Kekurangan 1,6 juta ton garam untuk pemenuhan kebutuhan nasional tampaknya tidak bisa dilihat sebagai kegagalan produksi dan pengaruh musim belaka. Kita pernah surplus hingga 1 juta ton di 2009, meski berlebih, impor garam saat itu tetap berlangsung. Ini menggambarkan bahwa garam jadi 'bertensi tinggi' ketika tata kelola produksi di hulu hingga hilir tak diberesi dengan bijak. Saat itu, Negara tega melonggarkan impor meski produksi domestik berlimpah.
Dilema Importasi
Mungkin banyak yang belum tahu bahwa sekira 8 delapan tahun lalu, suplai garam nasional (dari garam rakyat) melebih angka 1 juta ton sementara kebutuhan nasional hanya 50 ribu ton. Di tahun itu, belangsung impor bahkan melebihi angka 1 juta ton. Salah satu alasannya saat itu adalah kualitas garam lokal yang tak sesuai selera industri karena kandungan NaCl yang rendah. Ada ketidakmampuan produsen memenuhi standar yang dikehendaki konsumen.
Meski sempat berhenti, bulan ini, pemerintah kembali mengesahkan izin impor garam industri pada 27 perusahaan di semester II tahun ini. Izinnya keluar setelah ada rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Alasnya adalah UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Karenanya, sahnya impor garam butuh rekomendasi KKP.
Tak hanya aturan itu, ada pula tambahan terkait impor barang asin ini sebagaimana diatur melalui Permendag No. 125/12/2015 tentang ketentuan impor garam. Aturan ditetapkan pada akhir 2015 dan berlaku pada April 2016 setelah petambak garam lokal menjadi bulan-bulanan importir yang menyusupkan asin garam ke ceruk produsen lokal.
Sesungguhnya, importasi garam telah berlangsung lama. Sebagai misal, pada tahun 2012 Pemerintah meneken kuota impor 500ribu ton untuk beberapa perusahaan. Meski begitu, waktu itu, Sudirman Saad, Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) mengatakan bahwa importir produsen tersebut seharusnya mau menyerap garam rakyat. Kuotanya ada pada PT Garam sebesar 27.500 ton, PT Susanti Megah sebesar 50.000 ton, PT Garindo 76.100 ton, PT Sumatraco L.M 26.000 ton dan PT Budiono 36.200 ton.
Ketidakbecusan impor dan adanya perusahaan yang tak kredibel telah menjadi perhatian Menteri Susi Pudjastuti waktu mulai menjabat. Dia mengingatkan bahwa di situ ada tujuh perusahaan namun ada yang tidak pantas. Dasarnya bahwa pada tahun 2011 di Pelabuhan Belawan ditahan 29.050 ton garam yang dikapalkan dari India.
Hingga tahun 2015, izin impor garam yang sudah diterbitkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) ke importir setara 75% dari kebutuhan impor garam industri tahun lalu. Tercatat pada Januari hingga 30 Juni 2015 telah diterbitkan izin impor garam sebanyak 1,506 juta ton. Importasi yang merusak dapat dilihat pada sikap keras kepala mereka ketika mengobok-obok harga lokal.
"Gimana gak rusak harga, mereka beli murah di Australia kemudian dilepas dengan harga jauh di bawah harga pasar lokal, untung besar mereka," kata seorang pensiunan KKP yang pernah melihat pabrik garam di Australia beberapa tahun lalu saat ditemui siang ini, (31/07).
Terkait disparitas harga itu, pada tahun 2015, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan adanya garam impor telah membuat harga garam lokal kualitas 1 yang semestinya Rp 750/Kg atau kualitas 2 sebesar Rp 550/Kg jatuh ke harga Rp 300-375/Kg. Ini salah satu dilema ketika izin diberikan dan tak dikontrol dengan ketat. Dilema lainnya adalah meski sebagai negara maritim namun kita masih gagal menjamin ketersediaan garam. Importasi garam adalah noda bagi nama besar Indonesia di pesisir dan laut, begitu kira-kira.
Memahami Konteks
Hingga tahun 2016, produksi garam masih fluktuatif mesti tak seheboh sekarang. Produksi yang terbatas, musim hujan yang tak menentu membuat Pemerintah membuka kembali keran impor. Beberapa pihak bahkan berpikir, impor seharusnya tak terjadi andaikata standar garam bisa sesuai kualitas produksi nasional terutama dari lahan rakyat.
Sebagai gambaran, kondisi pergaraman nasional, terdapat 20 kabupaten pesisir di Indonesia, dominan di Jawa yang menjadi produsen garam. Industri garam sangat tergantung pada elevasi pesisir dan tipikal cuaca atau curah hujan. Pesisir yang miskin hujan umumnya sangat bagus dijadikan lokasi pergaraman.
Beberapa sentra garam nasional di antaranya Cireben di Jawa Barat. Cirebon adalah penghasil garam rakyat terbesar di Indonesia. Produksinya 435,4 ribu ton garam pada 2015. Tertinggi dibandingkan 19 kabupaten lainnya. Setelah Cirebon, menyusul Sampang yang mencapai 400 ribu ton, lalu Pati, Jawa Tengah sebesar 381,7 ribu ton. Di 2015, produksi garam nasional mencapai 2,9 juta ton meningkat 16,5 persen dari tahun sebelumnya.
Di luar Jawa dan Madura hanya ada dua lokasi di Sulawesi Selatan yang tertinggi dan masih doyan garam yaitu Je'neponto dan Pangkep. Kedua kabupaten ini berada pada posisi 13-14 dari 20 kabupaten produsen utama bersama Indramayu, Sumenep, Rembang, Bima, Demak, Pamekasan, Surabaya, Jepara, Brebes, Pangkajene, Jeneponto, Lamongan, Tuban, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Gresik.
Jika melihat kapasitas produksi keseluruhan yang mendekati 3 juta ton itu, maka tidak ada alasan untuk impor, setidaknya pada saat itu.
Tahun ini, di bulan Juli ini, sebagaimana yang belakangan ini terjadi, produksi tersebut berkurang drastis dalam satu tahun terakhir akibatnya harga garam naik menembus 400 persen. Garam kemasan 400 gram biasa dijual seharga Rp 1.000 saat ini sudah menyentuh harga Rp 4.000 per bungkus. Ini berlaku di banyak wilayah.
Pemerintah melalui KKP menyatakan bahwa bahwa kekurangan stok garam nasional saat ini terjadi karena petambak garam di beberapa daerah sentra penghasil garam belum mulai panen. Sebenarnya, kondisi saat ini sudah bisa diprediksi ketika diperoleh informasi bahwa produksi garam domestik antara 2010 hingga 2015 menunjukkan fluktuasi.
Pada 2011, sebagaimana ditulis Kata Data, produksi naik lebih 52 persen menjadi 2,47 juta ton, namun anjlok hampir 53 persen menjadi 1,16 juta ton pada tahu berikutnya. Ketidakpastian musim serta tingginya curah hujan membuat produksi garam domestik cukup fluktuatif.
Yang terjadi kemudian adalah ditempuhnya kebijakan penerbitan rekomendasi impor bahan baku garam konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku garam konsumsi pada 2017. Standar garam konsumsi berkadar Natrium Chlorida (NaCl) yang paling sedikit 97% yang menjadi perdebatan mengapa harus ada impor garam industri beryodium.
Sampai di sini, hiruk pikuk publik pada isu garam mencuat, mengalahkan isu-isu besar seperti kekejaman Israel di Palestina, sowan Prabowo ke SBY, kasus Novel Baswedan hinga utang negara yang kini telah menembus langit tak bertepi.
Tinjauan KKP
Memperhatikan cuitan KKP di akun twitter KKP (31/07), diperoleh informasi bahwa kebutuhan garam nasional rerata 4 juta ton per tahun sementara produksi garam petani dan PT Garam dalam satu tahun pada angka 2.4 juta. Ada kekurangan 1,6 juta ton.
"Produksi ini ditopang oleh lahan produksi (on farm) masyarakat dan kurang lebih 30 ribu hektar dari PT Garam," cuitnya. Ditambahkan bahwa sejauh ini berdasarkan pantauan di lapangan, produksi garam rakyat secara umum telah menjadi bahan baku pembuatan garam konsumsi yang diolah oleh unit usaha industri besar.
"Garam adalah juga bahan bagi industri pengasinan ikan nasional," tambahnya.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa fluktuasi garam yang disebutkan oleh Kata Data di bagian depan tulisan ini senapas dengan penilain KKP bahwa dengan curah hujan yang tinggi dengan intensitas di atas >150 mm/dtk maka produksi tahun 2016 mengalami kendala. Melanjutkan Kata Data, KKP menyebut bahwa produksi garam nasional dalam tahun 2016 adalah 144.009 ton.
"Produksi 2017 pada 15 kabupaten dan oleh PT. Garam sendiri bulan Mei hingga Juli tahun 2017 mencapai 6.278 ton," cuitnya lagi. Ditambahkan bahwa kurangnya produksi garam nasional saat ini membuat industri-industri pengolahan dan pengasinan sebagian besar berhenti beroperasi. Dengan produksi yang fluktuatif cenderung menurun itu, maka harga garam melambung sampai 4.500 per kilogram dari yang biasanya 500/kilogram.
Apa yang dilakukan KKP atau Pemerintah dalam hal ini adalah mengupayakan stabilisasi stok dan menjamin keberlangsungan industri pengolahan melalui impor garam dalam waktu dekat. Meski demikian tetap dibutuhkan intervensi dan kemudahan-kemudahan bagi petambak lokal agar tidak mengalami persoalan berulang, katakanlah ketika mereka panen raya di bulan September atau Agustus ini.
Berdasarkan mekanisme impor Permendag 125/2015 maka dibenahi juga importasi garam bahan baku untuk garam konsumsi di mana garam tersebut dipakai untuk mengatasi kekurangan bahan baku garam, untuk garam konsumsi yang saat ini pemenuhannya masih melalui produksi garam rakyat dan PT Garam.
Sampai di sini, beban sosial dan atas nama kedaulatan bangsa di Poros Maritim sekali lagi dipertaruhkan. Memiliki panjang pantai kedua terpanjang di dunia tak serta membuat kita berjaya di ranah asin garam.
Refleksi untuk Masa Depan
Ke depan, pemerintah harus mengefektifkan program perlindungan dan pemberdayaan masyarakat petambak demikian pula tata niaganya untuk diperketat dan diawasi.
Petambak garam yang selama ini dipandang sebelah mata sebagai pilar bangsa harus dikembalikan perannya dengan sungguh-sungguh melalui pendampingan dan injeksi kapasitas baru termasuk infrastruktur dan jaringan pemasaran. Perluasan lahan produksi dan penyiapan gudang merupakan hal mendesak dan penting karenanya KKP harus punya benchmark yang jelas, before and after. Â Pelaku pendampingan harus mempunyai kompetensi dan kesungguhan untuk bersama petambak mengurai sengkarut hulu hilir produksi. Program pendampingan yang tak hanya sekadar program tetapi murni berbasis masyarakat.
Terkait hal tersebut, KKP menyatakan bahwa telah ada program Pugar atau Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat sebagaimana yang telah dilaksanakan sejauh ini. Meskipun ada yang mengatakan bahwa untuk tahun ini sepertinya sudah tak relevan lagi alias tiada lagi.
