Mohon tunggu...
Damanhury Jab
Damanhury Jab Mohon Tunggu... Jurnalis - To say Is Easy, To Do is Difficult, To Understand Is Modifical

Wakil Ketua Penggiat Peduli Demokrasi Nasional serta Penggiat Literasi di Pelosok Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ismail, Perjuangan dan Tragisme Percintaan

16 September 2024   09:23 Diperbarui: 16 September 2024   09:25 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Patah Hati (freepik.com)

Cinta, dalam segala bentuknya, selalu menjadi misteri yang sering kali tidak bisa diukur oleh logika atau batasan sosial. Namun, kisah cinta Ismail, seorang pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berjuang meraih cintanya di Jember, Jawa Timur, memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kita memandang perbedaan dalam hubungan.

Ismail adalah simbol dari keberanian dalam cinta. Ia rela menempuh jarak jauh, dengan penuh harapan dan ketulusan untuk memperjuangkan cintanya kepada seorang perempuan yang ia yakini sebagai belahan jiwanya. 

Namun, meski perjuangan cintanya begitu besar, ia justru ditolak mungkin karena perbedaan suku, rupa, dan asal daerah. Penolakan ini mencerminkan masalah yang lebih besar dalam masyarakat kita --- bahwa cinta sering kali harus menghadapi hambatan berupa stereotip, diskriminasi, dan prasangka.

Dalam kasus ini, cinta yang tulus dan niat baik Ismail terganjal oleh tembok tebal bernama "perbedaan." Perbedaan suku, rupa, dan asal daerah masih menjadi masalah yang sulit diterima oleh sebagian masyarakat, terutama dalam konteks hubungan asmara. 

Padahal, cinta sejatinya tidak mengenal batasan tersebut. Cinta adalah soal perasaan, saling memahami, dan kesediaan untuk menerima satu sama lain apa adanya.

Kisah Ismail bukan hanya cerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ini adalah cermin dari bagaimana masyarakat masih menilai seseorang berdasarkan identitas suku dan fisik, bukan pada kualitas hati dan integritas. 

Apakah perbedaan tersebut memang sepatutnya menjadi penghalang untuk cinta? Di tengah keragaman Indonesia, kita seharusnya belajar untuk menghargai keberagaman sebagai kekuatan, bukan alasan untuk menjauhkan hati.

Sikap penolakan terhadap Ismail menunjukkan betapa pentingnya kita terus memperjuangkan pemahaman yang lebih inklusif dalam masyarakat. 

Identitas kultural dan asal-usul memang bagian dari diri seseorang, tetapi hal itu tidak boleh menjadi penghalang untuk merajut hubungan antarindividu. 

Dalam sebuah negara yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika, cinta seharusnya menjadi jembatan untuk menyatukan, bukan meruntuhkan.

Penolakan yang dialami Ismail mungkin akan terasa menyakitkan, namun ini juga menjadi pelajaran bagi kita semua. 

Cinta yang tidak diterima karena perbedaan adalah cermin dari tantangan yang masih harus kita hadapi dalam membangun masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif. Cinta seharusnya menjadi ruang di mana setiap orang, dari suku atau latar belakang mana pun, dapat diterima tanpa prasangka.

Pada akhirnya, kisah cinta Ismail mengajarkan bahwa meskipun cinta tidak selalu berakhir bahagia, perjuangan untuk meraihnya tetap layak dihargai. 

Sebab, cinta adalah keberanian untuk melawan segala ketidakmungkinan, meski kadang kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua perasaan bisa dibalas dengan cara yang sama. 

Semoga kisah Ismail bisa membuka mata kita semua untuk lebih menghargai cinta yang melampaui sekat-sekat sosial dan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun