Ada juga yang toleran dan terkesan logis.
"Saya share pengalaman juga waktu naik ojek dari Poros Majalengka ke sebuah desa (lupami desanya) murah memang tapi ini juga mungkin karena faktor biaya hidup atau inflasi yg tinggal di kota dengan di desa jadi bedai....Apalagi tawwa bandara banyak biaya silumannya heheheh....."
"Alhamdulillah masih ada anak anak muda yang ikhlas..." kata kawan yang lain.
Iya, ojek adalah pekerjaan, dan masing-masing orang punya cara mengelola dan membahasakan nuraninya.
Saya kita memang banyak hal yang mesti jadi pertimbangan tapi yang pasti, pengojek yang baik adalah yang rasional melihat jarak tempuh bukan?
Soal biaya siluman yang dimaksudkan sahabat itu, saya jawab dalam hati saja, "hare gene?".
Jadi begitulah, ojek dan sisi kemanusiaan kita, nafsi-nafsi.
Ojek dan pengojek adalah juga sisi kemanusiaan kita, baik dalam melakoninya maupun dalam memandang perubahan internal-eksternal kita. Selebihnya kembali ke kita semua, ke pribadi masing-masing. Jika demikian adanya, setiap pengojek harus juga meningkatkan kemampuan pelayanannya, agar tidak tergerus perkembangan zaman.Â
Eaaa!
Gowa, 02/09.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H