Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Raket

Marhaenisme: Sumbangan Sukarno untuk Rakyat Indonesia

20 Mei 2024   10:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   10:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2013/06/

“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang punya puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” demikian Sukarno menjabarkan dalam otobiografinya. 

Dalam pembelaannya, Sukarno menggunakan istilah “Marhaenisme” dengan memaknakannya sama seperti “massasisme” atau kekuatan massa, meskipun mereka kecil dalam status dan kepemilikan, tetapi mereka besar dalam jumlah yang bila disatukan dapat menjadi kekuatan besar melawan kolonialisme.

Bahkan seorang Marhaen dapat diartikan sebagai tiap rakyat Indonesia yang menjalankan Marhaenisme. Pemahaman itu ditegaskan saat Partindo menjadikan Marhaenisme sebagai asas perjuangan politik partainya.

Sukarno terinspirasi dari penelusuran historis pada masa itu, yang mana kolonialisme Belanda berhasil menyebabkan rakyat Indonesia sengsara. Kesengsaraan itu menimbulkan beragam pemikiran dan aliran politik untuk melawan kolonialisme. Sukarno dengan semangat persatuan nasionalnya berusaha menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut menjadi satu sebagai pemahaman “Marhaenisme”. Mengenai banyaknya aliran politik tersebut, Sukarno membuat suatu ide sintesis dari Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Pemikiran Sukarno disebabkan ada banyaknya aliran politik tersebut, padahal tujuannya sama hanya berjuangnya sendiri-sendiri.

Berdasarkan pada kemajemukan tersebut, Sukarno berusaha terus menggalang rasa kebangsaan rakyat Indonesia yang pada saat itu dalam kondisi tercerai berai. Sukarno memulainya dengan menawarkan ide nasionalisme yang perumusannya sesuai dengan kondisi Indonesia. Konsep nasionalisme Sukarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) mengenai bangsa. Bahwa bangsa adalah suatu kesatuan nyawa atau suatu asas-akal, yang terjadi akibat:

  1. Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu sejarah;
  2. Rakyat harus memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukan sekadar hidup bersama berdasarkan jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan batas-batas negeri saja.

Dalam tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Sukarno menegaskan bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme tentang kesadaran rakyat bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia yang secara historis memiliki kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk menjadi satu. Dalam kata lain, Sukarno menekankan pada suatu kesadaran akan nasibnya rakyat. Nasionalisme yang diinginkan Sukarno adalah kesadaran nasib bahwa rakyat Indonesia sama-sama memiliki nasib sebagai bangsa yang tertindas dan terjajah, yang nantinya nasionalismelah yang mengantarkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang satu, merdeka, dan memiliki harga diri. 

“Nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.” Begitulah setidaknya Sukarno menulis dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Dalam pleidoinya, yang akhirnya berubah menjadi gugatan, yaitu Indonesia Menggugat, Sukarno menjelaskan ada tiga cara untuk bisa mencapai kesadaran rakyat. Kesadaran yang membangkitkan rakyat itu diupayakan dengan cara, yaitu:

  1. Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka mempunyai masa lalu adalah masa lalu yang indah.
  2. Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini adalah masa kini yang gelap.
  3. Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri-seri dan terang, serta cara-cara untuk mendatangkan masa depan yang penuh cahaya itu dengan janji-janji itu.

Ruslan Abdulgani di dalam bukunya Negara dan Dasar Negara kembali merumuskan nasionalisme Indonesia menjadi tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek politik, bahwa nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik asing dengan menggantikannya menjadi suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Aspek kedua adalah aspek sosial-politik, yang bersifat menghentikan segala eksploitasi dari bangsa asing, menghentikan segala ekonomi asing yang eksploitatif dan ekstraktif, dengan membangun masyarakat baru yang terbebaskan dari kemiskinan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, nasionalisme Indonesia harus bersifat sebuah upaya penghidupan kepribadian bangsa Indonesia dengan menyelaraskan perkembangan zaman.

Nasionalisme Sukarno seringkali ia menyebutnya sebagai sosio-nasionalisme. Sosio diambil dari kata yang diartikan sebagai masyarakat. Maka dari itu, sosio-nasionalisme adalah nasionalismenya masyarakat, nasionalisme yang mencari keselamatannya seluruh rakyat dan bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Nasionalisme Sukarno adalah nasionalisme yang didasarkan pada kesadaran masyarakat yang menderita karena adanya praktik imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme, dan menyadarkan masyarakat untuk menentang, melawan, dan meruntuhkannya agar dapat membangun masyarakat baru yang adil dan makmur, tanpa adanya penderitaan, dengan berdasarkan pada asas perikemanusiaan.

Berbicara tahapan, maka Sosio-Nasionalisme adalah prinsip awal Marhaenisme. Prinsip sosio-nasionalisme akan lebih mayoritas digunakan pada masa perjuangan, sedangkan pada masa setelah Indonesia merdeka, lebih mayoritas digunakan prinsip kedua, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi bukanlah hanya demokrasi politik saja, tetapi demokrasi yang juga mencakup aspek ekonomi, yang menekankan terhadap setiap warga negara memiliki hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi. Kedua prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling berkelindan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun