Dari sinilah potensi perikanan Indramayu dikerek. Dari hasil rilis Dinas Perikanan Kelautan Indramayu untuk total produksi perikanan tangkap yang didaratkan sampai Oktober 2015 di TPI KUD Misaya Mina Eretan Wetan adalah 1.445.476 kg. Sedangkan produksi yang didaratkan di TPI KUD Mina Bahari Eretan Kulon mencapai 6.580.055 kg.
Selisih perbedaan produksi ini dapat mengarahkan kita pada kemampuan alat tangkap di kedua lokasi TPI ini, antara Eretan Kulon dan Eretan Wetan. Ada perbedaan nilai produksi, di Eretan Kulon lebih tinggi ketimbang Kulon. Tahu kenapa?
***Â
[caption caption="Kapal sandar di TPI Eretan Wetan"]
Pelarangan alat tangkap jaring dengan ukuran mata jaring sangat kecil berdampak pada dogol, arad, maupun cantrang. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Permen KP nomor 2/2015 telah menegaskan aturan ini. Selain itu, sebelumnya, Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 39/1980 telah melarang jaring trawl karena bisa membahayakan ekosistem laut. Lalu diperkuat di Undang-Undang Nomor 45 tahun 2010 tentang Perikanan. Ada alasan keberlanjutan dan perlindungan ekosistem dan sosial di sini.
Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan tim kerjanya yang sedang membenahi tata kelola dan usaha perikanan nasional nampaknya harus kerja keras untuk memediasi isu-isu pemanfaatan perikanan seperti di Indramayu ini. Di tingkat nelayan, terdapat kekayaan pengetahuan, keterampilan dan kerjasama di antara mereka. Potensi sekaligus tantangan sebab gagasan Ibu Susi untuk mengelola sumberdaya perikanan secara lestari bertolak belakang dengan praktik dogol, arad atau cantrang yang dipraktikkan oleh nelayan setempat. Praktik yang bukan saja mengancam pelestarian ingkungan laut karena menerabas ekosistem dasar perairan tetapi juga berpotensi merusak tradisi tangkap tradisional yang masih berlaku di perairan Jawa terutama di Indramayu. Â Ada tekanan pada yang nirdaya dan tradisional.
Senarai dari geliat TPI Eretan Kulon dan Wetan ini merupakan informasi penting bagi pengambil kebijakan, perencana, pemerhati lingkungan, fasilitator pembanguan daerah, termasuk kita pembaca realitas ini untuk perlahan memberi pemahaman kepada siapapun untuk menjamin keberlangsungan usaha perikanan, keberlanjutan pengelolaan dan keadilan sosial.Â
Mengajak nelayan untuk hijrah dari alat tangkap yang berpotensi merusak dan serampangan ke alat tangkap ramah lingkungan butuh waktu, kesabaran, kesungguhan. Seorang peneliti pemberdayaan masyarakat dari Jepang bernama Nobuaki Wada, penulis buku Reaching Out to Field Reality menyatakan bahwa kadang warga atau komunitas tak sadar atas gejala perubahan lingkungan sekitarnya, dibutuhkan partisipasi pihak luar untuk dapat memberi pemahaman kepada masyarakat (termasuk nelayan) untuk menyadari realitas, isu dan risiko pemanfaatan sumberdaya.
Menurut Wada, orang-orang harus paham konteks perubahan sebab di situ ada unsur modernisasi dan industrialiasi. Pada situasi ini, warga atau nelayan seperti di Eretan sudah harus memilah, maju dengan pengelolaan lestari, atau sebaliknya. Saat ini, negara harus hadir. Pengalaman di Eretan termasuk di beberapa lokasi perikanan lainnya di Nusantara, seperti mangkraknya puluhan nelayan cantrang di Kabupaten Maros—Sulawesi Selatan ini menunjukkan bahwa hasil penangkapan maksimal dengan dogol dan sejenisnya bukan jaminan untuk hidup langgeng, lestari dan bersahabat dengan alam.
PR Ibu Susi dan kita semua adalah membantu nelayan-nelayan tersebut agar bisa keluar dari dilema sosial-ekologi perikanan ini atau kita akan kehilangan masa depan di laut karena pengelolaan yang tak berkelanjutan. Apa yang nampak di Eretan adalah bagian dari dinamika perubahan, dan kita harus membiasakan warga atau nelayan untuk menjadi kreatif dan arif. PR kita, aktivis LSM, Pemerintah, Perguruan Tinggi, maupun pihak swasta untuk mencarikan solusi dan inovasi.
Mungkin saja ada alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan secara sosial, ekonomi dan lingkungan?