[caption caption="Pemandangan dari Eretan"][/caption]Cahaya lembut pukul delapan pagi terpantul dari lekuk sungai Eretan. Menari di lambung peperahu yang keluar masuk muara sungai yang membelah dua tempat pendaratan ikan utama di Indramayu, Eretan Kulon dan Eretan Wetan (Kamis, 19 November 2015). Eretan merupakan pusat kegiatan perikanan tua di Jawa. Di sini terlahir koperasi pesisir tertua di Indonesia pada 1926, Koperasi Misaya Mina namanya.
***
Pagi tanggal 19 November itu, saya menemukan di dermaga telah nangkring jejeran KM Risky, Mandala dan Mutiara, tiga kapal ikan yang beberapa hari mangkrak karena tidak punya surat izin melaut. Selain ketiganya, masih ada puluhan bahkan ratusan kapal serupa yang tertahan suratnya oleh dinas terkait dengan alasan akan diperbaharui surat izinnya.
Meski begitu, layaknya TPI aktivitas usaha perikanan terus menggeliat. Adalah Asmari dan Sukari, dua nelayan Eretan Wetan yang baru saja merapat di TPI. Perahunya yang ditaksir berbobot 5 ton datang membawa sebaskom besar ikan kecil dasar dan sekeranjang plastik ikan serupa. Dengan modal mesin Tianli berkapasitas 28 PK mereka beroperasi dengan jaring.
Dua orang merapat ke perahu dan membantu mengangkat hasil tangkapan tersebut. “Kalau yang ini namanya ikan jonggor, yang ini belanak,” kata Asmari yang sebentar lagi akan membawa ikan tersebut ke bakul atau pengumpul.
“Saya belum tahu siapa yang mau beli, siapa saja yang mau,” lanjutnya. Menurut Asmari kalau ikan ini dijual harganya bisa mencapai Rp. 2 hingga 2,5 juta. Tergantung negosisasi.
Tidak jauh dari situ seorang ibu menggendong anak balita. Si ibu mengaku bersuamikan nelayan dan sedang menanti suaminya. Dia sedang menggendong anaknya bernama Aliando. Mereka menemani nenek Aliando yang sedang membereskan udang di baskom. Udang-udang pucat dan akan dijajakan sebentar lagi. Di dekat mereka seorang perempuan berbaju merah dengan sigap menyapa kami.
Galau Walim
Untuk mengetahui tentang suasana pengelolaan usaha perikanan di Eretan Kulon dan isu dogol ini, kami merapat ke Haji Walim, salah seorang pendiri koperasi di Eretan Kulon, sekaligus tokoh berpengaruh di sana. Penulis memberi pujian pada sebuah kantor yang berdiri megah di sisi barat TPI. “Itu kantor KUD Mandiri Minabahari, inilah koperasi milik kami di Kulon. Dibangun oleh Dinas Indramayu, belum pasti juga ini menggunakan dana provinsi atau kabupaten,” ujar Walim.
Walim bercerita kalau dia lahir dan besar di Eretan Wetan, meski pernah meninggalkan kampung ini selama 3 tahun karena mencari nafkah di Lampung sebagai nelayan. Walim juga bercerita kalau sejarah nelayan Kulon dan alat tangkap dogol tidak bisa dipisahkan. “Sejak awal kami memang nelayan namun belum punya TPI,” Walim mulai berkisah.
“Nelayan Eretan Kulon masih menggunakan TPI di Eretan Wetan, namun lambat laut karena kampung berkembang, penduduk semakin banyak, nelayan juga banyak, kami mendirikan TPI ini. Kira-kira sejak 30 tahun lalu,” ungkapnya.
“Kalau lihat perahu-perahu di sini maka akan kelihatan kalau ukurannya sangat besar, justeru lebih maju di sini. Di sana tinggal 5 perahu besar. Banyak pemiliknya tinggal di Kulon. Itu bukti bahwa kami maju semua,” paparnya.
Seiring dengan berkembanganya nelayan Eretan Wetan, para tokoh kemudian mendirikan koperasi, tujuannya untuk melayani kebutuhan nelayan dan mengelola dana anggotanya. “Tapi yah, banyak nelayan sini ngeluh, ini surat-surat melaut diambil oleh Dinas mereka tidak bisa operasi,” imbuh Walim. Menurut Walim sejak dilarang beroperasi, sepertinya Pemerintah hendak menyengsarakan rakyat.
“Dogol itu di sini sama saja dengan cantrang di Jawa Timur. Itu bukan pukat harimau.” belanya. Menurut Walim, dogol sudah ada sejak lama dan telah memberikan kontribusi banyak bagi Pemerintah. “Kalau surat melaut dibekukan, yah, nelayan tidak bisa usaha. Kasih solusi yang baiklah. Kalau mau diukur ulang silakan,” katanya dengan suara meninggi.
[caption caption="Haji Walim"]
Menurut pengamatan penulis dan informasi dari Walim, sekurangnya terdapat 40 unit perahu berukuran 40 ton yang berlabuh di Eretan Kulon pagi itu. Di atas kapal ada 15 hingga 16 ABK. “Bayangkan saja berapa nelayan yang menganggur?” kata bapak dengan anak 6 dan bercucu 6 ini.
Di TPI Eretan Kulon, kapal-kapal yang sandar dan mengangkut ikan umumnya adalah nelayan dengan perahu dogol, perahu jaring dasar yang telah ada sejak 20 tahun lalu. Sudah relatif lama. Dogol oleh Pemerintah dianggap rakus pada laut, mengambil semua yang ada, besar kecil. Cenderung menerabas seperti layaknya pukat harimau.
Seorang warga Eretan yang tak mau disebutkan namanya menyatakan bahwa beroperasinya dogol merusak jaring-jaring kepiting atau rajungan warga kecil. “Kadang saya mau menangis kalau pas mau periksa jaring rajungan, ternyata sudah hilang,” kata pria tersebut. Menurutnya itu bukan sekali saja, namun berulang-ulang. Salah satu penyebabnya kalau banyak dogol yang beroperasi mulai mendekati lokasi-lokasi pencari kepiting dan pemancing tradisional. Kapal-kapal dogol sebagian besar berukuran besar dan dengan ukuran itu bisa dipahami kebutuhan operasionalnya.
“Biaya operasi satu unit kapal besar dogol itu sekitar 40 juta untuk seminggu operasi tapi kalau pulang bisa membawa ikan seharga 70 juta. Jadi untungnya di situ.” tambah Walim. Bagi Walim, kehidupan nelayan Eretan Wetan ini sudah tergolong bagus dan harus dipertahankan apalagi dengan adanya koperasi yang kini beranggotakan 40 orang ini. Koperasi punya asset 2 miliar dan membagi SHU cukup besar rerata Rp. 6 Juta.
“SHU dibagikan tergantung nilai simpanan dan wajib dan simpanan sukarela.” katanya. Menurut Walim, koperasi beranggotakan pengusaha-pengusaha perikanan di Eretan Kulon seperti Haji Jemblo, Haji Juanda, hingga Haji Siman. Sedangkan pendiri koperasi adalah Haji Darma, Sanudin, Kopral Kota, Pak Kawi. “Semuanya sudah almarhum, sisa saya,” katanya menyungging senyum.
Meski tidak rinci Haji Walim mengatakan bahwa selama ini operasi dan hasil nelayan dogol diatur oleh koperasi atas kesepakatan dengan anggota seperti ada pembagian hasil untuk koperasi, pemilik kapal, pesangon dan lain sebagainya. “Selain dogol nelayan pancing juga ada tapi tidak banyak palingan 40-50 nelayan pancing,” katanya.
Sebelum saya pamit, Haji Walim mengatakan bahwa usaha dogol telah memberikan manfaatkan bagi Eretan Kulon. “Dari hasil melaut, nelayan bisa bangun masjid, bikin yayasan dan pesantren di sini. Kalau tidak menjaring gimana?.” Pungkas pemilik perahu bernama Ekamina ini.
***
Geliat di Wetan
Pukul Sembilan pagi kami berputar jalan dan mengarah ke timur, ke TPI Eretan Wetan.
Suasana hiruk pikuk sangat terasa saat kami memasuki kompleks Balai Pelabuhan Perikanan Pantau yang beralamat Jl. KUD Misaya Mina Desa Eretan Wetan Kecamatan Kandanghaur, Indramayu. Orang-orang masih tetapi menyebut kawasan ini sebagai TPI Eretan Wetan. Ikan-ikan tongkol, layang, cumi-cumi, tenggiri, mendominasi ruang lelang di TPI ini.
Di lokasi TPI kami menyaksikan aktivitas khas kampung nelayan. Para nelayan merapikan dan menisik jaring yang robek. Pagi itu mereka menisik jaring tangkap untuk purse sein. Di sisi utara lokasi lelang ada sehimpunan nelayan mengerjakan jaring, di bagian tengah ada sekumpulan ibu-ibu menjajakan makanan dan minuman.
Di bagian selatan, petugas lelang telah siap di meja lelang, sebagian lainnya merapikan ikan yang hendak dilelang. Para petugas bersepatu bot plastik memberi tanda dengan meletakkan angka. Sekitar pukul 10 suasana di TPI mendadak riuh oleh seruan petugas lelang. Suara yang keluar dari mikrofon terasa nyaring dan tegas. Lelang ikan di sini menggunakan bahasa Jawa yang teramat cepat. Hanya nelayan dan para peserta lelang yang memahaminya.
Sang juru lelang yang berbadan besar, berkumis dan tambun nampaknya sangat berpengalaman. Suaranya yang keras seperti menghentak ruang sadar peserta lelang untuk segera memutuskan; beli atau tidak. Di sini interaksi antara kaum perempuan sangat terasa dan nyata. Saat pelelangan, peserta lelang didominasi oleh perempuan. Sesaat setelah berpindah ke ikan-ikan yang hendak dilelang peserta lelang mengikuti sang juru lelang. Satu persatu ikan dilego, satu persatu ikan berpindah pemilik.
[caption caption="Alat tangkap purse-seine nelayan Eretan Wetan"]
Jika di Eretan Kulon ada KUB Mina Bahari maka di Eretan Wetan adalah KUD Misaya Mina. Ketuanya H. Mansur Idris SH. Koperasi yang telah lama berdiri, yaitu sejak tahun 1926.
Sebagian besar nelayan di Eretan Wetan menggunakan alat tangkap jaring rampus, jaring klitik/udang, gillnet, purse seine. “Mereka mulai perlahan meninggalkan arad atau dogol,” kata Yuni, mahasiswa S2 IPB yang sedang memfasilitasi penguatan kapasitas TPI di Indramayu.
Selain KUD di Eretan Wetan, fasilitas yang mendukung kegiatan perikanan di antaranya adalah perkantoran, gedung TPI Eretan Wetan, tanggul pemecah gelombang, menara air, SPDN, dermaga, pasar ikan, jalan beraspal, sumber air bersih, depot es dan lain sebagainya. Selain itu di sekitar TPI Eretan Wetan terdapat kantor Unit POSMAT TNI AL, pos kesyahbandaran Eretan, Dit Pol Air, pos pengawasan SDKP Eretan, dan Balai Pelabuhan Perikanan Pantai (BPPP) Unit Pelabuhan Perikanan Pantai Eretan.
Dari sinilah potensi perikanan Indramayu dikerek. Dari hasil rilis Dinas Perikanan Kelautan Indramayu untuk total produksi perikanan tangkap yang didaratkan sampai Oktober 2015 di TPI KUD Misaya Mina Eretan Wetan adalah 1.445.476 kg. Sedangkan produksi yang didaratkan di TPI KUD Mina Bahari Eretan Kulon mencapai 6.580.055 kg.
Selisih perbedaan produksi ini dapat mengarahkan kita pada kemampuan alat tangkap di kedua lokasi TPI ini, antara Eretan Kulon dan Eretan Wetan. Ada perbedaan nilai produksi, di Eretan Kulon lebih tinggi ketimbang Kulon. Tahu kenapa?
***
[caption caption="Kapal sandar di TPI Eretan Wetan"]
Pelarangan alat tangkap jaring dengan ukuran mata jaring sangat kecil berdampak pada dogol, arad, maupun cantrang. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Permen KP nomor 2/2015 telah menegaskan aturan ini. Selain itu, sebelumnya, Pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 39/1980 telah melarang jaring trawl karena bisa membahayakan ekosistem laut. Lalu diperkuat di Undang-Undang Nomor 45 tahun 2010 tentang Perikanan. Ada alasan keberlanjutan dan perlindungan ekosistem dan sosial di sini.
Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan tim kerjanya yang sedang membenahi tata kelola dan usaha perikanan nasional nampaknya harus kerja keras untuk memediasi isu-isu pemanfaatan perikanan seperti di Indramayu ini. Di tingkat nelayan, terdapat kekayaan pengetahuan, keterampilan dan kerjasama di antara mereka. Potensi sekaligus tantangan sebab gagasan Ibu Susi untuk mengelola sumberdaya perikanan secara lestari bertolak belakang dengan praktik dogol, arad atau cantrang yang dipraktikkan oleh nelayan setempat. Praktik yang bukan saja mengancam pelestarian ingkungan laut karena menerabas ekosistem dasar perairan tetapi juga berpotensi merusak tradisi tangkap tradisional yang masih berlaku di perairan Jawa terutama di Indramayu. Ada tekanan pada yang nirdaya dan tradisional.
Senarai dari geliat TPI Eretan Kulon dan Wetan ini merupakan informasi penting bagi pengambil kebijakan, perencana, pemerhati lingkungan, fasilitator pembanguan daerah, termasuk kita pembaca realitas ini untuk perlahan memberi pemahaman kepada siapapun untuk menjamin keberlangsungan usaha perikanan, keberlanjutan pengelolaan dan keadilan sosial.
Mengajak nelayan untuk hijrah dari alat tangkap yang berpotensi merusak dan serampangan ke alat tangkap ramah lingkungan butuh waktu, kesabaran, kesungguhan. Seorang peneliti pemberdayaan masyarakat dari Jepang bernama Nobuaki Wada, penulis buku Reaching Out to Field Reality menyatakan bahwa kadang warga atau komunitas tak sadar atas gejala perubahan lingkungan sekitarnya, dibutuhkan partisipasi pihak luar untuk dapat memberi pemahaman kepada masyarakat (termasuk nelayan) untuk menyadari realitas, isu dan risiko pemanfaatan sumberdaya.
Menurut Wada, orang-orang harus paham konteks perubahan sebab di situ ada unsur modernisasi dan industrialiasi. Pada situasi ini, warga atau nelayan seperti di Eretan sudah harus memilah, maju dengan pengelolaan lestari, atau sebaliknya. Saat ini, negara harus hadir. Pengalaman di Eretan termasuk di beberapa lokasi perikanan lainnya di Nusantara, seperti mangkraknya puluhan nelayan cantrang di Kabupaten Maros—Sulawesi Selatan ini menunjukkan bahwa hasil penangkapan maksimal dengan dogol dan sejenisnya bukan jaminan untuk hidup langgeng, lestari dan bersahabat dengan alam.
PR Ibu Susi dan kita semua adalah membantu nelayan-nelayan tersebut agar bisa keluar dari dilema sosial-ekologi perikanan ini atau kita akan kehilangan masa depan di laut karena pengelolaan yang tak berkelanjutan. Apa yang nampak di Eretan adalah bagian dari dinamika perubahan, dan kita harus membiasakan warga atau nelayan untuk menjadi kreatif dan arif. PR kita, aktivis LSM, Pemerintah, Perguruan Tinggi, maupun pihak swasta untuk mencarikan solusi dan inovasi.
Mungkin saja ada alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan menguntungkan secara sosial, ekonomi dan lingkungan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H