Hiruk pikuk terkait garam memang perlu diredam dengan kerja keras dan kepedulian nasional. Dalam artian bahwa jika kemudian kita menyadari bahwa impor garam adalah luka. Menyadari bahwa kita sebagai negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Negara Maritim ini mengalami luka, luka lama yang menganga dan berulang. Butuh terapi yang sungguh-sungguh.
Jika membaca defisit garam yang mencapai jutaan ton itu, tidak ada jalan lain selain memperluas lahan produksi dan menjamin agar kualitas garam bisa ditingkatkan dan kompetitif agar tidak terjadi surplus namun tak diminati pasar seperti tahun 2009 itu. Saat ini, importasi nampaknya masih dibutuhkan tetapi bukan tidak mungkin kita tak akan impor lagi jika gudang garam tetapi berisi garam, bukan yang lain. Program pendampingan petambak garam tak sekadar pepesan kosong.
***
Lebih jauh, sejatinya, ada juga pelajaran penting bahwa dengan krisis garam ini semoga membuat kita semua semakin bersikap adil melihat realitas suatu kawasan. Tak lagi serampangan memberi embel-embel miskin, daerah miskin, daerah kering yang dapat melemahkan mental membangun masyarakat desa atau pesisir. Mengapa? Di Sulawesi Selatan, Pangkajene dan Jeneponto adalah kabupaten yang disebut kabupaten miskin dan berada pada posisi Indeks Pembangunan Manusia buncit di Sulawesi Selatan.
Pangkajene misalnya, IPM-nya pada tahun 2016 adalah 66,86, sementara Jeneponto 61,81, terendah di Sulawesi Selatan. Jika pengeluaran perkapita masyarakat Pangkep 10.670 di tahun yang sama maka Jeneponto hanya 8.559. Bandingkan dengan Kota Makassar yang mencapai 80,17. Meski nampak dengan penggambaran IPM seperti itu tetapi Pangkajene dan Jeneponto adalah 'penyelamat' nama besar Sulawesi Selatan sebab keduanya adalah 'dua-duanya' dari Sulawesi dengan produksi garam terbesar, atau 20 terbesar nasional bersama kabupaten Pesisir di Jawa seperti Cirebon hingga Indramayu.
Saat ini di kedua kabupaten itu, mungkin lahir jutawan baru karena harga garam meroket di sana, meski ini juga rentan secara sosial ekonomi. Yang dibutuhkan adalah perbaikan kualitas hidup bukan karena 'durian jatuh' tetapi ikhtiar yang disiapkan dan dirawat.
Bagi pengambil kebijakan atau perencana pembangunan daerah, posisi seperti Pangkajene dan Jeneponto ini harusnya menjadi dasar dalam membangun daerah. Menjadi pertimbangan dalam merancang ketangguhan ekonomi lokal di luar Pulau Jawa.Â
Singkat kata, ikut campurlah dalam mengembangkan pengalaman berharga mereka dalam memproduksi garam.
Kita semua, Pemerintah, perguruan tinggi, swasta, jangan hanya duduk berpangku tangan menanti runtuhnya gudang-gudang garam mereka yang kian melapuk. Mari bersama petambak, bersama meningkatkan produksi, berbagi kapasitas. Pengalaman mereka sebagai petambak tentu lebih paripurna ketimbang kita hanya saja perlu penyesuaian-penyesuaian.Â
Oleh sebab itu, jika ada dalam kebijakan importasi yang dibolehkan itu terdapat kartel atau mafia yang masih saja semena-mena di tingkat lokal dan bersiasat mempermaikan pasokan, mari amputasi!
Tebet, 31 Juli 2017