Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mungkinkah GBHN Kembali? Menilai Perubahan Paradigma Pembangunan Nasional Indonesia

19 November 2024   10:15 Diperbarui: 19 November 2024   10:23 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Davidelit (Wikimedia Commons)

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan produk yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR RI) yang pernah diterbitkan saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara. GBHN yang lekat sekali dengan produk rezim Orde Baru pada masa kepemimpinan Jenderal Soeharto, ternyata telah ada sejak zaman Demokrasi Terpimpin, yakni pada masa Presiden Sukarno.

GBHN yang oleh Presiden Sukarno ini didasarkan pada pemikirannya, dijadikan sebagai arah-geraknya negara dan arah geraknya Revolusi. Pada masa Presiden Sukarno telah kembali menjadi presiden dalam rangka UUD 1945, yakni pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam alam Revolusi Nasional.

Presiden Sukarno berfokus pada pencapaian masyarakat adil dan makmur dengan jalan revolusi. Revolusi yang dimaksud olehnya adalah melanjutkan Revolusi '17 Agustus 1945 yang terhambat akibat konsesi penyerahan kedaulatan KMB. Revolusi dan UUD 1945---sebagai konstitusi Revolusi---telah mati suri dalam guncangan demokrasi liberal. Bahkan, negara kesatuan yang bangkit kembali pada 1950, Bung Karno juga menyebutnya sebagai keadaan mati suri dan hidup atau bangkit kembali karena semangat persatuan dan kesatuan di dadanya rakyat Indonesia.

Revolusi berlanjut setelah Bung Karno memberlakukan kembali UUD 1945 yang presidensial, di mana Presiden selaku Kepala Pemerintahan dapat langsung menyelenggarakan pemerintahan. Kabinet parlementer dalam alam demokrasi liberal berdasarkan UUDS 1950 telah tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, Presiden Sukarno tidak hanya menjadi sebagai Kepala Negara atau pemimpin Revolusi, tetapi langsung menjadi Kepala Pemerintahan sekaligus memimpin revolusi Indonesia.

GBHN merupakan amanat konstitusi UUD 1945 yang asli, di mana Pasal 3 UUD 1945 yang asli menyebutkan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dijelaskan kembali dalam bagian penjelasan UUD 1945 yang asli bahwa GBHN disusun oleh MPR RI, sedangkan Presiden sebagai "mandataris" dan diangkat oleh MPR harus melaksanakan GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR sebelumnya. 

Dalam sejarahnya, GBHN pertama yang dimiliki oleh Republik Indonesia adalah Manifesto Politik Republik Indonesia hasil dari pemikiran Presiden Sukarno.  Manifesto Politik itu disahkan ke dalam Tap MPRS No. I/MPRS/1960 Tahun 1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara. Produk MPRS ini disahkan pada rapat pleno MPRS ke-4, Sidang Pertama, 19 November 1960, di Bandung.

Isi dari Manifesto Politik yang menjadi GBHN ini mempertimbangkan 6 poin, antara lain:

  • Amanat Negara yang diucapkan oleh Presiden pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1960;
  • Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan kembali Revolusi kita" dan yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia;
  • Keputusan Dewan Pertimbangan Agung "Perincian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959" tertanggal 25 September 1959 No. 3/Kpts/Sd/II/59, yang telah disetujui oleh Presiden dalam "Kata Pengantar" Manifesto Politik Republik Indonesia pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1959;
  • Amanat Presiden pada Sidang Pleno pertama Depernas mengenai Pembangunan Semesta Berencana pada tanggal 28 Agustus 1959 yang diucapkan dan yang tertulis, yang menjadi bahagian daripada haluan Negara;
  • Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" yang menjadi pedoman pertama daripada pelaksana Manifesto Politik Republik Indonesia;
  • Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 yang diucapkan di muka Sidang Umum PBB yang berjudul "To build the world a new" (Membangun dunia kembali).

Mayoritas pertimbangan yang didasarkan pada pidato presiden ini menggambarkan kebijakan negara pada zaman Demokrasi Terpimpin-nya Presiden Sukarno adalah "politik adalah panglima". Hal ini disebabkan oleh Presiden Sukarno yang mengembalikan "jalan" Revolusi dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur selekas-lekasnya. Sekaligus sebagai respons dalam kondisi internasional yang sedang terguncang oleh perang ideologi, atau sering disebut Perang Dingin.

Pasal 3 Tap MPR tersebut menerangkan bahwa Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul "To build the world a new" (Membangun dunia kembali) adalah pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia. Manifesto Politik ini sering kali juga disebut sebagai Manipol USDEK (Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebudayaan Nasional). Kesemuanya dijadikan Bung Karno sebagai dasar Revolusi Indonesia dan sekaligus menjadi alat Revolusi.

GBHN mengalami perubahan paradigmatik seiring berjalannya pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, GBHN ditekankan kepada pembangunan atau developmentalism. Orde Baru menjadikan "ekonomi adalah panglima", atau "pembangunan adalah panglima". Hal ini disebabkan Orde Baru adalah antitesis dari Demokrasi Terpimpin. Orde Baru adalah rezim kontrarevolusioner yang berdiri "mengangkangi Demokrasi Terpimpin". Orde Baru dibentuk untuk kemenangan Amerika Serikat dalam langkah dan program antikomunisnya di Timur Jauh, khususnya Republik Indonesia.

Sejarah GBHN berakhir pada masa reformasi (lengser keprabon-nya Jenderal Soeharto). Reformasi yang mengkehendaki pembatasan kekuasaan dan demokrasi, berhasil mengubah paradigmatik struktur dan relasi kelembagaan negara dalam ketatanegaraan Indonesia. Presiden dan MPR yang sebelumnya bersifat "atasan" dan "bawahan" dalam relasi konstitusional "Presiden sebagai mandataris MPR", diubah menjadi lembaga yang sejajar. MPR yang dulunya lembaga tertinggi negara, berubah menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan fungsi yang seremonialistik, sedangkan Presiden juga berada sejajar dengan lembaga yang lain dengan berdasarkan UUD 1945. Konstitusi UUD 1945 dalam masa reformasi, diupayakan menjadi kekuasaan paling tinggi, di mana paham konstitusionalisme sedang diusahakan untuk diterapkan. UUD

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun