Regulasi tertulis yang mengatur pertambangan di Indoensia muncul pertama kali pada tahun 1850 yang disebut Mijn Reglement (peraturan pertambangan). Peraturan ini diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu menjajah Indonesia setelahVOCdibubarkan pada 31 Desember 1799 karena bangkrut. Kala itu, Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen (1845-1851).
Menurut aktifis lingkungan, Siti Maimunah, melalui instrument hukum ini, Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih urusan pertambangan dari komunitas dan atau organisasi kekuasaan lokal yang ada di nusantara (Indoensia) dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi mereka. Melalui instrument hukum ini, pemerintah kolonial Belanda berhak memberikan konsesi pertambangan kepada pihak swasta. [1] Perlu diketahui, pihak swasta di sini adalah pihak swasta warga Negara Belanda atau perusahaan-perusahaan yang telah tercatat di negeri Belanda dan Hindia Belanda.
Sebelum adanya regulasi ini, kegiatan pertambangan banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat seperti komunitas perantauan masyarakat China di Bangka dan berada dibawah kendali kekuasaan Kesulatanan Palembang untuk timah di Bangka, Belitung, dan Singkep.
VOC yaitu persekutuan dagang asal Belanda (20 Maret 1602-31 Desember 1799) jauh sebelum Pemerintah Belanda menganbilalih kekuasaan atas wilayah Nusantara, pada tahun 1669tercatat mulai melakukan eksploitasi emas di Salida, Sumatera Barat. Masuknya VOC di daerah tersebut berdasarakan perjanjian dengan pengusa setempat melalui perjajian Painan pada tahun 1662.[2]
Pada 23 Mei 1899 atau 49 tahun setelah Mijn Reglement 1850, Belanda menerbitkan hukum Pertambanghan, Indische Mijin Wet (Hukum Pertambangan Indoensia). Saat itu, Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderl Jonkheer Carel Herman Aart van der Wijck (17 Oktober 1893-3 Oktober 1899).
Wet atau hukumini resmi berlaku pada 1 Mei 1907 bersamaan dengan terbitnya peraturan pelaksana berupa Mijn-ordonnantie (ordonasi pertambangan). Saat itu, Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Yohannes Benedictus van Heutsz (1904-1910).
Indische Mijin Wet dibuat oleh parlemen Belanda,Staten-Generaal der Nederlanden (Dewan Negara Belanda) dan Pemerintah di negeri Belanda danmencakup pertambanganminyak dan gas bumi serta pertambangan umum (mineral dan batubara).
Indische Mijin Wet memberikan keleluasaan kepada swasta untuk mengelolah usaha pertambangan mulai dari penyelidikan (eksplorasi), produksi (eksploitasi) hingga penjualan. Hak tersebut diberikan dalam bentuk hak konsensi yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendapatkan kompenasi berupa royalti dan pajak.
Konsesi mulanya hanya diberikan kepada warga Belanda yang tinggal di Indoensia atau perusahaan-perusahaan yang didirikan dibawah Undang-Undang pemerintah Belanda atau pemerintah kolonial Belanda.
Tetapi kemudian dalam amandemen tahuan 1910, pemerintah kolonial Belanda juga diberi kewenangan untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyelidikan (eksplorasi) dan eksploitasi (produksi) pertambangan. Dalam hal ini, pemerintah Hindia Belanda bisa menggandeng pihak swasta dalam bentuk kerja sama untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Model kerja sama pengelolaan usaha tambang berdasarkan hasil amandemen tahun 1910 ini dikenal sebagai“kontrak 5a” yang mengacu pada pasal 5a yang ditambahkan.
Masa konsesi untuk mengelola wilayah pertambangan ini (migas dan pertambangan umum) adalah 75 tahun. Pemegang hak konsesi diwajibkan membayar sewa pemakaian tanah wilayah konsesinya (land rent) kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan mineral yang dihasilkan di daerah konsesi menjadi milik pemegang konsesi.[3]
Tahun 1918, Indische Mijin Wet kembali direvisi untuk memberi peluang kepada pihak asing bukan Belanda memperoleh hak konsesi pengelolaan wilayah pertambangan selama 40 tahun dengan kewajiban membayar royalti sebesar 4% dari produksi, membayar pajak pendapatan sebesar 20%, dan pajak atas keuntungan yang dibagi sebesar 20%.
Kemudian tahun 1928, pemerintah kolonial Belanda kembali merevisi peraturan ini dengan memperpendek masa konsesi dari 75 tahun menjadi 40 tahun, pemegang konsesi wajib melakukan pengeboran sumur (untuk pertambangan migas), melepaskan sebagian wilayah konsesi,dan meningkatkan pembagian kepada pemerintah kolonial secara progresif sampai 20% dari laba bersih perusahaan.
Indische Mijin Wet juga mengatur penggolongan bahan galian menjadi dua golongan, tetapi menurut Maimunah secara tidak langsung terdapatpula bahan galiangolongan ke-3, yaitu bahan galian yang tidak tercantum dalam pasal 1 Indische Mijn Wet .
