Berdasarkan perspektif di atas, dapat dikatakan atau disimpulkan, bahwa selera musik juga bukan suatu bakat alamiah dan tidak netral. Selera musik seseorang merupakan pengorganisasian posisi kelas sosial di masyarakat.Â
Selera musik merupakan salah satu bentuk struktur konsumsi budaya yang menjadi sistem representasi kelas sosial dan menjadi salah satu cara untuk membedakan diri dengan kelas sosial yang lain.
Ada pepatah yang mengatakan, 'de gustibus non est disputandum', yang artinya perkara selera tidak bisa diperdebatkan. Semua orang memiliki seleranya masing-masing ketika dia menilai musik.Â
Maka dari itu, selera tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita menilai kualitas suatu karya musik. Selera setiap orang tentu berbeda-beda. Sebab selera ternyata berurusan dengan sesuatu yang bersofat subjektif dan personal.Â
Persoalan selera akhirnya tidak dapat kita pungkiri sebagai salah satu aspek penting estetika abad modern. Terdapat beberapa faktor yang menentukan selera musik seseorang, di antaranya lingkungan saat bertumbuh besar, etnis dan bahasa, ditambah bila ada pelatihan khusus dalam bermusik. Selera musik secara mayoritas merupakan bagian dari aspek-aspek penting dalam hidup kita.Â
Mayoritas selera musik adalah bagian dari budaya, fashion, serta hal-hal di dalamnya seperti gaya berpakaian atau rambut. Kita mungkin dapat menyimpulkan dari jenis musik apa yang dinikmati dan bagaimana berdandan dan menata rambut.
Menjadi remaja yang bergaul di berbagai macam komunitas musik menjadikan saya terdoktrin dengan warna musik, gaya musik, serta ideologi yang ada dalam musik ataupun pergerakan penggemarnya.
Pada masa SMA awal, saya dikagumkan serta dibingungkan dengan musik yang lalulalang di telinga saya. Musik sebagai karya manusia, muncul dipikiran saya, apanya yang indah dari musik-musik tersebut? Karena dari sekian banyak musik yang sudah saya dengarkan di awal-awal SMA itu sudah cukup membuat saya mengagumi musik.Â
Walaupun sebenarnya saya belum yakin betul apakah musik yang saya dengarkan itu sebenarnya indah atau sebaliknya. Lingkungan sekolah menjadi arena ekspresi kultural kaum muda. Di sekolah juga terjadi pertempuran ideologi (dan gagasan) modernitas.Â
Sekolah tetap berperan aktif sebagai pembangun kesadaran modernitas yang formal melalui pendidikan. Pola pikir anak didik dibentuk supaya tetap sesuai dengan kaidah berpikir modern yang rasional agar anak didik memiliki kemampuan untuk bisa selalu survive menjadi warga dunia yang selalu berkembang di setiap waktunya.Â
Di sisi lain, rasionalitas hidup memberikan mereka keyakinan (serta kemampuan) untuk menjadi diri sendiri dan membangun dunia sendiri.Â