Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Diaspora Bugis-Makassar hingga Manifestasi Tallu Cappa’

16 Februari 2016   07:20 Diperbarui: 16 Februari 2016   09:59 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Bersama nelayan Bugis di PPI Manggar"]

[/caption]

“Di Belitung ini ada 30 persen warga merupakan keturunan Bugis-Makassar,” kata Hardy saat kami kembali ke Tanjung Pandan. Menurutnya, banyak pelaut dan nelayan yang merasakan kenyamanan selama tinggal di Belitung, salah satu alasannya karena budaya Bugis sebangun dengan budaya Melayu sangat klop.  Sayang sekali, kunjungan ke Belitung itu tak berlanjut ke Pulau Bangka. Di pulau ini, terdapat sepupu ayah saya bernama Baharuddin Daeng Rani yang telah lama menjadi warga Bangka.

Transformasi di Pesisir Kalimantan

Setelah dari Belitung, saya menyeberang ke Pulau Kalimantan. Kali ini saya bertandang ke Muara Kintap, Kabupaten Tanah Laut. Mengapa memilih Muara Kintap? Sebab saya sering mendengar migrasi nelayan asal kampung saya Galesong, di Kabupaten Takalar (selatan Gowa), Sulawesi Selatan ke daerah ini. Mereka adalah sekumpulan nelayan pancing ikan merah (juku eja). Dugaan saya benar, di Desa Tanjung Dewa, saya bertemu seorang pemancing ikan asal Galesong bernama Daeng Sila yang beristrikan orang Desa Tanjung Dewa.

“Ada ratusan nelayan Sulawesi yang datang ke sini pada tahun 90an,” kata Kades Tanjung Dewa, Ibramsyah. Ibramsyah bahkan mengaku kalau dia yang memboyong nelayan dari Sulawesi ini. “Sudah diketahui banyak orang kalau orang Makassar sangat kuat melaut,” kata Ibramsyah saat ditemui di rumahnya dalam bulan November 2015.

Selain di Tanjung Dewa, di Desa Muara Kintap, terdapat ratusan warga Bugis-Makassar. Mereka sukses sebagai nelayan sekaligus sebagai pedagang ikan. Salah satu dari mereka bernama Haji Take’ yang mempunyai rumah di seberang PPI Muara Kintap. Haji Take’ mengaku Bugis Soppeng dan kelahiran Tanah Bumbu.

“Bupati Tanah Bumbu saat ini adalah keturunan Bugis Maros,” kata Iwan, anak Buton, teman seperjalanan kami. Wajar jika ada yang mengatakan bahwa jumlah Bugis-Makassar di Kalimantan mencapai 1 juta jiwa.

Dalam penerbangan dari Banjarbaru ke Tarakan pada tanggal 10 Desember, saya berkenalan dengan Taufik. Kami bersebelahan kursi saat naik pesawat dari Banjarbaru menuju Tarakan. Dia baru saja datang dari Samarinda.

“Aku tak biasa naik pesawat, baru kali ini aja,” katanya dengan nada persahabatan. Tak nampak kalau dia orang Bugis sebelum saya tanya asal usulnya. Taufik adalah anak dari seorang Bone perantau bernama Mappasissi. Taufik adalah pria kelahiran Pulau Sebatik yang kini mengundi nasib dengan membeli lahan tambak di pesisir Samarinda. Disebut mengundi sebab mengelola usaha tambak rentan gagal sebab serbuan virus udang.

“Saya beli tambak 10 hektar, harganya sekitar 150 juta dari seorang bernama Syamsu Alam,” kata pria yang mengaku telah masuk Tawau sejak usia 13 tahun dan kerja di kilang kayu milik David Lim. Setelah 8 tahun kerja di Tawau, pulang, pergi, Taufik akhirnya bisa mengumpulkan uang dan beli tambak. Untuk mengelola tambaknya dia memanggil seorang temannya asal Makassar bernama Riza. Taufik mengaku keturunan Bugis Tidung. Tidung adalah salah satu suku di Kalimantan.

“Kita usaha saja, kalau gagal itu akan jadi pengalaman penting untuk saya,” katanya mantap saat dengar saya mengatakan rentan jika menebar benur udang, virus udang sedang marak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun