Amin mengakui bahwa sampai saat ini dia masih terus mencari formulasi-formulasi yang cocok dan tepat untuk dikembangkan di tingkat lapangan, bukan hanya sekarang tapi kelak ketika ada skema baru atau peluang pengembangan program bisnis kakao.
"Sebenarnya, saya malu juga sebagai pendamping petani, kenapa? Kenapa petani kakao kita belum banyak yang  bisa menghasilkan produksi 2 sampai 3 ton per hektar padahal secara teori dan daya dukung tanah atau pengalaman mereka sudah banyak," imbuhnya.
"Saya kira, kalau merujuk ke data, rata-rata produksi memang hanya 600 kg/ha per tahun kakao kering. Ini setelah pendataan lapangan," jelasnya.
"Untuk meningkatkan produksi menurut saya ada pada ketersediaan nutrisi dan GAP atau Good Agriculture Practices hanya saja harus ditopang oleh ketersediaan sarana produksi dan pupuk," imbuhnya.
Amin juga membaca fakta bahwa dengan ada pendekatan RDKK di lapangan membuat petani kita relatif sulit membeli pupuk subsidi. Jumlah pun relatif terbatas. "Jadi bagaimana bisa meningkatkan produksi kalau jumlah pupuk subsidi dibatasi pembelian?" lanjutnya.
"Saya optimis bahwa peningkatan produksi itu sangat bisa sebab sudah ada pengalaman teman-teman petani kakao di Luwu Utara yang berhasil. Beberapa petani yang berkecukupan bisa membeli pupuk lebih banyak mereka bisa dapat hasil 3 sampai 4 ton," katanya.
"Apa kiatnya? Mereka memupuk dengan cara 3 sampai 4 kali dalam setahun," tegasnya. Â RDKK yang dimaksud adalah Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok yang banyak didorong Pemerintah, hal yang menurutnya bagus, rapi dan teratur hanya saja dibatasi jumlah pembelian pupuk.
"Dengan pupuk dibatasi ini berdampak pada produksi. Contoh, kita punya kebun kakao 2 hektar tapi cuma dijatah 15 zak, bagaimana caranya produksi bisa meningkat sementara tanaman mau makan banyak?" tanya pria yang belakangan ini berbisnis kakao terpadu dengan pendampingan di Kabaupaten Pinrang, Sulsel.
"Terkait pupuk ini saya kira penting ya, pupuk berhubungan dengan nutrisi. Banyak pupuk dijual tapi bukan subsidi yang harganya antara 350.000 sampai 450.000 per zak, petani enggan beli karena mahal," sebut pria yang pernah bekerja di Pendolo, Poso bersama Rainforest Alliance ini.
Pengalaman di Pendolo ini mempertemukan dia dengan salah seorang anggota kelompok petani kakao dari Desa Paccerakkang, Ponrang bernama Dasa Tandi Bua yang sedang mengembangkan demplot kakao di sana.
Terkait peningkatan produksi seperti yang sedang didorong oleh Pemerintah dengan maksud meningkatkan ekspor kakao hingga tiga kali lipat menurut Amin bisa saja.