Indonesia, Sukarno berupaya keras untuk merumuskan permasalahan konkret yang dialami oleh bangsa Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Sukarno membuahkan hasil berupa permasalahan kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada masa perjuangan kemerdekaanSukarno mencoba melihat dan mempelajari sejarah Indonesia secara mendalam, yang mengakibatkan suatu kesadaran akan realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sangat berketimpangan antara kelompok minoritas yang kaya dengan mayoritas rakyat sebagai kelompok yang miskin. Berdasarkan buku Renungan Bapak Marhaen Indonesia, kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam keadaan yang miskin. Hal itu diakibatkan tidak lain karena sistem kolonialisme dan kapitalisme yang dicangkok oleh Belanda ke Indonesia. Atas dasar penderitaan akan kemiskinan itulah timbul keinginan Sukarno untuk memberontak, dengan suatu kesimpulan bahwa jika penjajahan berhasil terhapus, akan mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih sejahtera.
Bermula sejak abad ke-17 dimulai, Belanda telah melakukan penguatan dalam satu persaingan perdagangan dan memonopoli perdagangan Indonesia sejak 1602. Melalui Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, kamar dagang atau perusahaan multinasional yang memiliki hak serupa dengan sebuah negara, Eropa asal Belanda memulai perdagangan-perdagangan dengan tindakan berbentuk kekerasan, paksaan, dan tipu daya untuk mendapatkan hasil bumi yang nantinya juga hanya dijual kepadanya dan menguntungkan mereka saja. VOC melakukan monopoli pasar bukan membeli dengan harga murah saja, melainkan juga berkuasa untuk menentukan harganya sendiri.
Untuk memuluskan kekejaman dan penjajahannya, Belanda menggunakan kaum-kaum feodalis Indonesia, mulai dari yang tertinggi sampai yang paling rendah dijadikan kaki-tangan oleh VOC atau pemerintahan Hindia Belanda pada masa setelahnya. Berangkat dari permanfaatan kaum feodalis ini, Indonesia menjadi tidak memiliki suatu kelas borjuis yang berkuasa, kekuasaan tinggi di masyarakat hanya kaum feodalis, itu pun sudah menjadi kaki-tangan Belanda. Kaum feodalis terpelajar yang memiliki kesadaran akan pengetahuan Eropa setelah kebijakan Politik Etis, barulah menjadi sumber dari pergerakan kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia pada masa 1908.
Pada masa kolonial Hindia Belanda itulah, lahir suatu kelas baru yang tidak dapat disebut sebagai proletar saja, sebab kelas baru itu masih memiliki alat produksi. tetapi hidup dalam kondisi yang serba kesusahan. Sukarno memberikan nama kelas itu sebagai "Marhaen", yang terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat, dan golongan melarat atau kelas kecil lainnya.
Dapat disimpulkan kelas marhaen adalah kelas yang diperas oleh Belanda, kelas yang telah menjadi korban, kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kelas yang tidak hanya berisi proletariat saja, tidak hanya berisi kaum buruh saja, tetapi kelas yang berisikan kaum-kaum miskin melarat. Dengan kata lain, marhaen adalah kelas yang berisikan orang-orang yang mempunyai alat produksi, tetapi hidupnya disulitkan secara struktural oleh penguasa.
Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang mencari kata yang dapat menjelaskan kelas rakyat Indonesia untuk dia persatukan. Berkaca pada propaganda PKI yang menggunakan istilah "orang kecil" untuk kaum proletar, Sukarno berbeda pandangan, Sukarno berpikir bahwa rakyat yang miskin bukan hanya golongan proletar saja, melainkan hampir keseluruhan rakyat Indonesia dalam kemiskinan akibat adanya kapitalisme dan kolonialisme.
Rakyat pada masa itu sebagian besar adalah pekerja kecil. Maka dapat dikatakan, mereka masih memiliki alat produksi sendiri. Katakanlah seorang kusir yang memiliki dokar dan kuda, seorang petani yang mempunyai satu petak sawah, seperti juga nelayan yang punya pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri. Akan tetapi, alat produksi itu sedemikian kecil sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup sebulan atau dua bulan, bahkan hanya seminggu saja. Terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonominya sebagai individu. Yang mana intinya, menurut Sukarno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu.
Istilah Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang bersepeda di Desa Kidulen Cigelereng, Bandung. Ia berjumpa dengan seorang petani yang sedang mengerjakan sawah kepunyaannya sendiri, dengan menggunakan alatnya sendiri. Sukarno langsung merenungkan nasib petani tersebut, ia tidak dapat disebut sebagai proletar sebab ia tidak menjual tenaganya saja, ia juga masih memiliki alat produksi. Meskipun demikian, nasib petani tersebut masih dalam taraf kemiskinan. Selanjutnya, Sukarno menanyakan namanya, yang dijawab oleh petani tersebut dengan nama “Mang Aen”. Berdasarkan peristiwa pertemuan tersebut, Sukarno mendapatkan "ilham" untuk menggunakan namanya sebagai gambaran dari amanat penderitaan rakyat Indonesia.
Versi lain dari penamaan Marhaenisme dikatakan oleh Peter. A. Rohi sebagai seorang tokoh Sunda yang bernama Aeng. Peter menduga bahwa Sukarno mengubah nama Aeng menjadi Marhaen untuk kepentingan simbol politik. Impresi yang timbul dari “Aeng” dan “Marhaen” memang berbeda. Sukarno mungkin telah melakukan dramatisasi sebuah pengalaman, tetapi itulah caranya menciptakan simbol politik yang sedemikian kuat dan berpengaruh pada perjuangan politiknya.
Versi lainnya lagi adalah penghalusan paham marxisme versi Sukarno dengan mengubah namanya menjadi Marhaen. Dengan mengambil nama Marx dan Engel sebagai suatu singkatan sehingga menjadi Marhaen.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan dalam otobiografinya.
Dalam pembelaannya, Sukarno menggunakan istilah “Marhaenisme” dengan memaknakannya sama seperti “massasisme” atau kekuatan massa, meskipun mereka kecil dalam status dan kepemilikan, tetapi mereka besar dalam jumlah yang bila disatukan dapat menjadi kekuatan besar melawan kolonialisme.
Bahkan seorang Marhaen dapat diartikan sebagai tiap rakyat Indonesia yang menjalankan Marhaenisme. Pemahaman itu ditegaskan saat Partindo menjadikan Marhaenisme sebagai asas perjuangan politik partainya.
Sukarno terinspirasi dari penelusuran historis pada masa itu, yang mana kolonialisme Belanda berhasil menyebabkan rakyat Indonesia sengsara. Kesengsaraan itu menimbulkan beragam pemikiran dan aliran politik untuk melawan kolonialisme. Sukarno dengan semangat persatuan nasionalnya berusaha menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut menjadi satu sebagai pemahaman “Marhaenisme”. Mengenai banyaknya aliran politik tersebut, Sukarno membuat suatu ide sintesis dari Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pemikiran Sukarno disebabkan ada banyaknya aliran politik tersebut, padahal tujuannya sama hanya berjuangnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pada kemajemukan tersebut, Sukarno berusaha terus menggalang rasa kebangsaan rakyat Indonesia yang pada saat itu dalam kondisi tercerai berai. Sukarno memulainya dengan menawarkan ide nasionalisme yang perumusannya sesuai dengan kondisi Indonesia. Konsep nasionalisme Sukarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) mengenai bangsa. Bahwa bangsa adalah suatu kesatuan nyawa atau suatu asas-akal, yang terjadi akibat:
- Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu sejarah;
- Rakyat harus memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukan sekadar hidup bersama berdasarkan jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan batas-batas negeri saja.
Dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Sukarno menegaskan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme tentang kesadaran rakyat bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia yang secara historis memiliki kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk menjadi satu. Dalam kata lain, Sukarno menekankan pada suatu kesadaran akan nasibnya rakyat. Nasionalisme yang diinginkan Sukarno adalah kesadaran nasib bahwa rakyat Indonesia sama-sama memiliki nasib sebagai bangsa yang tertindas dan terjajah, yang nantinya nasionalismelah yang mengantarkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang satu, merdeka, dan memiliki harga diri.
“Nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.” Begitulah setidaknya Sukarno menulis dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Dalam pleidoinya, yang akhirnya berubah menjadi gugatan, yaitu Indonesia Menggugat, Sukarno menjelaskan ada tiga cara untuk bisa mencapai kesadaran rakyat. Kesadaran yang membangkitkan rakyat itu diupayakan dengan cara, yaitu:
- Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka mempunyai masa lalu adalah masa lalu yang indah.
- Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini adalah masa kini yang gelap.
- Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri-seri dan terang, serta cara-cara untuk mendatangkan masa depan yang penuh cahaya itu dengan janji-janji itu.
Ruslan Abdulgani di dalam bukunya Negara dan Dasar Negara kembali merumuskan nasionalisme Indonesia menjadi tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek politik, bahwa nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik asing dengan menggantikannya menjadi suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Aspek kedua adalah aspek sosial-politik, yang bersifat menghentikan segala eksploitasi dari bangsa asing, menghentikan segala ekonomi asing yang eksploitatif dan ekstraktif, dengan membangun masyarakat baru yang terbebaskan dari kemiskinan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, nasionalisme Indonesia harus bersifat sebuah upaya penghidupan kepribadian bangsa Indonesia dengan menyelaraskan perkembangan zaman.
Nasionalisme Sukarno seringkali ia menyebutnya sebagai sosio-nasionalisme. Sosio diambil dari kata yang diartikan sebagai masyarakat. Maka dari itu, sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya masyarakat, nasionalisme yang mencari keselamatannya seluruh rakyat dan bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Nasionalisme Sukarno adalah nasionalisme yang didasarkan pada kesadaran masyarakat yang menderita karena adanya praktik imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme, dan menyadarkan masyarakat untuk menentang, melawan, dan meruntuhkannya agar dapat membangun masyarakat baru yang adil dan makmur, tanpa adanya penderitaan, dengan berdasarkan pada asas perikemanusiaan.
Berbicara tahapan, maka Sosio-Nasionalisme adalah prinsip awal Marhaenisme. Prinsip sosio-nasionalisme akan lebih mayoritas digunakan pada masa perjuangan, sedangkan pada masa setelah Indonesia merdeka, lebih mayoritas digunakan prinsip kedua, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi bukanlah hanya demokrasi politik saja, tetapi demokrasi yang juga mencakup aspek ekonomi, yang menekankan terhadap setiap warga negara memiliki hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi. Kedua prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling berkelindan satu sama lain.
Sukarno seringkali menjadikan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sebagai sinonim dari paham Marhaenisme. Mengenai sosio-nasionalisme sendiri, Sukarno pernah menulis, sebagai berikut:
“Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi - suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesen negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio nasionalisme.”
Konsep sosio-demokrasi membedakan demokrasi dengan demokrasi versi negara barat, yang hanya menitikberatkan pada sendi politiknya saja, tidak dengan sendi ekonomi. Dalam demokrasi negara barat, Sukarno berpendapat bahwa dalam segi ekonomi rakyat tetap melarat. Memang, dalam segi politik, rakyat layaknya dipertuankan, dijadikan raja, tetapi pada waktu bersamaan, rakyat tetap menjadi budak dalam segi ekonomi.
Ide sentral mengenai marhaenisme adalah ide yang mencakup demokrasi politik dan ekonomi. Sama seperti ide sentral dari demokrasi, yaitu partisipasi rakyat. Partisipasi rakyat yang diinginkan Sukarno ini tidak hanya pada aspek politik saja, aspek parlemen-parlemenan saja, tetapi rakyat harus dilibatkan dan berpartisipasi secara aktif dalam sistem perekonomian. Yang nantinya partisipasi rakyat Indonesia dalam segi ekonomi akan mengantarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan pengelolaan melalui sistem padat karya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H