Timbulnya otoritarianisme ini disertai dengan pengambilalihan kekuasaan dengan menggunakan segala bentuk kekerasan dan penghancuran sampai akar-akarnya semua lembaga-lembaga politik yang telah ada. Agen-agen penghancurannya adalah paramiliter tak resmi, polisi rahasia, dan organ-organ partai yang datang dari luar sistem untuk menghancurkannya.
Para pemimpin otoriter selalu menempatkan orang-orang di sekitarnya hanya sebagai “boneka”, tidak membiarkan adanya perbedaan pendapat, dan tidak membiarkan adanya oposisi. Kurang lebih begitulah pola perilakunya Sri Paduka.
Tak hanya itu, Sri Paduka dan oligarkinya juga memonopoli kekuasaan dan menghancurkan semua bentuk kebhinekaan dan meludahi semua tuntutak hak oleh rakyat. Ciri khas otoritarianisme adalah pelanggaran hak asasi manusia secara massal. Ketika hal ini terjadi, kalian sedang ada dalam masalah!!!
Tentu saja, catatan sejarah jauh lebih kompleks daripada kedua skenario tersebut, dan justru itulah masalahnya. Pelajaran-pelajaran penting yang dapat diambil dari dua kasus otoritarianisme yang khas pada abad ke-20 merupakan serangkaian sinyal-sinyal modernitas yang disadari oleh publik sebagai sesuatu yang berbahaya.
Pelajaran-pelajaran baku ini, yang dipelajari dari sejarah yang kompleks, sering kali sangat sederhana, sehingga memberikan banyak ruang untuk mengulangi sejarah dengan memanfaatkan beberapa celah-celah cerita yang tidak terlalu banyak diketahui. Masalahnya adalah orang-orang terlalu banyak mempelajari pelajaran-pelajaran yang sederhana dan percaya bahwa jika tidak terjadi hal-hal yang persis seperti yang ia pelajari, maka bahayanya tidak akan terlalu besar. Dengan licik dan cerdik, Sri Paduka telah menyadari hal ini dan menghindari pengulangan skenario-skenario yang sudah dikenal luas yang akan menarik reaksi langsung dan keras. Sri Paduka tidak mau mencontoh Jenderal S terang-terangan, paling tidak mencari celah-celah yang sekiranya rakyat Sri Paduka sudah “lupa”. Iya, benar. Sri Paduka mengambil cara yang lebih baik, lebih lembut, tetapi pada akhirnya memang sama-sama merusak. Bahkan, jauh lebih merusak Sri Paduka.
Sri Paduka menyamar sebagai seorang demokrat sejati dan memerintah atas nama amanat demokratis. Sri Paduka tidak menghancurkan lembaga-lembaga negara; Sri Paduka memanfaatkannya, alih-alih menghapuskan lembaga-lembaga warisan leluhurnya ini. Senjata Sri Paduka adalah peraturan perundang-undangan, amandemen Undang-Undang Dasar atau konstitusi negaranya, dan reformasi kelembagaan sesuai minat dan kemauannya. Ideologi Sri Paduka sangatlah fleksibel, bahkan tidak peduli dengan ideologi, tidak peduli “tata krama”, tidak peduli intelektualitas. Sri Paduka juga sengaja membiarkan adanya perbedaan pendapat, tapi tidak terlalu luas, agar Sri Paduka tetap terlihat sebagai orang baik. Dibantu juga oleh relawan Sri Paduka, pemuja, penjilat, dan berbagai ornamen-ornamen kelembutan dan kesucian Sri Paduka sebagai pemimpin.
Alih-alih kebijakan pembumihangusan yang melenyapkan semua lawan, rezim-rezim yang legalistik autokratis, sebagaimana rezim Sri Paduka, mempertahankan beberapa surat kabar oposisi berskala kecil, beberapa partai politik yang lemah, beberapa LSM yang pro-pemerintah, dan bahkan mungkin satu atau dua orang oposisi yang terlihat (meskipun para oposan ini selalu didiskreditkan oleh media-media yang berpihak pada pemerintah dengan informasi yang menyesatkan—baik fakta maupun hoaks — sehingga hampir tak seorang pun menganggap mereka serius). Tidak ada keadaan darurat, tidak ada pelanggaran massal terhadap hak-hak tradisional warga negara.
Bagi para pengamat awam yang tidak memperhatikan kondisi di negara Sri Paduka dengan seksama, negara Sri Paduka ini masih terlihat normal-normal saja. Tidak ada tank di jalanan. Tidak ada kejahatan yang terang-benderang.
Sri Paduka mencapai tampilan dirinya yang normal dengan menghindari segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, setidaknya hak-hak yang tertuang dalam konvensi internasional dan konstitusi nasional. Sebaliknya, Sri Paduka menyingkirkan lawan-lawannya melalui berbagai macam tekanan: dengan kasus korupsi yang diancam sebagai “kartu truf” dan mengajaknya masuk ke dalam pemerintahan. Sri Paduka juga menghukum mereka yang menentang melalui langkah-langkah ekonomi, yang dengan mudah dapat disebut, “itu kan karena kerugianmu sendiri atau karena pasar sedang buruk, pemerintah nggak ikut campur.” Para oposan dipecat dari pekerjaan mereka, ditolak tunjangan sosialnya karena alasan teknis, dan diusir dari rumah mereka karena pelanggaran ringan dan pelanggaran teknis.
Para pemilik bisnis yang menjadi sasaran pemerintah dalam rangka redistribusi kepada para sekutunya, diberikan berbagai fasilitas yang tidak dapat mereka tolak. Tak satu pun dari tindakan ini yang merupakan pelanggaran hak yang serius, sebab jaminan keamanan ekonomi, hak atas tempat tinggal, hak untuk menjalankan bisnis yang bebas dari pemeriksaan pemerintah, hak untuk mendapatkan pendidikan gratis di universitas, atau hak untuk mendapatkan pendapatan pokok melalui program kesejahteraan sosial atau program pensiun, bukan merupakan hak-hak yang bisa diklaim dengan mudah di pengadilan. Sebaliknya, hak-hak yang diakui oleh konstitusi dan instrumen hak asasi manusia internasional adalah hak-hak yang dilanggar oleh para autokratik masyhur abad ke-20, yang terlibat dalam kejahatan genosida, pembunuhan politik, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, penyensoran, perampasan harta benda tanpa ganti rugi, pengadilan tanpa proses hukum, dan penggeledahan rumah-rumah pribadi.
Sri Paduka bertujuan untuk merebut dan menjalankan kekuasaan tanpa batas, tetapi Sri Paduka menyadari bahwa dirinya tidak perlu memusnahkan lawan-lawan di hadapan guna mencapai tujuannya. Justru sebaliknya, yang terjadi adalah berkebalikan. Sesuai dengan kepedulian Sri Paduka untuk mempertahankan “tampilan” publik sebagai orang baik dan barang yang sah, maka akan sangat berguna bagi Sri Paduka untuk terlihat demokratis, dengan menjalankan sedikit keterbukaan demokratis, sehingga Sri Paduka dapat mengklaim bahwa Sri Paduka bukanlah otoriter seperti pada abad ke-20. Oleh karena itu, Sri Paduka membiarkan oposisi yang lemah tetap ada dan ciri-ciri kehidupan demokratis lainnya, seperti pers yang kritis dan beberapa LSM kritis, untuk mencitrakan dirinya sebagai tokoh yang tidak sepenuhnya membungkam lingkungan politik dengan autokrasi yang sebenarnya sedang diterapkan. “Mosok, tampang begini, otoriter?” “Saya dimaki setiap hari, berarti masih demokratis.” “Saya nggak tahu, saya nggak ikut campur.” Dalih-dalih ini sering muncul sebagai citra diri di publik bahwa dia seorang demokrat yang paham konstitusi.