[caption caption="Komunitas Bugis di Tanah Laut--Kalimantan Selatan (foto: Kamaruddin Azis)"][/caption]“Saya salah satu contoh sukses perantau Makassar di Malaysia.” Perdana Menteri Najib Tun Razak.
Relokasi warga Kalijodo yang menyita perhatian publik itu telah menghadirkan sosok bernama Daeng Aziz. Pria Bugis ini disebut sebagai sutradara di balik lakon prostitusi dan premanisme nan langgeng di Kalijodo. Perseteruan hebat Daeng Aziz dan orang nomor satu Ibukota, Ahok yang hendak memindahkan warga di sekitar Kalijodo menjadi trending topic kini.
Lepas dari pro-kontra Aziz dan Ahok, ada yang menarik ditelisik, tentang sejarah dan sepak terjang orang Bugis-Makassar di Nusantara. Tentang bagaimana mereka menjadi bagian dari sejarah pertumbuhan kawasan, di tanjung-tanjung, di teluk, pesisir hingga kota-kota baru—kawasan yang jauh dari tanah leluhur mereka. Seorang teman aktivis LSM bernama Wahyuddin B. Kessa, yang mencintai Gus Dur serta aktif pada beberapa program di Kementerian Desa (Kemendes) saat ini, berpendapat, hubungan mutualisme Bugis-Makassar, Melayu serta Cina sangat kuat sejak lama dan itu tercermin di Ahok, sejak di Belitung.
“Ahok yang tegas itu adalah menifestasi petuah dan ajaran Bugis yang diperolehnya selama di Belitung,” katanya saat ditemui di Bandara Soeta di ujung tahun 2015. Menurut Wahyu, semasa mudanya, Ahok kerap mendapat nasehat dari orang-orang tua Bugis yang telah lama menetap di Belitung Timur. Petuah yang menurut Wahyu merupakan manifestasi filosofis, kemampuan adaptasi dan dimensi daya tarung Bugis-Makassar; Tellu Ceppa (Bugis) atau Tallu Cappa’ (Makassar).
Membaca Diaspora Bugis-Makassar
Christian Pelras dalam buku The Bugis, mengupas dalam diaspora masif suku dari kaki Pulau Sulawesi ini awal abad pertama hingga abad kontemporer. Pelras menyebutkan bahwa masyarakat Bugis mulanya adalah masyarakat agraris. Jatuhnya Makassar pada jelang 1669 memaksa beberapa dari mereka seperti dari Wajo (berbagasa Bugis) dan Gowa (berbahasa Makassar) memilih menjadi pengelana.
Menurut Pelras, mereka meninggalkan kampung halaman, membangkang pada Belanda dan memilih menjadi perompak di laut, menjadi serdadu bayaran, hingga kemudian menjadi bagian dari penguasa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara seperti di Riau, Siak, Mempawah Kalimantan bahkan di lekuk Malaysia. Peneliti Bernard Vlekke, di bukunya, Nusantara, Sejarah Indonesia, menyebut armada perompak Bugis-Makassar berkeliaran di perairan Nusantara. Dia menyebutnya, Macassar Zee Rovers. Mereka menguasai perairan Samarinda, dan menyokong kekuatan para sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang lokal, antara raja-raja kecil termasuk Mempawah.
Di dalam kitab sejarah Melayu—Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji yang kesohor dari Riau itu, diceritakan dengan gamblang kebesaran pelaut Bugis-Makassar di masa lampau terutama di semenanjung Melayu, Riau hingga pesisir Kalimantan. Sementara di Jawa, siapa yang tak kenal kiprah Karaeng Galesong dan Karaeng Naba, pengikut Sultan Hasanuddin yang gencar melawan pendudukan Belanda sejak takluknya Gowa usai traktat Bungaya di abad 17.
Jadi wajar jika ada data yang menyebutkan bahwa komunitas Bugis-Makassar telah menjadi pilar sekaligus tonggak sejarah perkembangan kawasan pesisir di Nusantara, dari Sumatera hingga Papua. Keturunan Bugis-Makassar, termasuk Mandar, Enrekang dan Toraja di Kalimantan ditaksir 1 juta. Ada 350 ribu di Sumatera dan sekitar 800 ribu menjadi warga negara Malaysia. Tun Abdul Razak serta Najib Tun Razak, adalah dua tokoh Makassar-Gowa paling cemerlang. Mereka adalah perdana menteri Malaysia kedua dan keenam.
***
Antara bulan November hingga Desember 2015, saya terlibat dalam satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membangun kampung nelayan. Ada 31 kabupaten/kota yang menjadi target lokasi, dari pesisir Pusong di Lhokseumawe hingga Urumb di Merauke—Papua.
Di rentang bulan itu, saya diminta memilih destinasi untuk didatangi. Ini adalah rezeki sekaligus tantangan bagi saya, yang selalu kagum dan haus akan pesona keindahan pesisir dan laut Nusantara. Selain melaporkan temuan-temuan berkaitan tema program yaitu segala pernak pernik kapasitas nelayan dan kelembagaannya, rekaman fakta dan realitas saya juga menelisik isu berkaitan pembangunan sarana prasarana perikanan. Saya juga mencatat pola interaksi dan informasi historis dan kontemporer dari para penjelajah pesisir dan laut Nusantara. Mereka, para pelaut, nelayan dan penjelajah terkenal dari jazirah selatan Sulawesi, mereka pengelana Bugis-Makassar yang saya temui di beberapa titik di Sumatera dan Kalimantan.
Bugis-Makassar yang dimaksudkan di tulisan ini adalah perwujudan kiprah suku Bugis dan suku Makassar sebagai dua elemen yang mewujud dalam tradisi merantau dan melaut, kerap disatukan sebagai Bugis-Makassar, dua suku utama di selatan Sulawesi.
Dulu, narasi dan sepak terjang Bugis direpresentasikan oleh Bone dan Arung Palakka, sedang Makassar direpresentasikan oleh Gowa dengan Sultan Hasanuddin. Kini, di suasana kontemporer mereka menjadi pilar dalam membangun Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan, membangun pesisir dan kota-kota Nusantara, dan jangan lupa mereka juga menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Bugis-Makassar di Sumatera
Kunjungan saya ke Sumatera pada bulan November 2015 menjadi bukti betapa komunitas Bugis Makassar sangat nyata dan berperan penting di pesisir Belitung. “Hampir semua pesisir di Tanjung Pandan dihuni pendatang dari Bugis-Makassar. Mereka mabbagang hingga jadi nelayan pancing,” kata Hardy, sopir bandara yang juga mengaku keturunan Bugis Bone. Hardy mengantar saya ke Kota Manggar, Belitung Selatan.
Di Manggar, tepatnya di Pantai Serdang, Desa Baru, komunitas Bugis menjadi warna utama dalam aktivitas kenelayanan. Di sini saya bertemu Puang Rapi’ asal Kajuara Bone. Dia datang ke Serdang sejak tahun 70an sebagai pelaut, di sini dia beranak cucu. Di PPI Manggar yang saya kunjungi terlihat sebagai pangkalan pendaratan ikan di Sulawesi Selatan, betapa tidak, pengepul atau pembeli ikan bernama Bade’ berasal dari Sinjai, nelayannya bernama Doni asal Bugis lengkap dengan ABKnya yang beraksen Bugis.
Pagi tanggal 10 November 2015, saat berkunjung ke PPI itu, saya bertemu dengan seorang pria asal Jeneponto, tiga orang asal Sinjai, seorang asal Kajang, Bulukumba dan seorang pria yang mengaku lahir dan besar di Manggar namun mempunyai kerabat yang tinggal di Pulau Long. Lelaki bernama Ishak itu mempunyai ibu keturunan Bugis yang datang dari Sumbawa dan ayah bernama Arifin yang datang dari Bone.
Komunitas Bugis di pulau Long, ada sejak tahun 70an, sejak pulau itu masih menjadi kuburan bagi pelaut atau pengelana yang meninggal selama pelayaran.
“Saat Pulau Long dibuka sebagai perkampungan Bugis, di sana banyak tengkorak dan tulang belulang manusia,” kata Ishak. Keberadaan Bugis di Pulau Long karena mereka beraktivitas sebagai nelayan jaring mayang. Mereka adalah nelayan.