Kelak penggolongan bahan galian kedalam tiga golongan ini diadopsi pemerintah Orde Baru melalui UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang membagi bahan galian dalam golongan srtaegis, vital dan golongan yang tidak masuk klasifikasi keduanya.
Pengawasan pemerintah kolonial atas kegiatan usaha pertambangan di Hindia Belanda secara khusus diatur dalam peraturan pelaksana berupa Mijn-ordonnantie. Aturan pelaksana ini mulai berlaku pada 1 Mei 1907 bersamaan dengan berlakunya Indische Mijin Wet 1899.
Mijn-ordonnantie 1907 ini kemudian diganti dengan Mijn-ordonnantie baru yang terbit pada 25 Februari 1930 dan mulai berlaku pada 1 Oktober 1930. Dalam Mijnordonnantie 1930 ini, ketentuan mengenai keselamatan kerja pertambangan tidak diatur lagi.Ketentuan mengenai keselatan kerja diatur dalam peraturan tersendiri yaitu Mijn Politie Reglement.
Bersamaan dengan adanya regulasi pertambangan pertama pada tahun 1850, pemerintah Hindia Belanda juga membentuk “Dienst van het Mijinwezen” (Jawatan atau dinas Pertambangan) yang bertugas melakukan penyelidikan geologi dan pertambangan. Kantor pertamanya terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pust atau yang kala itu sebutannyaWeltevreden. Pada tahun 1852 hinga 1866, kantor Jawatan Pertambangan ini pindah dari kawasan Menteng ke Bogor (Buitenzorg) di dekat Kebun Raya Bogor (s’Landsplantentuin). Kemudian, tahun 1866, kantor tersebut dipindahkan kembali ke Jakarta (Batavia).
Pada tahun 1920, kantorMijinwezen ini pindah ke Bandung seiring dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bandung sebagai pusat pemerintahannya. Saat itu, Mijinwezen sudah berada dibawah naungan Departamen Pekerjaan Umum atau Depatement Burgerlijke Opebare Werken. Di Bandung, departamen ini berkantor di gedung Verkeer en Waterstaat, sekarang dikenal Gedung Sate.
Pada tahun 1922, Mijnwezen bersalin nama menjadi Mijnbouw. Dengan nama baru ini, tugas lembaga ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu Opsporingsdienst yang bertugas melakukan penyelidikan atau eksplorasi bahan galian tambang, melakukan pemetaan geologi teknik, gunung api,kimia mineral, dan metalurgi dan penyebaran hasil penyelidikan dan pemetaan. Untuk meningkatkan pencarian bahan galian tambang di luar jawa, dibentuklah Mijnbouwkunding-Geologische Onderzoekingen yang kemudian berubah nama menjadi Geologische Dienst pada tahun 1939.
Sedangkan untuk menyusun regulasi terkait pertambangan, ditangani divisi yang bernama Dienst der Mijnverorderingen. Ada juga divisiGrondpeilwezen yang bertugas di bidang pencarian air bersih, pemboran air, dan pengawasan pemboran air tanah.
Tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda membangun gedung Geologisch Laboratorium (sekarnag menjadi museum geologi) untuk kantor Mijnbouw. Gedung baru yang terletak di Wilheminaboulevard (sekarang Jl. Diponegoro 57 Bandung) tersebut selesai dibangun 16 Mei 1929, bertepatan dengan diselenggarakannya Pacific Science Congress IV.
Pada tahun 1941 tercatat ada dua pegawai pribumi pertama yang bekerja di lembaga ini yaituRaden Soenoe Soemosoesastro dan Arie Frederik Lasut.Keduanya, adalah pentolan peserta Assistent Geologen Cursus (Kursus Asisten Geologi) yang kerap diselenggarakan Mijnbouw.
Selama masa pendudukan Jepang pada 1942-1945, semua sarana dan dokumen milik Mijnbouw diambilalih oleh Jepang dan menggati namanya menjadi Chisitsu Chosasho. Kantor Chisitsu Chosasho tidak dapat berbuat banyak karena ketiadaan tenaga ahli dan anggaran. Tenaga ahli Belanda pada awalnya masih dipertahankan tetapi kemudian diinternir, kecuali mereka yang diperlukan oleh Jepang.
[1] Lihat arikel Siti Maimunah, aktifis Jaringan Advkasi Tambang (Jatam) berjudul “Rakyat dan Lingkungan Mensubsidi Industri Tambang” di https://groups.google.com/forum/#!topic/greenaceh/js-YY5VWJ2U. Artikel ini pernah dimuat dalam Analisis JATAM edisi 10 Juni 2007.
[2]Lihat artikel “Sejarah Tambang Emas Salida, Pesisir Selatan” yang ditulis ahli Pernaskahan Suryadi Sunuri di : http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/328. Artikel ini pernah dimuat di Padang Ekspres, 6 September 2009.
[3]Lihat salinan putusan Mahkamah Konstitusi No 42/PUU-X/2012 di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_42_PUU_X_2012%20telah%20baca%2013%20Des%202012.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H