Sungguh, ini hanya curahan hati seorang pengguna ojek offline dan online. Curhat pada perilaku tukang ojek sebagaimana yang dialami penulis sejak ojek dibunting-lahirkan oleh sejarah peradaban manusia. Sejak mengalami kejadian kontras namun inspiratif di tengah belitan kerumitan hidup, tsah!
Ojek sebagai pilihan
Pertanyaan awal di ingatan saya ketika mengulik ojek adalah, sejak kapankah ojek terlihat di sekitar saya, di sekitar kita? Di kompleks perumahan kita, di kampung halaman kita.
Pertanyaan itu menuntun saya pada kali pertama ojek mewarnai catatan sejarah kampung halaman di Galesong di Sulawesi Selatan, kampung dimana penulis besar dan lahir.
Saya melihat bentor wara-wiri ketika Daeng Pakkaja (sebut saja demikian) berhenti melaut. Sejak perahu pembubu yang selama ini beroperasi di perairan kampung halamannya tak lagi menguntungkan dan tak bisa menjawab harapannya, ikan-ikan tak ada lagi yang bisa dibodoh-bodohin masuk bubu (fish trap).
Maka ojek mulai memenuhi setempat, Pasar Takari, memenuhi perempatan Galesong -- Limbung.
Para pengojek menyatu di perempatan. Mereka datang membawa korps pria petani, nelayan hingga pekebun termasuk para patesang ayam dan gembala ternak besar tak lagi mendapat porsi sosial.
Beberapa perempuan yang membaui peluang ekonomi dari ojek kadang tak sadar melontarkan idenya.
"Seandainya ini bukan di kampung, mungkin saya sudah jadi tukang ojek," katanya sembari mencari kutu milik tetangga, pada suatu masa di tahun 2000an.
Singkat cerita, singkat simpulan, di tahun-tahun itu, ojek adalah muara dari tergerusnya pekerjaan.
Ketika para pemanfaat sumber daya alam tersebut kehilangan peluang dan karenanya., karena harus memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maka ojek jadi pertimbangan utama.