“Menurut cerita, nelayan-nelayan pengguna jaring mayang di Belitung datang dari Kalimantan Barat, pada tahun 70an. Mungkin karena di sini ikan banyak dan belum diolah dengan baik sehingga banyak nelayan dari Kalimantan pindah ke sini, orang kita juga,” kata Arifin, ayah Ishak.
Arifin datang ke Belitung tahun 70an dari Bone setelah sebelumnya sempat ditawan pasukan Qahhar Muzakkar di Pulau Kabaena. Selain mereka, orang-orang Bugis juga menjadi pegawai negeri sipil. Saya menjumpai Bugis Wajo yang menjadi kepala bidang di salah satu dinas di Kabupaten Belitung.
[caption caption="Bersama nelayan Bugis di PPI Manggar"]
“Di Belitung ini ada 30 persen warga merupakan keturunan Bugis-Makassar,” kata Hardy saat kami kembali ke Tanjung Pandan. Menurutnya, banyak pelaut dan nelayan yang merasakan kenyamanan selama tinggal di Belitung, salah satu alasannya karena budaya Bugis sebangun dengan budaya Melayu sangat klop. Sayang sekali, kunjungan ke Belitung itu tak berlanjut ke Pulau Bangka. Di pulau ini, terdapat sepupu ayah saya bernama Baharuddin Daeng Rani yang telah lama menjadi warga Bangka.
Transformasi di Pesisir Kalimantan
Setelah dari Belitung, saya menyeberang ke Pulau Kalimantan. Kali ini saya bertandang ke Muara Kintap, Kabupaten Tanah Laut. Mengapa memilih Muara Kintap? Sebab saya sering mendengar migrasi nelayan asal kampung saya Galesong, di Kabupaten Takalar (selatan Gowa), Sulawesi Selatan ke daerah ini. Mereka adalah sekumpulan nelayan pancing ikan merah (juku eja). Dugaan saya benar, di Desa Tanjung Dewa, saya bertemu seorang pemancing ikan asal Galesong bernama Daeng Sila yang beristrikan orang Desa Tanjung Dewa.
“Ada ratusan nelayan Sulawesi yang datang ke sini pada tahun 90an,” kata Kades Tanjung Dewa, Ibramsyah. Ibramsyah bahkan mengaku kalau dia yang memboyong nelayan dari Sulawesi ini. “Sudah diketahui banyak orang kalau orang Makassar sangat kuat melaut,” kata Ibramsyah saat ditemui di rumahnya dalam bulan November 2015.
Selain di Tanjung Dewa, di Desa Muara Kintap, terdapat ratusan warga Bugis-Makassar. Mereka sukses sebagai nelayan sekaligus sebagai pedagang ikan. Salah satu dari mereka bernama Haji Take’ yang mempunyai rumah di seberang PPI Muara Kintap. Haji Take’ mengaku Bugis Soppeng dan kelahiran Tanah Bumbu.
“Bupati Tanah Bumbu saat ini adalah keturunan Bugis Maros,” kata Iwan, anak Buton, teman seperjalanan kami. Wajar jika ada yang mengatakan bahwa jumlah Bugis-Makassar di Kalimantan mencapai 1 juta jiwa.
Dalam penerbangan dari Banjarbaru ke Tarakan pada tanggal 10 Desember, saya berkenalan dengan Taufik. Kami bersebelahan kursi saat naik pesawat dari Banjarbaru menuju Tarakan. Dia baru saja datang dari Samarinda.
“Aku tak biasa naik pesawat, baru kali ini aja,” katanya dengan nada persahabatan. Tak nampak kalau dia orang Bugis sebelum saya tanya asal usulnya. Taufik adalah anak dari seorang Bone perantau bernama Mappasissi. Taufik adalah pria kelahiran Pulau Sebatik yang kini mengundi nasib dengan membeli lahan tambak di pesisir Samarinda. Disebut mengundi sebab mengelola usaha tambak rentan gagal sebab serbuan virus udang.
“Saya beli tambak 10 hektar, harganya sekitar 150 juta dari seorang bernama Syamsu Alam,” kata pria yang mengaku telah masuk Tawau sejak usia 13 tahun dan kerja di kilang kayu milik David Lim. Setelah 8 tahun kerja di Tawau, pulang, pergi, Taufik akhirnya bisa mengumpulkan uang dan beli tambak. Untuk mengelola tambaknya dia memanggil seorang temannya asal Makassar bernama Riza. Taufik mengaku keturunan Bugis Tidung. Tidung adalah salah satu suku di Kalimantan.
“Kita usaha saja, kalau gagal itu akan jadi pengalaman penting untuk saya,” katanya mantap saat dengar saya mengatakan rentan jika menebar benur udang, virus udang sedang marak.
Sebatik, tempat kelahiran Taufik adalah pulau yang didiami banyak sekali kaum Bugis-Makassar. Mereka dianggap sebagai pembuka pulau ini. “Menurut cerita, sebelum orang Bugis datang, pesisir Sebatik dihuni orang Bajo namun menghindar ke pesisir lain sejak semakin banyak pendatang dari Bugis,” kisah Taufik.
Di Kalimantan Utara, saya berkunjung ke Pulau Nunukan. Di sini bertemu Ibrahim, pria kelahiran tahun 1971 dari ayah berdarah Bugis Bone dan ibu berdarah Tidung, suku asli Kalimantan. Di sela obrolan kami dengan Ibrahim datang pula pria bernama Ansar. Ayah Ibrahim yang bernama Malla’ adalah pelaut asal Bone yang menurut Ibrahim pindah dari pelabuhan ke pelabuhan, dari dermaga ke dermaga. Malla’ muda menemukan jodohnya di Kalimantan, tepatnya di Tarakan. Dari Tarakan, Malla’ lalu memperoleh pekerjaan di Nunukan. Malla sekeluarga pindah ke Nunukan.
Sementara itu, Ansar adalah kelaki kelahiran Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dia bertemu jodoh perempuan keturunan Suku Tidung dan Bugis Bone. Usianya 40 tahun.
”Saya pertamanya ke Tawau. Kerja di sawit. Masuk tanpa passport. Dulu belum seketat sekarang.” akunya yang diiyakan Ibrahim, iparnya. Selain bertemu mereka saya juga bertemu Bugis asal Sidrap bernama Wasiah. “Saya ke sini sejak tahun 92. Sekarang tinggal di pasar sini bersama 10 orang asal Sidrap,” kata Wasiah sembari menunjuk los tempatnya tinggal. Wasiah jadi pedagang sekaligus bekerjasama dengan keluarga berdarah Tidung di Desa Binusan.
Di pantai-pantai Kalimantan nan teduh dan landai, mereka, para pengelana itu bertransformasi dengan halus namun kuat, perlahan tapi pasti, kedekatan mereka dengan warga tempatan seakan mejadi bukti betapa lenturnya mereka. Dari Mempawah hingga Sebatik, dari nelayan biasa hingga jadi Bupati.
***
Waktu menunjuk pukul 07.00 wita saat saya sampai di pasar ikan, Kota Nunukan. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari pusat kota. Suasana pasar sedang ramai, belasan penjual ikan telah duduk menjajakan ikannya. Di dermaga beberapa perahu datang dan pergi. Mereka rupanya mengangkut ikan dari beberapa perairan, ada yang dijual di sini ada pula yang dibawa ke Tawau.
“Tergantung jenis ikannya, kalau agak mahal kita bawa ke seberang,” kata seseorang dari pemilik perahu yang mengaku asal Makassar.
Saya mengalihkan pandangan ke pasar ikan. Memandangi orang-orang yang menawarkan ikan segar. Seorang pemuda setengah berteriak meminta disiapkan nasi kuning. Lengannya penuh ragam tattoo. Tubuhnya ceking. Dia mengenakan baju tanpa lengan.
“Manre jolo nampa massappa dale,” katanya sembari mengambil tempat duduk. seorang anak balita mendekat ke dia, si lelaki menyuapi sang anak. Apa yang dia sebutkan tadi artinya—makan dulu lalu mencari rezeki. Bahasa yang diucapkannya adalah bahasa Bugis.
Selain dihuni suku Tidung dan Banjar, Pulau Nunukan adalah pulau yang dihuni banyak sekali suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Selain Nunukan, pulau lainnya, yang berbatasan dengan Malaysia malah didominasi oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Di sini bahkan ada kampung bernama Kampung Enrekang.
***
Temuan selama perjalanan saya dari Kota Manggar, Tanjung Pandan di Sumatera, Banjarbaru, Tanah Laut, Nunukan, Sebatik di Kalimantan menjadi bukti kecil diaspora mereka, diaspora Bugis Makassar. Diaspora yang tak bisa dimaknai sebagai satu matarantai baru namun sebagai bagian dari sejarah panjang migrasi Bugis Makassar sejak berabad tahun silam.
Jadi bukan rahasia bahwa amat banyak perantau dari kaki pulau Sulawesi (berbahasa Bugis dan Makassar) yang mempunyai posisi terhormat di Sumatera dan Kalimantan bahkan Tanah Jawa.
Sahabat saya Darmadi yang dua bulan tinggal di Mempawah, Kalimantan Barat menceritakan bahwa sejarah tibanya orang Bugis-Makassar di Mempawah dimulai sejak Opu Daeng Manambung, keturunan dari Sombaya di Gowa mendapat mandat dari Raja Riau sebagai raja di pesisir Kalimantan bagian Barat ini.
Bagaimana ceritanya? Itu bermula dari perantauan Opu Tenri Borong Daeng ri Lekke’ beserta kelima puteranya, dia meninggalkan tanah Sulawesi karena kisruh politik lokal dan perseteruan dengan Belanda. Mereka kemudian bersua dengan seorang penguasa Selat Malaka pada zamann itu bernama La Maddukelleng Sultan Pasir Arung Matoa Wajo. Opu Tenri Borong berlayar ke Pulau Siantang ditemani kelima puteranya, Opu Daeng Manambung, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Cella', Opu Daeng Parani dan Opu Daeng Kamase.
Raja Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah yang berkuasa di Riau Johor Pahang Lingga, mengajak kelima Opu anak Opu Tenri Borong Daeng ri LEkke' dan orang-orang Minangkabau untuk membantunya mengusir Raja Kecil yang menduduki Negeri Riau.
Adapun halnya dengan Opu Daeng Parani (di kitab sejarah Tuhfat al Nafis ditulis sebagai Dahing Parni) yang memimpin keempat saudaranya yang lain, melihat bahwa rupanya inilah jalan takdir menuju perwujudan penguasa turun temurun di Kawasan Tanah Melayu, sesuai ilham yang diterima Opu Daeng Manambung. Mereka menang dan mengusir raja kecil tersebut.
[caption caption="Perkampung nelayan di Pulau Sebatik (foto: Kamaruddin Azis)"]
Sultan Sulaiman di Riau mendapuk Opu Daeng Marewa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729) bergelar: Kelana Jaya Putera. Adapun halnya dengan saudara-saudara Opu Daeng Marewa yang lain, mereka bertebaran di seantero Tanah Melayu dengan posisi layaknya kejayaan leluhurnya di Tanah Sulawesi. Opu Daeng Parani menikahi puteri Raja Selangor. Kemudian beliau menikah lagi dengan adik Raja Kedah.
Kemudian di Kalimantan Barat, Opu Daeng Manambung dinobatkan menjadi Sultan Mempawah yang bergelar Pangeran Emas Surya Negara. Beliau inilah yang bermenantukan Syarif Abdurrahman (keturunan Said Al Qadri Jamalullail) yang mendirikan Kerajaan Pontianak dan dinobatkan sebagai Sultan Pontianak I. Opu lainnya adalah Opu Daeng Cella' (Celak), beliau adalah Yang Dipertuan Muda Riau II (1729-1746) bergelar: Sultan Alauddin Syah. Beliau menggantikan kakaknya (Opu Daeng Marewa) yang meninggal pada 1729. Kemudian Opu Daeng Kamase dinobatkan menjadi Raja Sambas (Kalimantan Barat) bergelar: Pangeran Mangkubumi.
Pelantikannya menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Kerajaan Riau Johor Pahang Lingga, karena diiringi dengan sebuah “sumpah setia” antara pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) dengan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
Berdasakan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan, namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda. Berturut-turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749), Daeng Kamboja (1749-1777).
Selain versi ini ada juga cerita lain mengenai dominasi orang Bugis Makassar di Kalimantan bagian timur. Ketika Kerajaan Gowa sedang mencapai masa kejayaannya, banyak di antara raja-raja dan keluarga bangsawan Bugis yang tidak mau takluk pada Sultan Gowa dan melarikan diri, berpindah ke Kalimantan Timur bersama-sama dengan rakyat yang setia kepadanya. Pada perpindahan tersebut mereka mendapat rintangan dari raja-raja di Kalimantan. Di Kerajaan Kutai, rombongan Bugis pimpinan Daeng Sitebba yang digelari Pua Ado menyerang kerajaan Kutai.
Karena pertempuran itu, Ibu Kota kerajaan Kutai dipindahkan lebih jauh masuk sungai Mahakam, yaitu Tenggarong sekarang. Pua Ado kemudian berkuasa di daerah Samarinda. Pendatang dari Bugis intim dengan salah satu kerajaan lainnya bernama Kerajaan Pasir lantaran kesesuaian politik dan saling pengertian.
Kini, tidak kurang dari sejuta penduduk Kalimantan adalah keturunan Bugis Makassar, 300 ribu di Sumatera dan ratusan ribu di Malaysia dan Singapura. Mereka adalah perantau yang membawa bekal tiga prinsip sekaligus pesan para tetua ketika melepas anaknya pergi merantau. Karena uang bukan segalanya maka para tetua berpesan pada pentingnya menerapkan tiga pucuk atau Talla Cappa’. Orang Makassar dan Bugis mengucapkan ini dengan bahasa berbeda namun prinsipnya sama.
Tallu Cappa’ dalam bahasa Makassar seperti berikut ini;
Nia antu tallu cappa’ bokonna tu lampaiyya,
iyamintu, cappa’ lila,
cappa’ kabura’neang,
cappa’ badi’.
Adalah tiga ujung yang jadi bekal bagi sesiapa yang hendak merantau, ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik. Ketiganya berkorelasi pada peluang sekaligus cita-cita, bahwa saat merantau kita harus mamanfaatkan lidah dan pengetahuan lisan, ujung kemaluan berkaitan dengan niat menjaga harga diri dan membuka peluang untuk menyambung generasi, ketiga badi’ berkaitan dengan keberanian dan ketegasan.
Merantau bagi manusia Bugis-Makassar tak melulu bicara penaklukan, tetapi adaptasi, atau paling rendah bertahan di negeri orang dengan hidup tidak direndahkan. Tallu Cappa adalah tahapan dalam proses transformasi diri, adaptasi atau bertahan tersebut. Pada implementasinya, Tallu Cappa’ ini sangat berkaitan dengan konteks, pada ruang dan waktu.
[caption caption="Perahu pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa"]
Nun lampau, dapat terjabarkan semisal, jika keadaan masih dapat diselesaikan dengan lisan, para perantau menggunakan lidah untuk bernegsosiasi. Inilah cara memenangkan hati dengan ucapan santun dan lembut. Jika ini belum mempan, dipergunakanlah ujung kemaluan yang diejawantahkan dengan perkawinan. Dulu, jika ini masih juga gagal, dan yang didatangi tak membuka peluang, maka ini dilanjutkan dengan peperapangan. Budaya Tallu Cappa adalah falsafah hidup, berhubungan dengan kualitas budaya siri’ na pacce atau rasa malu dan kesetiakawanan. Tallu Cappa’ adalah pedoman dan strategi pada ragam kehidupan: sosial, ekonomi, kekuasan dan politik.
Cerita di atas mengantarkan saya pada pemahaman bahwa secara turun temurun, relasi Bugis Makassar dengan kampung-kampung di pesisir Sumatera dan Kalimantan berlangsung langgeng dan konstruktif hingga kini. Juga di Tanah Jawa, di Tanah Pasundan, Sunda Kelapa, Malang, Yogyakarta hingga Jakarta.
Jika demikian adanya, Daeng Aziz dan Ahok harusnya bisa duduk bersama untuk mencari solusi, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H