Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Saatnya Fokus pada Program Agrifinance dan Fermentasi Kakao

27 Mei 2020   14:08 Diperbarui: 27 Mei 2020   21:21 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun kakao sehat (dok: Suharman Emmang)

Ilmu pengetahuan lahir dari pengalaman dan ketekunan menganalisa. Setiap orang adalah pemilik pengalaman, karena itu pula, sesiapa yang peduli, fokus, bersungguh-sungguh menguak persoalan lalu memetik pelajaran sesungguhnya dia telah memasukkan fisik dan batinnya pada konstruksi pengetahuan.

Pada konteks yang lebih spesifik, pada isu-isu yang menjadi perhatian siapapun, dia dapat menjadi pintu masuk ditemukannya pengetahuan atau tindakan baru yang bisa menjadi pola, pendekatan atau tips menyelesaikan persoalan kehidupan. Itu pula yang penulis bayangkan saat mendengar membaca cerita Muhammad Amin. 

Pria kelahiran Sidrap, 49 tahun silam ini adalah praktisi kakao yang telah malang melintang pada fasilitasi pengelolaan dan pengembangan usaha kakao dalam 20 tahun terakhir.

Diskusi dengan Muhammad Amin dirasa penting di tengah ambisi Pemerintah yang berencana meningkatkan ekspor kakao tiga kali lipat lima tahun ke depan. Direktorat Jenderal Perkebunan merilis produksi kakao 2019 mencapai 596.500 ton dan ditargetkan dapat menyentuh angka 970.830 ton pada 2024 mendatang.

Banyak pihak menyebut ambisi ini berlebihan apalagi data yang disebutkan jauh berbeda data ICCO atau Organisasi Kakao Internasional yang menyebut produksi nasional 2019 hanya sekitar 220.000 ton, turun jika dibandingkan periode 2017/2018 yang mencapai 270.000 ton. 

BPS merilis volume impor biji kakao selama periode Januari-- Oktober 2019 207.131 ton atau naik 0,43 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang berjumlah 206.234 ton.

Pria yang saat ini berdomisili di Kota Parepare Sulawesi Selatan mengaku telah bekerja pada beberapa proyek kakao berbasis bantuan internasional maupun yang terkolaborasi dengan Pemerintah Pusat maupun daerah dan telah memetik hikmah atau pelajaran penting, setidaknya untuk dirinya maupun jika dikaitkan dengan agenda besar Pemerintah di sektor perkebunan kakao tersebut.

"Pengalaman itu saya peroleh dari beberapa program. Saya pernah bekerja di Success Alliance ACDI/VOCA, lalu Program Amarta, IFAD hingga Rainforest Alliance," kata sarjana Budidaya Tanaman Universitas Muslim Indonesia Makassar ini saat dihubungi pada Rabu, 27/5/2020.

Merefleksi pengalaman

"Saya kira perlu untuk kita memperbanyak berita-berita terkait kakao, bukan hanya berita baik tetapi juga cerita kegagalan untuk kita bisa belajar. Perlu sharing, pemberitaan agar dapat menggelitik pemerhati kakao untuk lebih termotivasi. Bangkit membagun petani kakao kita yang belakangan ini mudah kendor," katanya.

"Maksud saya, kita perlu mendorong agar motivasi bertambah, berbagi pengalaman, gagasan, termasuk membincang peluang meningkatkan produksi yang seharusnya bisa bertambah dua kali lipat karena selama ini potensinya ada. Hanya saja kita atau petani masih tidak konsisten dan penerapan proses produksi," lanjutnya.

Amin mengakui bahwa sampai saat ini dia masih terus mencari formulasi-formulasi yang cocok dan tepat untuk dikembangkan di tingkat lapangan, bukan hanya sekarang tapi kelak ketika ada skema baru atau peluang pengembangan program bisnis kakao.

"Sebenarnya, saya malu juga sebagai pendamping petani, kenapa? Kenapa petani kakao kita belum banyak yang  bisa menghasilkan produksi 2 sampai 3 ton per hektar padahal secara teori dan daya dukung tanah atau pengalaman mereka sudah banyak," imbuhnya.

"Saya kira, kalau merujuk ke data, rata-rata produksi memang hanya 600 kg/ha per tahun kakao kering. Ini setelah pendataan lapangan," jelasnya.

"Untuk meningkatkan produksi menurut saya ada pada ketersediaan nutrisi dan GAP atau Good Agriculture Practices hanya saja harus ditopang oleh ketersediaan sarana produksi dan pupuk," imbuhnya.

Amin juga membaca fakta bahwa dengan ada pendekatan RDKK di lapangan membuat petani kita relatif sulit membeli pupuk subsidi. Jumlah pun relatif terbatas. "Jadi bagaimana bisa meningkatkan produksi kalau jumlah pupuk subsidi dibatasi pembelian?" lanjutnya.

"Saya optimis bahwa peningkatan produksi itu sangat bisa sebab sudah ada pengalaman teman-teman petani kakao di Luwu Utara yang berhasil. Beberapa petani yang berkecukupan bisa membeli pupuk lebih banyak mereka bisa dapat hasil 3 sampai 4 ton," katanya.

"Apa kiatnya? Mereka memupuk dengan cara 3 sampai 4 kali dalam setahun," tegasnya.  RDKK yang dimaksud adalah Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok yang banyak didorong Pemerintah, hal yang menurutnya bagus, rapi dan teratur hanya saja dibatasi jumlah pembelian pupuk.

"Dengan pupuk dibatasi ini berdampak pada produksi. Contoh, kita punya kebun kakao 2 hektar tapi cuma dijatah 15 zak, bagaimana caranya produksi bisa meningkat sementara tanaman mau makan banyak?" tanya pria yang belakangan ini berbisnis kakao terpadu dengan pendampingan di Kabaupaten Pinrang, Sulsel.

"Terkait pupuk ini saya kira penting ya, pupuk berhubungan dengan nutrisi. Banyak pupuk dijual tapi bukan subsidi yang harganya antara 350.000 sampai 450.000 per zak, petani enggan beli karena mahal," sebut pria yang pernah bekerja di Pendolo, Poso bersama Rainforest Alliance ini.

Pengalaman di Pendolo ini mempertemukan dia dengan salah seorang anggota kelompok petani kakao dari Desa Paccerakkang, Ponrang bernama Dasa Tandi Bua yang sedang mengembangkan demplot kakao di sana.

Terkait peningkatan produksi seperti yang sedang didorong oleh Pemerintah dengan maksud meningkatkan ekspor kakao hingga tiga kali lipat menurut Amin bisa saja.

Perkuat Agrofinance dan pendampingan

"Kalau mau dongkrak peningkatan produksi, saran saya perkuat program Agrifinance, skema pembiayaan usaha perkebunan. Ini sesuai pengalaman kami seperti di Program Amarta dulu. Kita bermitra dengan Bank BTPN dalam tahun 2008 lalu dan berhasil mendongkrak produksi karena kita belikan petani pupuk dan didampingi," kenangnya.

Selain itu, Amin juga optimis bahwa makin banyak petani kakao yang bertambah kapasitasnya termasuk yang telah disekolahkan di Sekolah Lapang PBK di beberapa kabupaten di Sulawesi dalam tahun 2000-an merupakan modal untuk mulai mengintensifkan program perkakaoan nasional maupun lokal.

Muhammd Amin (dok: pribadi)
Muhammd Amin (dok: pribadi)
"Dampaknya bisa kita lihat dari banyak kelompok yang masih berkutat dengan kakao. Ada pembudidaya bernama Pak Suragi di Desa Tolada, Kecamatan Malangke, Luwu Utara mantan  petugas perkebunan dan sampai sekarang berhasil karena konsisten GAP-nya. Dia masih bisa dapat 3 kilogram perpohon per tahun," tambahnya lagi.

"Apa kuncinya? Harus ada rujukan, harus ada skedul aplikasi produk, baik jadwal pemupukan maupun jadwal pengendalian hama dan penyakit agar semuanya tepat sasaran. Ini yang merupakan bagian dari pendampingan yang sering disebutkan itu," katanya.  

"Tentang pendampingan oleh LSM atau fasilitator dari luar, petani kakao akan sangat terbantu jika ada pihak luar yang membantunya mengamati dan memeriksa proses produksinya. Bukan hanya teknis tetapi juga fasilitasi mencari jalan keluar dari persoalan yang ada," urainya.

Amin menjelaskan bahwa saat ini produksi kering biji kakao per pohon sampai 100 buah. "Bahkan lebih kalau menggunakan klon MCC-02 atau 45 yang ada di Luwu Utara," jelasnya.

"Lalu, saya kira, Sekolah Lapang tak lagi prioritas sekarang karena pengetahuannya sudah di atas rata-rata. Kakao bisa berbuah sepanjang tahun, jadi bisa lebih banyak produksinya jika petani mau menerapkan konsep budidaya tanaman yang benar, tepat serta telaten. Dengan mindset bagus, Insya Allah memuaskan hasilnya, kalau cuma 2 ton masih biasa-biasa saja, bisa lebih," lanjutnya.

"Angka 2 ton perhektar belum maksimal. Harusnya masih bisa ditingkatkan sepanjang tahun yang penting petani mengerti apa maunya tanaman. Jangan asal, jangan asal pangkas, asal pupuk, asal penyemprotan dan asal panen. Itu naman asal bertani," tegasnya.

"Jadi kalau saya ditanya kenapa petani belum maksimal produksinya karena biasa-biasa saja. Ini karena laku petani itu sendiri yang membuat tanamannya biasa-biasa saja. Harus ada terobosan dan kesungguhan untuk berkebun kakao," katanya.

Bagi Amin, produksi kakao idealnya manakala setiap pohon menghasilkan 3 sampai 4 kilogram biji kering. Kalau 1 hektar isi 800 pohon berarti 3 800 ini sama dengan 2400 kg per tahun  atau kalau 4 kg perpohon bisa sampai 3200 kg per ha per tahun," urainya.

Sebelum mengakhiri penjelasannya, Amin menyampaikan harapannya. "Kalau Pemerintah mau meningkatkan produksi dan ekspor kakao hingga 3 kali lipat, hanya ada dua harapan saya, pertama, perlu pengembangan program Agrifinance terpadu, lalu kedua, adopsi fermentasi. Saya yakin, ini bisa mengangkat kesejahteraan petani," tutupnya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun