Tidaklah mengherankan jika muncul asumsi umum yang mengatakan bahwa selera musik seseorang dipengaruhi oleh kondisi sosio-ekonomi. Pendapat ini bisa dikatakan benar, meskipun tidak sepenuhnya demikian.Â
Perubahan sosial yang sedemikian cepat, globalisasi dan pengaruh budaya massa di seluruh dunia, berakibat pada perubahan selera dan pola konsumsi dalam masyarakat.Â
Awam ataupun mereka yang berasal dari kelas atas sekalipun kini dapat menikmati musik Beethoven di pusat keramaian seperti mall, cafe atau restoran. Apa yang dahulu dianggap asing bagi kebanyakan orang, kini menjadi sesuatu yang biasa.
Orang mulai melihat musik sebagai selera yang bersifat universal dan seringkali melupakan kondisi awal dari perkembangan musik. Jika pada era 70-an misalnya, orang beranggapan bahwa musik dangdut adalah selera musik orang-orang kelas bawah, namun semenjak 90-an hingga kini, persepsi tersebut telah berubah. Saat ini tidak sedikit mereka yang berasal dari kelas sosial atas menikmati dan mengapresiasi musik dangdut secara terbuka.Â
Bagi Bourdieu, selera tidak bersifat netral dan alamiah, tetapi ditentukan dan diorganisasi oleh posisi kelas sosial di masyarakat. Selera sebagai salah satu kegiatan budaya tidak dapat dilepaskan dari sistem-sistem representasi khas suatu kelompok sosial, dari posisi di dalam masyarakat, dan dari keinginan untuk menempatkan diri di tangga kekuasaan.Â
Salah satu cara seseorang membedakan diri dari kelas sosial di luar dirinya adalah melalui tiga struktur konsumsi, yaitu makanan, budaya dan penampilan. Selera merupakan salah satu bentuk struktur konsumsi budaya.Â
Bourdieu menunjukan pola-pola sosial dalam bentuk-bentuk selera yang dihubungkan dengan pembagian-pembagian sosial yang pokok seperti kelas sosial, gender, pedesaan dan perkotaan, dan antara pendidikan tinggi dan pendidikan rendah. Selera digunakan untuk menunjukan perbedaan tingkat kelas sosial masyarakat.Â
Bagi Bourdie, tiap kelas sosial memiliki selera masing-masing dan berjuang di dalam masyarakat (field) untuk menentukan dan mempertinggi lokasi mereka dalam kehidupan sosial.
Selera (sebagai manifestasi preferensi) adalah penegasan praktis dari sebuah perbedaan yang tidak bisa dihindari. Bukanlah suatu hal yang bersifat insidental ketika sebuah selera harus membuktikan kebenarannya di hadapan selera-selera yang lain. Selera tersebut akan sepenuhnya dinyatakan tidak baik (buruk) oleh selera-selera lain yang menolaknya.Â
Masalah selera di segala bidang adalah bahwa seluruh usaha selera untuk mendapatkan tempat yang pasti dan tertentu, selalu berakhir pada ketiadaan, dan dalam segala hal masalah selera mungkin adalah masalah yang pertama dan yang paling terkenal dalam menimbulkan rasa ketidaksukaan.
Berdasarkan perspektif di atas, dapat dikatakan atau disimpulkan, bahwa selera musik juga bukan suatu bakat alamiah dan tidak netral. Selera musik seseorang merupakan pengorganisasian posisi kelas sosial di masyarakat.Â
Selera musik merupakan salah satu bentuk struktur konsumsi budaya yang menjadi sistem representasi kelas sosial dan menjadi salah satu cara untuk membedakan diri dengan kelas sosial yang lain.
Ada pepatah yang mengatakan, 'de gustibus non est disputandum', yang artinya perkara selera tidak bisa diperdebatkan. Semua orang memiliki seleranya masing-masing ketika dia menilai musik.Â
Maka dari itu, selera tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita menilai kualitas suatu karya musik. Selera setiap orang tentu berbeda-beda. Sebab selera ternyata berurusan dengan sesuatu yang bersofat subjektif dan personal.Â
Persoalan selera akhirnya tidak dapat kita pungkiri sebagai salah satu aspek penting estetika abad modern. Terdapat beberapa faktor yang menentukan selera musik seseorang, di antaranya lingkungan saat bertumbuh besar, etnis dan bahasa, ditambah bila ada pelatihan khusus dalam bermusik. Selera musik secara mayoritas merupakan bagian dari aspek-aspek penting dalam hidup kita.Â
Mayoritas selera musik adalah bagian dari budaya, fashion, serta hal-hal di dalamnya seperti gaya berpakaian atau rambut. Kita mungkin dapat menyimpulkan dari jenis musik apa yang dinikmati dan bagaimana berdandan dan menata rambut.
Menjadi remaja yang bergaul di berbagai macam komunitas musik menjadikan saya terdoktrin dengan warna musik, gaya musik, serta ideologi yang ada dalam musik ataupun pergerakan penggemarnya.
Pada masa SMA awal, saya dikagumkan serta dibingungkan dengan musik yang lalulalang di telinga saya. Musik sebagai karya manusia, muncul dipikiran saya, apanya yang indah dari musik-musik tersebut? Karena dari sekian banyak musik yang sudah saya dengarkan di awal-awal SMA itu sudah cukup membuat saya mengagumi musik.Â
Walaupun sebenarnya saya belum yakin betul apakah musik yang saya dengarkan itu sebenarnya indah atau sebaliknya. Lingkungan sekolah menjadi arena ekspresi kultural kaum muda. Di sekolah juga terjadi pertempuran ideologi (dan gagasan) modernitas.Â
Sekolah tetap berperan aktif sebagai pembangun kesadaran modernitas yang formal melalui pendidikan. Pola pikir anak didik dibentuk supaya tetap sesuai dengan kaidah berpikir modern yang rasional agar anak didik memiliki kemampuan untuk bisa selalu survive menjadi warga dunia yang selalu berkembang di setiap waktunya.Â
Di sisi lain, rasionalitas hidup memberikan mereka keyakinan (serta kemampuan) untuk menjadi diri sendiri dan membangun dunia sendiri.Â
Kesadaran sebagai warga dunia membuka jalan untuk mengetahui apa yang diinginkan serta mengartikulasikan pelbagai pengaruh dan informasi yang didapatkan melalui media yang beragam.
Selepas mengarungi musik-musik yang sebelumnya, musik emo, reggae, pop melayu, dan metal seolah-olah menjadi "taman bermain" gila-gilaan bagi kaum muda seperti saya.Â
Kelompok musik yang sebelumnya telah memiliki penggemar fanatik dengan jumlahnya yang begitu banyak sehingga melahirkan komunitas penggemarnya di setiap penjuru, emo, reggae, pop melayu, dan metal hadir dengan begitu segarnya di telinga saya. Musik-musik tersebut secara psikologis menjadi medium ekspresi baru.Â
Di sini saya menganalogikan sebagai khalayak yang datang turut memadati taman bermain baru. Datang untuk mencoba pelbagai wahana permainan, datang untuk sekadar menjadi penonton, dan datang untuk berpacaran, serta datang untuk mencoba mengambil keuntungan dari suasana keramaian, misalnya berjualan atau sekadar menjadi tukang foto keliling bagi pengunjung taman bermain.Â
Analogi tersebut mengilustrasikan suasana diri saya yang meriah terhadap musik-musik tersebut. Menjadikan musik emo dan metal sekadar medium berekspresi melalui bermain musik dan menikmati musiknya.Â
Mencoba meraih keuntungan dari populernya musik pop melayu dan reggae. Hingga masuk ke dalam manajemen musik yang dipimpin oleh orangtua dari kawan, yang kelompok musiknya mengusung pop melayu dengan sasaran penikmatnya yaitu anak sekolahan.Â
Sasaran yang dimaksud yaitu event pentas seni sekolah. Dalam situasi seperti itu saya menjadikan kelompok musik dan musik yang diusungnya sebagai lahan subur bagi perekonomian saya diumur sekitar 15an. Kelompok musik tersebut tumbuh seiring dengan banyaknya aktivitas yang berkaitan dengan panggung musik.Â
Event pentas seni sekolah menjadi ruang alternatif bagi ekspresi musikal saya dan secara tidak langsung menjadi arena penting dalam pengembangan kompetensi saya dalam bermusik.
Seiring berjalannya waktu, sebagai kaum muda yang selalu haus akan musik-musik baru. Saya membawa diri saya tuk mulai mencoba menyukai berbagai macam jenis musik, yang pada akhirnya tidak hanya musik yang itu-itu saja.Â
Mencoba membebaskan selera dan selalu mengeksplor ide kreatif. Dapat dikatakan telinga saya ini selalu penasaran dengan musik-musik baru seperti musik non-mainstream dan noise music sekalipun.Â
Musik pop pada saatnya pasti akan hilang gaungnya. Faktanya, bahwa lagu-lagu pop di Indonesia semakin hari semakin tidak jelas arahnya: melankolis dan sungguh cengeng.Â
Sudah sulit mencari lagu pop yang berwibawa layaknya lagu-lagu pop yang beredar pada dekade 80 atau 90-an. Banyak keluhan, namun masih banyak juga yang suka, karena masyarakat dihadapkan pada pilihan yang "itu-itu saja", seolah tak ada yang lain.Â
Citraan saya sebagai kaum muda yang selalu haus akan ragam musik yang belum didengarkan, menjadikan manifestasi ke dalam semangat baru, yakni konsumsi musik yang relevan dengan rasa keingintahuan. Konsumsi musik menjadi praktik signifikansi kaum muda dalam mengonstruksi identitas dirinya. Sebagai kaum muda yang memiliki identitas, kesadaran resistensi terwujud dalam pola konsumsi yang "melawan" mainstream.Â
Semangat progresif kaum muda direduksi ke dalam semangat belajar di luar ruang kelas yang paling dapat mereka jangka yaitu "konsumsi". Sikap kritis kaum muda terwujud dalam sebuah praktik konsumsi yang berbeda. Mengonsumsi produk musik dengan kritis pada masa itu dimaknai dengan mengonsumsi jenis musik yang "berbeda" dan resisten terhadap selera mainstream.
Dalam situasi inilah sikap rasa terbuka terhadap berbagai macam jenis musik menjadi tawaran utopia bagi diri saya. Penikmatan berbagai macam jenis musik saya anggap sebagai representasi dari "menjadi berbeda". Dengan demikian, saya merasakan bahwa penikmat musik seperti saya memiliki selera musik yang berbeda dari orang kebanyakan.
Selera musik bukanlah sesuatu yang alamiah dan tidak bersifat netral, maka selera muncul melalui suatu proses pembentukan. Selera tidak muncul begitu saja sejak seseorang dilahirkan, tetapi memerlukan proses pembelajaran dalam pembentukannya.Â
Pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi proses pembentukan selera seseorang. Bourdieu juga mengatakan bahwa apresiasi terhadap seni membutuhkan proses pembelajaran yang panjang dan bukan hanya kesan sesaat saja. "Sebuah karya seni memiliki arti dan daya tarik hanya untuk orang yang memiliki kapabilitas kultural".Â
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa selera musik secara tidak langsung dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan di sini berupa pengenalan dan pembiasaan. Apabila seseorang dikenalkan dan dibiasakan, atau mengalami pembelajaran pada suatu konsumsi budaya seperti musik, hiburan, bacaan tertentu, maka pilihan seleranya akan terarah pada bentuk konsumsi budaya tersebut.Â
Misalnya, apabila seorang anak dikenalkan dan dibiasakan oleh orangtuanya mendengarkan musik klasik sejak kecil, maka selera musiknya akan terbentuk pada musik klasik. Pendidikan dalam proses pembentukan selera pada masing-masing kelas sosial memiliki perbedaan. Kalangan elit/kelas atas akan memperoleh proses pendidikan berdasarkan selera kelompok sosialnya, begitu juga sebaliknya di kelas bawah.
Selera tidak datang segampang itu atau sesuatu yang terberikan ke dalam diri seseorang seperti halnya bakat. Selera juga tentu tidak dapat kita pelajari secara formal seperti halnya keterampilan.Â
Maksudnya, ketika seseorang menggemari musik punk, tentu saja banyak faktor intrinsik dan ekstrinsik yang membuat seseorang menyukai musik punk. Kemudian jika berbicara selera, apakah itu mempermasalahkan bagus atau tidak bagus, enak atau tidak enak, dan keren atau tidak keren?Â
Putusan selera adalah kemampuan untuk memberikan putusan yang tanpa pamrih dan non-konseptual terkait suatu objek yang secara niscaya melahirkan kepuasan secara universal dan secara inheren mengandung tujuan, akan tetapi dievaluasi tanpa mengindahkan tujuan tersebut. Jika kita menganggap suatu karya musik itu indah, maka kita harus memahami keindahan musik itu secara universal.Â
Bukan karena alasan kepentingan ikatan moral dan kesenangan atau tujuan tertentu. Sebab, ketika kita menilai bahwa musik itu indah, maka boleh jadi keindahan itu juga akan dirasakan oleh orang lain ketika orang lain menilainya lepas dari pamrih dan tidak bersyarat.Â
Ini menunjukkan bahwa selera bukan lagi perkara subjektif individu, akan tetapi juga intersubjektif. Putusan selera tidak memiliki acuan ke dalam konsep apapun, maka putusan tersebut tidak dapat digugat melalui segala sesuatu yang rasional.Â
Selera hanya dapat dievaluasi dan dinilai berdasarkan kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan sesuatu yang otonom dan tanpa pamrih sebagai bagian dari patokan kesahihan universalnya. Justru karena bebas dari persyaratan apa pun penilaian selera dapat berlaku umum.
Penulis: Dadang Dwi Septiyan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H