yang brutal. Pemilu yang dicurangi—yang dicurangi dengan cara-cara yang tidak dapat dilihat oleh para pemantau dan pengawas pemilu independen—bahkan menjadi bukti bahwa masyarakat telah mendukung sang autokrat! “Rakyat itu suka saya, survei saya tinggi, kepuasan rakyat terhadap saya tinggi, bahkan pemilu pun saya menang terus,” ujar Sri Paduka sang Autokrat Legalistik.
Lalu apa sih yang menyebabkan demokrasi konstitusional gagal? Demokrasi konstitusional memang sudah lama sakit, meriang badannya, kemudian hancur di tangan orang seperti Sri Paduka. Para kritikus bisa saja tidak sepakat mengenai kapan penyakit itu dimulai dan apa yang menyebabkannya, tetapi kita bisa sepakat mengenai apa yang menyertai tren penurunan dukungan terhadap demokrasi dan konstitusionalisme: polarisasi politik yang radikal, munculnya pilihan-pilihan pemilu yang makin hari makin memburuk, kegagalan sistem kepartaian dalam menangani perubahan preferensi pemilih, kegagalan kaderisasi partai politik, elitisme parpol, resistensi kebijakan ekonomi terhadap rotasi pemilihan umum yang rutin, kejatuhan politik akibat guncangan ekonomi yang traumatik, politisasi lembaga peradilan (baca: Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang menguntungkan Sri Paduka dan kroni-kroninya), kesepakatan-kesepakatan yang korup di kalangan elite politik, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya—dan ini adalah kisah di banyak tempat di mana autokrat legalistik akhirnya memenangkan pemilihan umum—disfungsi dalam sistem kepartaian memungkinkan partai politik arus utama dikuasai atau, sebagai alternatif, beberapa gangguan di dunia (krisis ekonomi, skandal politik, trauma nasional) menyebabkan tersingkirnya partai-partai politik yang telah mapan karena mereka dipersalahkan atas masalah-masalah yang telah berlangsung lama. Banyak pemilih yang menjadi sinis akibat terlalu banyak janji yang gagal—dan mereka yang telah memberikan suara berulang kali untuk perubahan moderat tetapi tidak mendapatkan perubahan sama sekali—kemudian akan memilih pemerintahan yang tidak demokratis. Gelombang tsunami pemilu akhirnya membawa struktur konstitusional yang melemah ke dalam jurang kehancuran. Inilah cara autokrat karismatik, seperti Sri Paduka, naik ke tampuk kekuasaan dan terus bertahan di sana sampai waktu yang tidak ditentukan.
Namun yang menjadi korban di sini adalah kebebasan, meskipun tampilan luarnya terlihat masih ada demokrasi dan konstitusionalisme pun masih tampak. Masalahnya adalah bahwa pembentukan undang-undang oleh mayoritarianisme mensyaratkan adanya batas-batas yang ditetapkan oleh prinsip demokrasi. Berbagai proses dan pembahasan harus dihormati untuk memastikan bahwa kaum marjinal tidak diinjak-injak. Oposisi yang setia harus diperlakukan sebagai pihak yang berdiri di dalam dan bukan di luar jaminan hak konstitusional dan harus tetap memiliki peran dalam proses pembentukan undang-undang. Konstitusi demokratis juga memerlukan prinsip-prinsip dasar lainnya. Hak-hak berbicara dan berkumpul, independensi lembaga-lembaga seperti pengadilan, pers, dan lembaga masyarakat sipil. Tak hanya itu, penjaga konstitusi oleh lembaga peradilan independen seperti Mahkamah Konstitusi, harus dilindungi, dijaga muruahnya, dan dipatuhi norma putusannya. Terhadap batasan-batasan demokrasi ini, autokrat legalistik—seperti Sri Paduka—berargumen bahwa, “saya tidak dapat dibatasi sebab saya bertindak atas nama rakyat.” Begitulah titah Sri Paduka kepada khalayak.
Sri Paduka—dan kroni-kroninya—menggunakan hukum dan popularitasnya sebagai cara untuk membenarkan keputusan politiknya sehari-hari, termasuk memenangkan anaknya di pemilihan umum, menempatkan ajudan-ajudannya di pos-pos pemilihan umum kepala daerah, dan menempatkan keponakan-keponakannya di Badan Usaha Milik Pemerintah. Akhir dari kisah Sri Paduka: Sri Paduka mencampakkan kebebasan dan tidak menghasilkan kemakmuran!
Lawan politik dinasti!
Lawan oligarki politik!
Mari galang persatuan untuk jaga demokrasi demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur!