Meski begitu, dia tidak mau pergi meski saya sudah memberi isyarat, sedang menunggu bus.
"Bus kena macet pak," kata pengojek yang lain, menimpali.
"Jam-jam begini, padat kendaraan," kata yang lain.
Pengojek yang tidak mau harga 25 ribu hingga ke poros Maros -- Makassar tersebut melipir ketika saya bilang sesuatu ke dia, yang mungkin saja menyentuh palung hatinya.
Karena bus, tidak kunjung datang, saya menyapa orang tua yang juga pengojek di sekitar bandara dengan bahasa Makassar paling lembut yang saya tahu.
Dia takluk dengan sekali tawar.
Pandangan umum
Saat saya posting cerita dari Bogor dan Makassar itu, beberapa kawan mengomentari dengan bercanda, ada juga yang serius. Ada yang menyayangkan mengapa saya harus mengumpat ketika berhadapan situasi sepele, ada juga yang tertawa.
 "Di situ kadang saya merasa sedih....Ini Sul-Sel Bung, wkwkwkwkwk."
Ada juga yang memberi apresiasi, "Salut dengan mas, akang-akang ojek yang militant, semoga para daeng-daeng juga belajar sabar."
Seorang lainnya mengatakan, "Seorang yang lugu jujur dan bersyukur, yang satu lagi, merasa diperlukan dam tidak bersyukur."