Jadi begitulah ceritanya. Lalu saya lampirkan chat komunikasi saya via WA dengan admin Kompasiana.
Seorang Kompasianer mengingatkan, "Inilah jeleknya nulis di blog keroyokan bang. Urusan sepele gini mereka slow respon," katanya.
Dia mencoba mempropokasi saya, begini: "Potensi abang nulis berarti besar, sayang kalau potensi itu abang sia-siakan, hanya karena ketentuan nulis konten 10 perhari, padahal source konten skarang berlimpah loh".Â
"Saya aja bisa nulis konten sampe 30 perhari dengan sumber kredibel dan aman, apalagi abang yang notabene mantan wartawan cetak," kata seorang teman menyemangati.
"Sedih saya dengar kalo abang andalkan satu media semata, padahal ada kesempatan besar di media online," tambah teman itu lagi.
Saya membaca sejumlah komentar teman sambil berfikir. Apakah saya harus meninggalkan Kompasiana yang sudah saya cintai sejak lama?
Lalu saya jawab seperti ini, Bang NUR TERBIT:
Terima kasih supportnya pak. Saya juga sedih, justeru 75 persen tulisan dari Kompasiana sudah jadi buku, 25 persen lainnya dari blog dan tulisan dari era media cetak
Terima kasih, salam:
Nur TerbitÂ
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kompasiana, Kenapa Mem