Polanya kini sudah kita kenali: demokrasi konstitusional, meski masih banyak kekurangan, berfungsi dengan cukup baik dan menghasilkan pemilu yang transformatif. Kemudian, seorang pemimpin karismatik (dengan gayanya yang sangat “menawan” dan populismenya) naik ke tampuk kekuasaan. Dia mendapatkan tambahan kekuatannya dari kondisi kejenuhan rakyat terhadap kondisi yang ada dan pasangan calon yang itu-itu saja. Pemimpin ini kemudian menjanjikan perbaikan esktrem terhadap berbagai ketidakberfungsian, seperti partisanship (kondisi keberpihakan pada parpol, golongan, atau pribadi yang kronis), ketidakefektifan jalannya pemerintahan, dan birokrasi yang stagnan. Dia mengklaim selalu berkata apa adanya, penuh dengan kejujuran, dan tanpa basa-basi selalu mengungkapkan dirinya yang berpihak pada rakyat. Dia menggunakan kekuatan dirinya yang berkarisma, populis, dekat sama rakyat, berbadan ramping, dan kemeja yang selalu tampak digulung, sambil meyakinkan rakyat [baca: pendukungnya yang buta] bahwa negara ini milik mereka, hanya milik mereka. Dia memenangkan kekuasaan, dan benar-benar memenangkannya, dengan begitu lihai dan terampil dan memulai langkahnya untuk memperkosa konstitusi. Sebut saja dia: Sri Paduka.
Di seluruh dunia, demokrasi konstitusional sedang “ramai-ramai diserang” oleh para pemimpin karismatik, yang ciri khasnya adalah tidak mau mengikuti peraturan, tidak taat konstitusi, mengakalinya, bahkan tak segan untuk menabrak atau membegalnya. Dari satu negara demokrasi ke negara demokrasi lainnya, tumbuh pula rasa ketidakpercayaan publik terhadap kelembagaan politik yang demokratis. Tren ketidakpercayaan ini ditunjukkan pada saat krisis keuangan global pada tahun 2008. Terlepas dari Great Recession yang semakin memperburuk situasi, kemerosotan demokrasi konstitusional ternyata telah terjadi sebelumnya. Hal ini dibuktikan oleh jumlah negara demokrasi dengan kualifikasi baik mulai berkurang, bahkan terjadi sebelum krisis ekonomi. Kemerosotan demokrasi konstitusional memang dapat dikatakan disebabkan oleh faktor permasalahan ekonomi, tetapi masalah sebenarnya lebih dari sekadar ekonomi. Masalahnya adalah terdapat hal keliru yang lebih fundamental di negara demokrasi.
Hal fundamental yang tersembunyi ini adalah kisah tentang “mencapai tujuan jahat melalui cara yang konstitusional”. Sri Paduka tidak hanya memanfaatkan krisis kepercayaan publik terhadap partai politik, tetapi juga Sri Paduka membegal partai-partai dengan tangan-tangan di sekelilingnya, dengan dalih sebagai alat untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dan terus mengukuhkan dirinya sebagai penguasa dalam jangka waktu yang lama. Barangkali untuk seumur hidup.
Iya, memang masih ada pemilihan umum. Barangkali begitu kata pengamat awam yang mencatat bahwa pemilihan umum di negara ini tetap berlangsung dan tidak ada tindakan ilegal di dalamnya. “Demokrasi memang tampaklah baik (atau cukup baik),” ujar si pengamat itu. Namun, Sri Paduka ini selalu menggunakan mandat “demokratis”-nya untuk melaksanakan agenda “reformasi hukum” yang—nyatanya—menghapus pengawasan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif [baca: DPR], membatasi gerak-gerik oposisi dan lawan politik [baca: Partai Politik Oposisi, LSM, NGO, dan aktivis], dan merusak lembaga independen yang krusial dalam negara demokrasi [baca: MK].
Sri Paduka juga mendorong langkah-langkah kontra-kebebasan politik, kontra-demokrasi. Mereka menggunakan dukungan elektoral ditambah dengan metode yang konstitusional untuk mencapai tujuan politik-kekuasaan mereka. Jangan heran bila Sri Paduka menghimpun semua partai dalam genggaman tangannya dan Sri Paduka memerintahkan ketum partai menggunakan ancaman kasus supaya kemauannya dijalankan oleh si ketum itu. Ya, tepat, Sri Paduka memang dapat menyembunyikan “gerakan” antidemokrasinya dan autokratisnya dalam “pengaburan” melalui jalan yang sah, menggunakan hukum yang sah, dan melalui cara yang konstitusional.
Demokrasi konstitusional yang memiliki banyak varian kelembagaan dan aturan substantif yang luas, bisa menjadi pembenaran normatif oleh Sri Paduka. Varian demokrasi konstitusional itu digunakan olehnya, dijadikan kedok untuk gerakan kontrademokrasi dan pelanggengan dinasti Sri Paduka untuk anak-anaknya. Di dalam variasi yang sah ini, beberapa kombinasi pola politik—seperti buzzer, survei, dan segala halnya—dan hukum terbukti amat beracun bagi kelangsungan demokrasi konstitusional dan kebebasan politik rakyat di negaranya Sri Paduka.
Sri Paduka ini, menemukan kombinasi-kombinasi versinya sendiri untuk membawa bangsanya ke luar dari alam demokrasi. Bahkan, ke luar dari alam Republik untuk menuju monarki tiran yang serakah, rakus, dan tak tahu diri. Hal ini disebabkan oleh Sri Paduka yang amat licik, sehingga dirinya mampu—dan amat mengetahui—cara-cara bermain di dalam sistem pemerintahannya. Mayoritarian penduduk negaranya yang tidak tercerdaskan secara politik dan aklamasi dalam pemungutan suara yang hanya 1 putaran, mengakibatkan Sri Paduka yang terlihat resik, suci, dan karismatik sangatlah tampak “merakyat”. Sri Paduka pun menjadi tersamarkan sebagai seorang demokrat sejati, di mana Sri Paduka adalah pemimpin yang dipilih melalui pemilu, tapi pada saat Sri Paduka menang, Sri Paduka mengubah segala konsep negaranya menjadi tidak berpaham konstitusionalisme. Ditambah dengan mandat “elektoral yang tinggi sampai tak terhingga” atas kemenangannya serta dengan perubahan UU secara konstitusional difokuskan oleh Sri Paduka untuk melayani agenda kekuasaannya, oligarkinya, pemujanya, dan hawa nafsu berkuasa Sri Paduka ini. Nah, yang dilakukan oleh Sri Paduka ini disebut sebagai “legalisme autokratik”.
Bagaimana Sri Paduka merombak demokrasi konstitusional menjadi legalisme autokratik?
Taktik pertama Sri Paduka dalah memanfaatkan “simplifikasi tipe” tirani dan otoriter yang ada di benak masyarakatnya. Misalnya, rezim penguasa tiran atau otoriter abad ke-20 selalu digambarkan dengan cara-cara tertentu, dan banyak rakyat yang dididik dengan narasi-narasi demikian, yang menyoroti pertanda yang menunjukkan bahwa otoritarianisme kejam-bahaya-rakus akan segera terjadi. Akan tetapi, Sri Paduka yang autokrat legalistik ini kemudian melakukan tindakan kontras dengan pandangan tipe tiran yang ada di benak masyarakatnya untuk mengonsolidasikan kekuasaan Sri Paduka sendiri, sehingga Sri Paduka dapat mengklaim bahwa Sri Paduka bukanlah otoriter. Di dunia di mana tokoh-tokoh penjahat abad ke-20 dikemas dalam narasi-narasi tertentu, maka tokoh-tokoh penjahat—seperti Sri Paduka—abad ke-21 akan berusaha keras untuk menghindari persamaan buruk dengan Sri Paduka abad ke-20 [baca: Jenderal S].
Coba perhatikan “skenario Hitler”: Pemimpin yang dimotivasi oleh ideologi yang luar biasa, berkuasa dan kemudian mengumumkan keadaan darurat, dengan dalih transformasi ekstrem sedang terjadi (terbakarnya Reichstag) yang mungkin dijalankannya juga oleh para pendukung pemimpin itu. Keadaan darurat memberikan kedok untuk melucuti semua hak dan jaminan konstitusional. Hak-hak ditangguhkan, dan kekuasaan parlemen diambil alih. Paramiliter mengganti segala peran milik lembaga-lembaga sipil yang biasa terdapat dalam negara. Hitler kemudian menyalahkan pihak lawan yang ada di dalam negeri, dan segera mengambinghitamkan sebagian rakyatnya sebagai dalih untuk merampas hak-hak mereka. Persepsi adanya “ancaman” dari lawan di dalam negeri menjadikan landasan untuk memobilisasi penduduk lainnya supaya menarik simpati kepada sesama warga negara, kemudian berakibat pada menjadi kondisi yang semakin rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan skala ekstrem. Pada akhirnya, Hitler nembawa negaranya ke dalam peperangan. Perang memberikan pembenaran bagi Hitlet untuk melakukan genosida dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran lainnya, yang ditampilkan sebagai penyebab mengapa pemimpin otoriter ini berusaha mencapai kekuasaannya.
Kemudian ada “skenario Stalin”: Pemimpin yang didorong oleh ideologi luar biasa lainnya, berjuang untuk mencapai puncak kekuasaan dengan menggunakan “ideologi, tipu muslihat, dan kekerasan”. Stalin dengan kejam menyingkirkan semua saingannya, mengonsolidasikan kendali atas Partai, dan kemudian menguasai negara seutuhnya. Pengukuhan rezim Stalin kemudian menyebabkan kematian jutaan orang, dengan tindakan ugal berupa pemenjaraan, penyiksaan, dan pembantaian para oposan dalam skala besar-besaran. Stalin pun menghancurkan lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya dan memerintah rakyatnya dengan amat kejam dan tanpa batas. Stalin merebut negara untuk mencapai tujuan kekuasaan-politiknya secara represif. Kebebasan ditiadakan, dan hak-hak dihormati hanya jika ada pelanggaran hak tersebut.
Dalam kedua skenario stick-figure di atas, pemusatan kekuasaan terjadi dengan sangat brutal, begitu menyeluruh, dan sangat jelas terlihat. Kedua skenario ini menampilkan: para pemimpin yang membenarkan tindakannya atas nama ideologi otoritarianisme yang kuat.
Timbulnya otoritarianisme ini disertai dengan pengambilalihan kekuasaan dengan menggunakan segala bentuk kekerasan dan penghancuran sampai akar-akarnya semua lembaga-lembaga politik yang telah ada. Agen-agen penghancurannya adalah paramiliter tak resmi, polisi rahasia, dan organ-organ partai yang datang dari luar sistem untuk menghancurkannya.
Para pemimpin otoriter selalu menempatkan orang-orang di sekitarnya hanya sebagai “boneka”, tidak membiarkan adanya perbedaan pendapat, dan tidak membiarkan adanya oposisi. Kurang lebih begitulah pola perilakunya Sri Paduka.
Tak hanya itu, Sri Paduka dan oligarkinya juga memonopoli kekuasaan dan menghancurkan semua bentuk kebhinekaan dan meludahi semua tuntutak hak oleh rakyat. Ciri khas otoritarianisme adalah pelanggaran hak asasi manusia secara massal. Ketika hal ini terjadi, kalian sedang ada dalam masalah!!!
Tentu saja, catatan sejarah jauh lebih kompleks daripada kedua skenario tersebut, dan justru itulah masalahnya. Pelajaran-pelajaran penting yang dapat diambil dari dua kasus otoritarianisme yang khas pada abad ke-20 merupakan serangkaian sinyal-sinyal modernitas yang disadari oleh publik sebagai sesuatu yang berbahaya.
Pelajaran-pelajaran baku ini, yang dipelajari dari sejarah yang kompleks, sering kali sangat sederhana, sehingga memberikan banyak ruang untuk mengulangi sejarah dengan memanfaatkan beberapa celah-celah cerita yang tidak terlalu banyak diketahui. Masalahnya adalah orang-orang terlalu banyak mempelajari pelajaran-pelajaran yang sederhana dan percaya bahwa jika tidak terjadi hal-hal yang persis seperti yang ia pelajari, maka bahayanya tidak akan terlalu besar. Dengan licik dan cerdik, Sri Paduka telah menyadari hal ini dan menghindari pengulangan skenario-skenario yang sudah dikenal luas yang akan menarik reaksi langsung dan keras. Sri Paduka tidak mau mencontoh Jenderal S terang-terangan, paling tidak mencari celah-celah yang sekiranya rakyat Sri Paduka sudah “lupa”. Iya, benar. Sri Paduka mengambil cara yang lebih baik, lebih lembut, tetapi pada akhirnya memang sama-sama merusak. Bahkan, jauh lebih merusak Sri Paduka.
Sri Paduka menyamar sebagai seorang demokrat sejati dan memerintah atas nama amanat demokratis. Sri Paduka tidak menghancurkan lembaga-lembaga negara; Sri Paduka memanfaatkannya, alih-alih menghapuskan lembaga-lembaga warisan leluhurnya ini. Senjata Sri Paduka adalah peraturan perundang-undangan, amandemen Undang-Undang Dasar atau konstitusi negaranya, dan reformasi kelembagaan sesuai minat dan kemauannya. Ideologi Sri Paduka sangatlah fleksibel, bahkan tidak peduli dengan ideologi, tidak peduli “tata krama”, tidak peduli intelektualitas. Sri Paduka juga sengaja membiarkan adanya perbedaan pendapat, tapi tidak terlalu luas, agar Sri Paduka tetap terlihat sebagai orang baik. Dibantu juga oleh relawan Sri Paduka, pemuja, penjilat, dan berbagai ornamen-ornamen kelembutan dan kesucian Sri Paduka sebagai pemimpin.
Alih-alih kebijakan pembumihangusan yang melenyapkan semua lawan, rezim-rezim yang legalistik autokratis, sebagaimana rezim Sri Paduka, mempertahankan beberapa surat kabar oposisi berskala kecil, beberapa partai politik yang lemah, beberapa LSM yang pro-pemerintah, dan bahkan mungkin satu atau dua orang oposisi yang terlihat (meskipun para oposan ini selalu didiskreditkan oleh media-media yang berpihak pada pemerintah dengan informasi yang menyesatkan—baik fakta maupun hoaks — sehingga hampir tak seorang pun menganggap mereka serius). Tidak ada keadaan darurat, tidak ada pelanggaran massal terhadap hak-hak tradisional warga negara.
Bagi para pengamat awam yang tidak memperhatikan kondisi di negara Sri Paduka dengan seksama, negara Sri Paduka ini masih terlihat normal-normal saja. Tidak ada tank di jalanan. Tidak ada kejahatan yang terang-benderang.
Sri Paduka mencapai tampilan dirinya yang normal dengan menghindari segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, setidaknya hak-hak yang tertuang dalam konvensi internasional dan konstitusi nasional. Sebaliknya, Sri Paduka menyingkirkan lawan-lawannya melalui berbagai macam tekanan: dengan kasus korupsi yang diancam sebagai “kartu truf” dan mengajaknya masuk ke dalam pemerintahan. Sri Paduka juga menghukum mereka yang menentang melalui langkah-langkah ekonomi, yang dengan mudah dapat disebut, “itu kan karena kerugianmu sendiri atau karena pasar sedang buruk, pemerintah nggak ikut campur.” Para oposan dipecat dari pekerjaan mereka, ditolak tunjangan sosialnya karena alasan teknis, dan diusir dari rumah mereka karena pelanggaran ringan dan pelanggaran teknis.
Para pemilik bisnis yang menjadi sasaran pemerintah dalam rangka redistribusi kepada para sekutunya, diberikan berbagai fasilitas yang tidak dapat mereka tolak. Tak satu pun dari tindakan ini yang merupakan pelanggaran hak yang serius, sebab jaminan keamanan ekonomi, hak atas tempat tinggal, hak untuk menjalankan bisnis yang bebas dari pemeriksaan pemerintah, hak untuk mendapatkan pendidikan gratis di universitas, atau hak untuk mendapatkan pendapatan pokok melalui program kesejahteraan sosial atau program pensiun, bukan merupakan hak-hak yang bisa diklaim dengan mudah di pengadilan. Sebaliknya, hak-hak yang diakui oleh konstitusi dan instrumen hak asasi manusia internasional adalah hak-hak yang dilanggar oleh para autokratik masyhur abad ke-20, yang terlibat dalam kejahatan genosida, pembunuhan politik, pemenjaraan tanpa proses pengadilan, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, penyensoran, perampasan harta benda tanpa ganti rugi, pengadilan tanpa proses hukum, dan penggeledahan rumah-rumah pribadi.
Sri Paduka bertujuan untuk merebut dan menjalankan kekuasaan tanpa batas, tetapi Sri Paduka menyadari bahwa dirinya tidak perlu memusnahkan lawan-lawan di hadapan guna mencapai tujuannya. Justru sebaliknya, yang terjadi adalah berkebalikan. Sesuai dengan kepedulian Sri Paduka untuk mempertahankan “tampilan” publik sebagai orang baik dan barang yang sah, maka akan sangat berguna bagi Sri Paduka untuk terlihat demokratis, dengan menjalankan sedikit keterbukaan demokratis, sehingga Sri Paduka dapat mengklaim bahwa Sri Paduka bukanlah otoriter seperti pada abad ke-20. Oleh karena itu, Sri Paduka membiarkan oposisi yang lemah tetap ada dan ciri-ciri kehidupan demokratis lainnya, seperti pers yang kritis dan beberapa LSM kritis, untuk mencitrakan dirinya sebagai tokoh yang tidak sepenuhnya membungkam lingkungan politik dengan autokrasi yang sebenarnya sedang diterapkan. “Mosok, tampang begini, otoriter?” “Saya dimaki setiap hari, berarti masih demokratis.” “Saya nggak tahu, saya nggak ikut campur.” Dalih-dalih ini sering muncul sebagai citra diri di publik bahwa dia seorang demokrat yang paham konstitusi.
Tentu saja, ini adalah pertanda kemajuan, di mana autokrat legalistik menghindari pelanggaran hak asasi manusia dan menoleransi oposisi yang terbatas; gerakan hak asasi manusia telah berhasil dalam banyak hal. Namun, para autokrat legalistik jenis baru ini telah menemukan titik-titik tekanan baru untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka, yang jelas-jelas dipahami sebagai tindakan paksaan bagi mereka yang menjadi sasaran, tetapi tidak mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional. Para autokrat baru telah mempelajari bahwa mereka dapat mengonsolidasikan kekuasaan apabila mereka dapat dengan mudah membuat lawan-lawan mereka menyerah dan menyingkir, atau tinggal di rumah dan mengurusi urusan mereka sendiri. Mereka tidak perlu memenjarakan atau membunuh mereka yang menentang autokrasi; mereka hanya perlu meminta mereka untuk menoleransi kebebasan yang terbatas.
Oleh karena itu, para autokrat baru tidak akan terlihat seperti para otoriter zaman ayah kita semua, zaman Jenderal S, zaman Hitler, zaman Stalin, yang ingin menghancurkan sistem sebelumnya atas nama ideologi transformasi yang menyeluruh. Menggambarkan diri mereka sebagai penganut demokrasi konstitusionalis sangatlah penting untuk legitimasi publik Sri Paduka; apa yang tidak ada dalam retorika demokrasi baru adalah penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar kebebasan. Autrokat Legalistik tidak memiliki penghormatan terhadap minoritas, kemajemukan, atau sikap toleran. Autrokrat Legalistik juga tidak percaya bahwa kekuasaan publik harus dipertanggungjawabkan atau dibatasi. Singkatnya, paham kebebasan politik dan ekonomi jelas dihancurkan oleh para autokrat baru—termasuk Sri Paduka. Sementara itu, Sri Paduka tetap membiarkan wajah demokrasi dan konstitusionalisme langgeng, cantik, dan indah. Munafik dan zalim!
Lawannya Sri Paduka dalam pemilu dapat diganggu dengan tuduhan kriminal yang meresahkan, tapi mereka tidak akan dipenjara, atau setidaknya tidak untuk waktu yang lama. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat dibekukan, diancam akan diaudit keuangannya, dan lain sebaginya, tetapi mereka tidak akan ditutup oleh pemerintahan seperti rezimnya Sri Paduka. Pers yang mendukung oposisi tidak disensor, tetapi mungkin akan kekurangan iklan dan akhirnya akan segera dibeli oleh para oligarki yang terhubung dengan Sri Paduka, atau bahkan oleh uangnya Sri Padukanya sendiri. Pemilihan umum yang membuat para autokrat baru tetap berkuasa biasanya dicurangi dengan cara-cara teknis di belakang layar, bukan dengan taktik-taktik yang jelas dan dapat dilihat oleh para pengamat “seperti memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.” Tidak, tidak, semuanya terjadi di belakang layar! Dan Sri Paduka, lihai sekali cara-cara ini!
Melalui cara-cara tanpa kekerasan ini, demokrasi diubah menjadi mayoritarianisme yang brutal. Pemilu yang dicurangi—yang dicurangi dengan cara-cara yang tidak dapat dilihat oleh para pemantau dan pengawas pemilu independen—bahkan menjadi bukti bahwa masyarakat telah mendukung sang autokrat! “Rakyat itu suka saya, survei saya tinggi, kepuasan rakyat terhadap saya tinggi, bahkan pemilu pun saya menang terus,” ujar Sri Paduka sang Autokrat Legalistik.
Lalu apa sih yang menyebabkan demokrasi konstitusional gagal? Demokrasi konstitusional memang sudah lama sakit, meriang badannya, kemudian hancur di tangan orang seperti Sri Paduka. Para kritikus bisa saja tidak sepakat mengenai kapan penyakit itu dimulai dan apa yang menyebabkannya, tetapi kita bisa sepakat mengenai apa yang menyertai tren penurunan dukungan terhadap demokrasi dan konstitusionalisme: polarisasi politik yang radikal, munculnya pilihan-pilihan pemilu yang makin hari makin memburuk, kegagalan sistem kepartaian dalam menangani perubahan preferensi pemilih, kegagalan kaderisasi partai politik, elitisme parpol, resistensi kebijakan ekonomi terhadap rotasi pemilihan umum yang rutin, kejatuhan politik akibat guncangan ekonomi yang traumatik, politisasi lembaga peradilan (baca: Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang menguntungkan Sri Paduka dan kroni-kroninya), kesepakatan-kesepakatan yang korup di kalangan elite politik, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya—dan ini adalah kisah di banyak tempat di mana autokrat legalistik akhirnya memenangkan pemilihan umum—disfungsi dalam sistem kepartaian memungkinkan partai politik arus utama dikuasai atau, sebagai alternatif, beberapa gangguan di dunia (krisis ekonomi, skandal politik, trauma nasional) menyebabkan tersingkirnya partai-partai politik yang telah mapan karena mereka dipersalahkan atas masalah-masalah yang telah berlangsung lama. Banyak pemilih yang menjadi sinis akibat terlalu banyak janji yang gagal—dan mereka yang telah memberikan suara berulang kali untuk perubahan moderat tetapi tidak mendapatkan perubahan sama sekali—kemudian akan memilih pemerintahan yang tidak demokratis. Gelombang tsunami pemilu akhirnya membawa struktur konstitusional yang melemah ke dalam jurang kehancuran. Inilah cara autokrat karismatik, seperti Sri Paduka, naik ke tampuk kekuasaan dan terus bertahan di sana sampai waktu yang tidak ditentukan.
Namun yang menjadi korban di sini adalah kebebasan, meskipun tampilan luarnya terlihat masih ada demokrasi dan konstitusionalisme pun masih tampak. Masalahnya adalah bahwa pembentukan undang-undang oleh mayoritarianisme mensyaratkan adanya batas-batas yang ditetapkan oleh prinsip demokrasi. Berbagai proses dan pembahasan harus dihormati untuk memastikan bahwa kaum marjinal tidak diinjak-injak. Oposisi yang setia harus diperlakukan sebagai pihak yang berdiri di dalam dan bukan di luar jaminan hak konstitusional dan harus tetap memiliki peran dalam proses pembentukan undang-undang. Konstitusi demokratis juga memerlukan prinsip-prinsip dasar lainnya. Hak-hak berbicara dan berkumpul, independensi lembaga-lembaga seperti pengadilan, pers, dan lembaga masyarakat sipil. Tak hanya itu, penjaga konstitusi oleh lembaga peradilan independen seperti Mahkamah Konstitusi, harus dilindungi, dijaga muruahnya, dan dipatuhi norma putusannya. Terhadap batasan-batasan demokrasi ini, autokrat legalistik—seperti Sri Paduka—berargumen bahwa, “saya tidak dapat dibatasi sebab saya bertindak atas nama rakyat.” Begitulah titah Sri Paduka kepada khalayak.
Sri Paduka—dan kroni-kroninya—menggunakan hukum dan popularitasnya sebagai cara untuk membenarkan keputusan politiknya sehari-hari, termasuk memenangkan anaknya di pemilihan umum, menempatkan ajudan-ajudannya di pos-pos pemilihan umum kepala daerah, dan menempatkan keponakan-keponakannya di Badan Usaha Milik Pemerintah. Akhir dari kisah Sri Paduka: Sri Paduka mencampakkan kebebasan dan tidak menghasilkan kemakmuran!
Lawan politik dinasti!
Lawan oligarki politik!
Mari galang persatuan untuk jaga demokrasi demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur!
Sekilas kisah di negeri seberang tak tahu rimbanya.
Referensi
Scheppele, Kim Lane. “Autocratic Legalism.” The University of Chicago Law Review 85, no. 2 (2018): 545–84.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H