Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Harmoko, BM Diah dan Wartawan

20 Juli 2022   22:46 Diperbarui: 20 Juli 2022   22:51 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku kumpulan tulisan wartawan senior tentang Harmoko (foto : Nur Terbit)

HARMOKO, BM DIAH DAN WARTAWAN "MERDEKA"

(Oleh : Nur Terbit)

Kalau di tempat lain ada polisi nembak polisi, di sini ada wartawan "nembak" wartawan. Itulah yang dilakukan senior saya Bang Syahdanur wartawan yang tak kenal pensiun.

Bang Syahdanur ini, beliau adalah mantan wartawan senior harian "Merdeka" milik begawan media BM Diah, juga pernah satu tim dengan saya di "Harian Terbit" (Pos Kota Grup) milik Harmoko. 

Harmoko (alm) sendiri yang mantan Menpen dan Ketua DPR MPR era Soeharto, juga berlatar belakang wartawan. Sebelum mendirikan koran Harian "Pos Kota" bersama alm H. Tahar dkk, Harmoko juga adalah "alumni" harian Merdeka-nya BM Diah.

Di koran harian "Merdeka" pula, saya banyak mengenal teman seperjuangan di lapangan dan "guru" jurnalistik saya. Ada yang sudah alih profesi, ada yang masih setia sebagai wartawan, juga tidak sedikit yang sudah almarhum.

Selain Bang Syahdanur misalnya, di sana ada Zulfa Basir Saut Pasaribu, Herman Godjang, Oesodo, Luqman Hakim Gayo, Cekwan Lubis, Slamet Siahaan, Maruli Ardi, Dwijo dan beberapa nama lagi yang saya sudah lupa.

Nah, semua kisah-kisah wartawan dan perjalanan koran harian "Merdeka" tersebut, ditulis langsung oleh para pelakunya dalam satu buku berjudul "Wartawan Bersuara Merdeka", edisi 2022.

Di buku tebal dengan jumlah halaman lebih dari 500-an ini, rupanya adalah buku kedua yang diterbitkan. Buku pertama berjudul "Aku Wartawan Merdeka". Bang Syahdanur adalah editornya bersama almarhum Neta S. Pane.

Buku kumpulan tulisan wartawan Merdeka, editor Syahdanur AM (foto : Nur Terbit)
Buku kumpulan tulisan wartawan Merdeka, editor Syahdanur AM (foto : Nur Terbit)

Oh iya, dengan Bung Neta sendiri, boleh dikata adalah teman saya dalam "sepiring berdua", "sekasur bersama", "senasib sepenanggungan" karena cukup lama sering bareng meliput di wilayah Jakarta Utara.

Tentu banyak kisah unik, berkesan, tegang dan sedikit "horor" antara saya dengan mantan Presidium Indonesia Police Watch (IPW) -- yang masih sempat berkomunikasi via daring menjelang ajal menjemputnya karena Covid-19. Al-fatihah buat bung Neta.

Di lapangan pula, terutama di Jakarta Utara (wilayah kecamatan Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Koja, Cilincing dan Kelapa Gading), saya dan Bung Neta di era 1980-an itu adalah "anak bawang" di tengah wartawan senior yang sama memburu berita.

Tahun 1980-an itu, saya dan Neta masih sama-sama bujangan "tong-tong" ( kalau perawan kan istilahnya "ting-ting" hehe..) dan masih wartawan muda pula yang baru pertama kali menapakkan kaki di belantara hutan beton ibukota.

Saya awalnya wartawan lokal (daerah) di Kota Makassar, Sulsel, dan merangkap menjadi koresponden koran Harian Terbit dan Pos Kota (milik Harmoko) untuk biro Indonesia Timur berkedudukan di "Kota Daeng". Pak Harmoko ketika itu masih Ketua PWI Pusat, belum jadi Menteri Penerangan. 

Nah di Makassar pula saya mengenal pertama kali koran "Merdeka". Itu karena korespondennya,  Charles Arsthaka sering liputan bareng. Bedanya beliau senior, saya yuniornya.

Sedang bung Neta S Pane, juga masih "jomblo". Anak Medan ini awalnya lebih sering main teater, sambil meliput berita di Jakarta Utara sebagai wartawan muda dari koran "Merdeka". Itu sebabnya, kami berdua merasa nyaman karena satu "frekuensi". 

Tak hanya di lapangan, kami berdua juga pernah satu kantor. Bung Neta belakangan bergabung di Harian Terbit setelah re-sign dari "Merdeka". Di tempat baru yang kantor redaksinya di kawasan industri Pulogadung Jaktim, Neta di posisi Redpel Harian Terbit dan saya penjaga gawang halaman alias redaktur bidang Perkotaan, Kriminal dan Hukum.

Tapi Neta tidak begitu lama di Harian Terbit. Selanjutnya dia bergabung di koran "Sinar Pagi" -- yang sudah dibeli pengusaha Bakry Brother dari pemilik lamanya Charlie Siahaan. Dalam pengakuannya kepada saya, juga pernah ditulis di status Facebooknya, dia meninggalkan Harian Terbit dan bergabung ke "Sinar Pagi" karena tergiur jumlah gaji yang berlipat-lipat hahaha....

Saya kurang tahu, apakah setelah "Merdeka" ditutup, Neta juga bergabung ke versi baru koran Merdeka yang sudah tutup dan (konon) dibeli "Jawa Pos" dan berganti nama "Rakyat Merdeka", juga ada versi online-nya "Merdeka.com". Saya tidak sempat konfirmasi hehe...

Di luar profesi wartawan, saya dengan Neta, bahkan pernah sekali waktu, ada satu gadis aktivis di Jakut, yang diam-diam kami berdua jatuh cinta kepadanya. Sampai akhirnya "putus" diam-diam pula. Nah, setelah putus itulah baru kami sadar, ternyata telah terjadi "asmara segi tiga"....hahaha..

Di awal tulisan ini, saya menyebut "kalau di tempat lain ada polisi nembak polisi, di sini ada wartawan "nembak" wartawan. Itulah yang saya alami "ditembak" oleh senior saya Bang Syahdanur wartawan yang tak kenal pensiun itu. 

Artinya dengan "ditembak" dengan buku, saya jadi kembali bersemangat untuk memulai lagi menulis. Terutama buku. Buku kenangan bersama Harmoko, saya mau terbitkan dari kumpulan tulisan para wartawan senior. Doakan ya!

Lalu tiba-tiba Senin sore 19 Juli 2022, saya menerima kiriman buku "Wartawan Bersuara Merdeka" dan Bang Syahdanur. Saya baru sempat membaca sepintas, dari daftar isi, nama penulis hingga prolog dan epilognya. Tapi dari semua cerita di atas, baru sebagian kecil dari isi buku tersebut.

Bahkan, ada yang tidak diulas di buku tersebut, tentu saja soal percintaan saya bersama Neta dengan gadis aktivis di Jakarta Utara di episode "asmara segi tiga" itu. Biarlah menjadi kenangan tersendiri bagi kami, sebagai bumbu kehidupan dalam menjalani profesi wartawan. 

Memang tidak tabu untuk diceritakan, tapi tabu untuk diketahui oleh "orang rumah" Yang pasti, sangat tabu jika saya tidak mengucapkan terima kasih kepada Bang Syahdanur atas kiriman bukunya. Juga teman-teman mantan wartawan "Merdeka" sebagai penulis buku, kalian telah melengkapi koleksi perpustakaan saya di rumah, juga pelengkap wawasan adik-adik wartawan muda atau calon wartawan.

Sekian. Salam 

Nur Aliem Halvaima #NurTerbit

Bekasi, Selasa 19 Juli 2022.

Foto2 ; buku "Wartawan Bersuara Merdeka" yang editornya Bang Syahdanur dan Neta S Pane . Buku lainnya kenangan bersama Harmoko yang saya mau terbitkan dari kumpulan tulisan para wartawan senior. Doakan ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun