Cinta, dalam segala bentuknya, selalu menjadi misteri yang sering kali tidak bisa diukur oleh logika atau batasan sosial. Namun, kisah cinta Ismail, seorang pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berjuang meraih cintanya di Jember, Jawa Timur, memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kita memandang perbedaan dalam hubungan.
Ismail adalah simbol dari keberanian dalam cinta. Ia rela menempuh jarak jauh, dengan penuh harapan dan ketulusan untuk memperjuangkan cintanya kepada seorang perempuan yang ia yakini sebagai belahan jiwanya.Â
Namun, meski perjuangan cintanya begitu besar, ia justru ditolak mungkin karena perbedaan suku, rupa, dan asal daerah. Penolakan ini mencerminkan masalah yang lebih besar dalam masyarakat kita --- bahwa cinta sering kali harus menghadapi hambatan berupa stereotip, diskriminasi, dan prasangka.
Dalam kasus ini, cinta yang tulus dan niat baik Ismail terganjal oleh tembok tebal bernama "perbedaan." Perbedaan suku, rupa, dan asal daerah masih menjadi masalah yang sulit diterima oleh sebagian masyarakat, terutama dalam konteks hubungan asmara.Â
Padahal, cinta sejatinya tidak mengenal batasan tersebut. Cinta adalah soal perasaan, saling memahami, dan kesediaan untuk menerima satu sama lain apa adanya.
Kisah Ismail bukan hanya cerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ini adalah cermin dari bagaimana masyarakat masih menilai seseorang berdasarkan identitas suku dan fisik, bukan pada kualitas hati dan integritas.Â
Apakah perbedaan tersebut memang sepatutnya menjadi penghalang untuk cinta? Di tengah keragaman Indonesia, kita seharusnya belajar untuk menghargai keberagaman sebagai kekuatan, bukan alasan untuk menjauhkan hati.
Sikap penolakan terhadap Ismail menunjukkan betapa pentingnya kita terus memperjuangkan pemahaman yang lebih inklusif dalam masyarakat.Â
Identitas kultural dan asal-usul memang bagian dari diri seseorang, tetapi hal itu tidak boleh menjadi penghalang untuk merajut hubungan antarindividu.Â
Dalam sebuah negara yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika, cinta seharusnya menjadi jembatan untuk menyatukan, bukan meruntuhkan.