Ada hal menarik yang ditelisik Amrullah, yaitu adanya praktik relasi bisnis antara pengusaha di Tawau dan Sebatik.
“Ada sistem mengikat antara pihak tokedi Tawau Malaysia dengan para pengusaha pengumpul hasil laut. Mereka memberikan pinjaman modal yang besar dengan syarat seluruh hasil ikan yang ada harus dijual kepada toke di Tawau,” katanya. Ini juga menjadi rumit karena masih banyak nelayan yang belum memiliki kartu nelayan. Menurut Ulla, pihak yang menangani pengadaan kartu telah berupaya maksimal namun setelah data penerima kartu nelayan diinput data tersebut langsung hilang.
Ada tujuh solusi yang dapat ditawarkan sebagai pendekatan atau solusi atas isu-isu tersebut di atas.
Pertama, Pemerintah Pusat dan Daerah harus proaktif. Pemerintah harus mulai membantu menyelesaikan isu antar negara ini dan menyediakan kapal besi sesuai peraturan yang diberikan Kerajaan Malaysia namun yang mengelola adalah nelayan Nunukan atau Pemerintah sungguh-sungguh menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur usaha perikanan di Nunukan dari hulu ke hilir.
Kedua, Perindo dapat mengambil peran untuk menjadi simpul penerima atau penampung ikan yang dihasilkan oleh nelayan Nunukan maupun Sebatik namun harus mengaplikasikan prinsip keadilan, memberdayakan dan membeli dengan harga setara harga Malaysia termasuk nilai pengganti ongkos usaha (transportasi, logistik).
Ketiga, mengaplikasikan pengelolaan sarana prasarana secara efektif. Secara konkret diperlukan penegakan hukum bagi oknum pengelola yang menjual bahan bakar bersubsidi ke pengusaha yang membeli dengan drum dan menjualnya secara eceran. Selain itu perlu pula dibangun SPDN khusus Nelayan yang di kelola oleh badan yang terpercaya, akuntabel dan transparan. Yang lainnya dan mendesak adalah membangun SPDN di wilayah Sebatik Barat untuk memudahkan masyarakat setempat mendapatkan BBM dengan syarat yang telah disepakati.
Keempat, penguatan nelayan dengan identitas kartu nelayan. Ini bisa dilaksanakan dengan tidak menjual BBM bagi nelayan yang tidak mampu menunjukkan Kartu Nelayan atau berkas yang menunjukkan pembeli itu adalah nelayan.
Kelima, penataan hulu-hilir kelistrikan. Adanya pembangkit listrik tenaga air dari Negara Jerman (berita dari Kadis DKP Prov. KALTARA) akan menjadi awal yang baik untuk menjamin ketersediaan listrik di Nunukan. Selain itu, sebenarnya, kebutuhan listrik bisa surplus bila PLTMG Sebaung dapat menyuplai listrik sebesar 7,2 MW sesuai kontrak yang pengerjaannya yang dipihakketigakan kepada PT. BUGAK. Sementara ini cuma bisa menyuplai 5,8 MW. Pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi dengan otoritas penyedia listrik untuk menjamin suplai dan layanan ke pengusaha perikanan di lokasi PSKPT Nunukan dan pada saat yang sama memberikan ketegasan bagi pengguna lisrik untuk taat prosedur dan meyakinkan pengguna utamanya masyarakat kecil untuk produktif dalam penggunaan.
Keenam, pembenahan kebutuhan infrastruktur PSKPT. Ke depan, perlu diinisiasi mesin penjernih air di lokasi PSKPT untuk kebutuhan sehari-hari, baik MCK para pegawai, maupun untuk pembuatan es balok nantinya. Sementara di sisi lain, perlu pula dibuatkan Perda yang mengatur tentang keberadaan kelapa sawit.
Keenam, penguatan data base kelautan perikanan untuk perencanaan dan pengembangan nelayan. Diperlukan pendataan lebih rinci tentang bantuan yang akan turun ke pihak penerima.Keaktifan kelompok calon penerima bantuan harus bisa dibuktikan dengan jenis kegiatan yang telah dilakukan, pembukuan keuangan dan arsip-arsip kelompok lainnya. Selain itu, perlu pula mendata ulang jenis bantuan dan calon penerima bantuan, agar bantuan yang diberikan bersifat tepat guna dan tepat sasaran. Beberapa nelayan tak lagi memerlukan bantuan kapal, karena nelayan sebagian besar sudah memiliki kapal. Bantuan yang tepat adalah alat tangkap sebab banyak yang telah rusak atau hilang oleh ombak demikian pula beberapa sarana prasarana pendukung seperti mesin pengering rumput laut kapasitas 4 ton, seperti di Binusan atau Mansapa.