"KKP terus mendorong peningkatan kualitas dan produktivitas melalui pengintegrasi lahan di 15 lokasi masing-masing 15 hekatr, program geomembran dan pembangunan gudang sebanyak 12 unit pada 2017 untuk menjamin stok," cuit KKP lagi.
Hiruk pikuk terkait garam memang perlu diredam dengan kerja keras dan kepedulian nasional. Dalam artian bahwa jika kemudian kita menyadari bahwa impor garam adalah luka. Menyadari bahwa kita sebagai negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Negara Maritim ini mengalami luka, luka lama yang menganga dan berulang. Butuh terapi yang sungguh-sungguh.
Jika membaca defisit garam yang mencapai jutaan ton itu, tidak ada jalan lain selain memperluas lahan produksi dan menjamin agar kualitas garam bisa ditingkatkan dan kompetitif agar tidak terjadi surplus namun tak diminati pasar seperti tahun 2009 itu. Saat ini, importasi nampaknya masih dibutuhkan tetapi bukan tidak mungkin kita tak akan impor lagi jika gudang garam tetapi berisi garam, bukan yang lain. Program pendampingan petambak garam tak sekadar pepesan kosong.
***
Lebih jauh, sejatinya, ada juga pelajaran penting bahwa dengan krisis garam ini semoga membuat kita semua semakin bersikap adil melihat realitas suatu kawasan. Tak lagi serampangan memberi embel-embel miskin, daerah miskin, daerah kering yang dapat melemahkan mental membangun masyarakat desa atau pesisir. Mengapa? Di Sulawesi Selatan, Pangkajene dan Jeneponto adalah kabupaten yang disebut kabupaten miskin dan berada pada posisi Indeks Pembangunan Manusia buncit di Sulawesi Selatan.
Pangkajene misalnya, IPM-nya pada tahun 2016 adalah 66,86, sementara Jeneponto 61,81, terendah di Sulawesi Selatan. Jika pengeluaran perkapita masyarakat Pangkep 10.670 di tahun yang sama maka Jeneponto hanya 8.559. Bandingkan dengan Kota Makassar yang mencapai 80,17. Meski nampak dengan penggambaran IPM seperti itu tetapi Pangkajene dan Jeneponto adalah 'penyelamat' nama besar Sulawesi Selatan sebab keduanya adalah 'dua-duanya' dari Sulawesi dengan produksi garam terbesar, atau 20 terbesar nasional bersama kabupaten Pesisir di Jawa seperti Cirebon hingga Indramayu.
Saat ini di kedua kabupaten itu, mungkin lahir jutawan baru karena harga garam meroket di sana, meski ini juga rentan secara sosial ekonomi. Yang dibutuhkan adalah perbaikan kualitas hidup bukan karena 'durian jatuh' tetapi ikhtiar yang disiapkan dan dirawat.
Bagi pengambil kebijakan atau perencana pembangunan daerah, posisi seperti Pangkajene dan Jeneponto ini harusnya menjadi dasar dalam membangun daerah. Menjadi pertimbangan dalam merancang ketangguhan ekonomi lokal di luar Pulau Jawa.Â
Singkat kata, ikut campurlah dalam mengembangkan pengalaman berharga mereka dalam memproduksi garam.
Kita semua, Pemerintah, perguruan tinggi, swasta, jangan hanya duduk berpangku tangan menanti runtuhnya gudang-gudang garam mereka yang kian melapuk. Mari bersama petambak, bersama meningkatkan produksi, berbagi kapasitas. Pengalaman mereka sebagai petambak tentu lebih paripurna ketimbang kita hanya saja perlu penyesuaian-penyesuaian.Â
Oleh sebab itu, jika ada dalam kebijakan importasi yang dibolehkan itu terdapat kartel atau mafia yang masih saja semena-mena di tingkat lokal dan bersiasat mempermaikan pasokan, mari amputasi!
Tebet, 31 Juli 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI