Mohon tunggu...
da.styawan
da.styawan Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Pertama

Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kebumen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

May Day, Momentum Meningkatkan Daya Saing Pekerja

23 September 2018   15:58 Diperbarui: 23 September 2018   16:15 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1  Mei  diperingati sebagai hari buruh sedunia. Peringatan hari buruh, yang lebih dikenal dengan May Day, seringkali dijadikan sebagai momentum para buruh untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan secara umum di Indonesia. 

Penghapusan sistem kerja kontrak atau outsourcing, jaminan sosial dan kesehatan bagi buruh, serta peningkatan upah buruh menjadi tuntutan yang seringkali diteriakkan dalam setiap peringatan hari buruh.

Selain berbagai tuntutan tersebut, May Day juga diperingati sebagian kalangan dengan mengangkat isu-isu terkait ketenagakerjaan. Beberapa pekan terakhir, menjelang peringatan hari buruh, isu keberadaan tenaga kerja asing menjadi trending topic di berbagai media. Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 Tahun 2018 tentang penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Pemerintah menegaskan bahwa perpres tersebut bertujuan untuk menyederhanakan prosedur perizinan dan mempercepat layanan izin tenaga kerja asing bekerja di Indonesia. 

Melalui Perpres ini, pemerintah berharap investasi asing semakin deras masuk ke Indonesia, sehingga mampu meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, sebagian kalangan berpendapat terbitnya Perpres tersebut justru secara tidak langsung akan mengancam tenaga kerja lokal. 

Bagi mereka, masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia akan semakin menggerus peluang tenaga kerja lokal mendapatkan pekerjaan di negerinya sendiri.

Pihak-pihak yang kontra dengan Perpres ini kemudian mengkaitkan keberadaan tenaga kerja asing dengan kondisi tenaga kerja lokal, yaitu relatif masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. 

Dengan semakin dekatnya masa Pemilihan Presiden 2019, tak bisa dipungkiri bahwa permasalahan tenaga kerja asing telah menjadi komoditas politik yang menarik untuk diperbincangkan di berbagai forum debat dan diskusi. 

Lantas bagaimana sebenarnya potret tenaga kerja asing di Indonesia? Berapa jumlah mereka? Apa saja profesi mereka? Dan bagaimana dengan kondisi tenaga kerja lokal kita?

Potret Tenaga Kerja Asing di Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, selama tahun 2015 -- 2017, jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2015, tenaga kerja asing berjumlah 69.025 orang, lalu meningkat menjadi 74.183 orang pada tahun 2016, dan terus meningkat hingga pada tahun 2017 mencapai 85.974 orang. 

Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia, maka rasio penggunaan tenaga kerja asing pada tahun 2017 adalah sebesar 0,1 persen. Adapun rasio penggunaan tenaga kerja asing di beberapa negara Asean seperti Malaysia adalah sebesar 1,8 persen, Thailand 1,7 persen, dan Singapura 1,4 persen. Dengan demikian, sebenarnya Indonesia memiliki rasio penggunaan tenaga kerja asing yang relatif masih kecil dibandingkan beberapa negara lain di kawasan ASEAN.

Keberadaan tenaga kerja asing, jika dilihat berdasarkan negara asal, sebagian besar dari mereka yakni sebanyak 28,85 persen berasal dari China. Persentase ini meningkat 0,18 persen jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2016. 

Persentase negara asal terbanyak berikutnya adalah 15,75 persen berasal dari Jepang, 11,07 persen dari Korea Selatan, 7,25 persen dari India, dan 5,35 persen dari Malaysia. Sedangkan sisanya, tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia berasal dari negara-negara seperti Filiphina, Australia, Amerika Serikat, Inggris, Singapura, dan negara lain. 

Sementara itu, jika dilihat dari sisi jabatan, mayoritas tenaga kerja asing di Indonesia, yakni sebesar 27, 76 persen, bekerja sebagai profesional. Kemudian sebanyak 23,38 persen bekerja sebagai manager, 18,14 persen sebagai direksi, dan 14, 86 persen sebagai konsultan. Sedangkan sisanya, tenaga kerja asing di Indonesia bekerja sebagai teknisi, supervisor, dan komisaris.

Berdasarkan data-data dari Kementerian Tenaga Kerja di atas, jelas terlihat bahwa pada umumnya tenaga kerja asing di Indonesia bekerja sebagai tenaga-tenaga ahli. 

Mereka adalah seorang profesional dengan kompetensi dan keahlian di bidang tertentu. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa kebutuhan-kebutuhan terhadap tenaga-tenaga dengan keahlian di bidang tertentu relatif belum bisa dipenuhi oleh tenaga kerja lokal Indonesia. Hal ini sekaligus mengindikasikan adanya ketimpangan kompetensi antara tenaga kerja lokal dan asing. Ketimpangan ini salah satunya diakibatkan oleh relatif rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar pekerja di Indonesia.

Angkatan Kerja Didominasi Pekerja Berpendidikan SD

Teori human capital menyatakan bahwa pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang memberi banyak manfaat. Manfaat tersebut antara lain kondisi kerja yang lebih baik, efisiensi produksi, peningkatan kesejahteraan, dan tambahan pendapatan seseorang. 

Teori ini mulai dicetuskan pada tahun 1960-an oleh Theodore Schultz tentang Investment in Human Capital. Schultz menyatakan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan memposisikan manusia sebagai fokus dalam pembangunan telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini dapat dicapai melalui terjadinya peningkatan keahlian/keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.

Bagaimana dengan Indonesia? Data hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2017 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyuguhkan potret yang menarik. 

Hasil survey tersebut mencatat bahwa jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas di Indonesia yang termasuk angkatan kerja mencapai 128,06 juta orang. Jumlah tersebut naik sebanyak 2,62 juta orang apabila dibandingkan dengan keadaan Agustus 2016 dan turun sebanyak 3,49 juta orang jika dibandingkan dengan keadaan Februari 2017.

Berdasarkan tingkat pendidikan, BPS mencatat bahwa Angkatan kerja pada Agustus 2017 tersebut sebagian besar masih didominasi oleh mereka yang hanya tamat Sekolah Dasar yaitu sebesar 55,81 persen. 

Angkatan kerja yang menyelesaikan Sekolah Menengah sebesar 29,09 persen, sementara untuk tamatan Sekolah Tinggi hanya sebesar 12,08 persen. Kondisi yang relatif kurang baik ini ditunjukkan pula dengan masih adanya angkatan kerja yang tidak pernah sekolah, yakni sekitar 3,02 persen.

Kondisi diatas tentu tidak seimbang jika tenaga kerja lokal harus head to head dengan para tenaga kerja asing untuk mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini harus segera diperbaiki, agar tenaga kerja lokal tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. 

Peningkatan kompetensi dan skill tenaga kerja lokal harus dilakukan. Isu-isu terkait peningkatan kompetensi inilah yang harus diangkat ke publik, bukan hanya menghadirkan polemik-polemik yang cenderung bermuatan politik.

Berbagai upaya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga daya saing tenaga kerja lokal di Indonesia. Pertama, pemerintah harus menciptakan sistem transfer pengetahuan/skill dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja lokal. Transfer pengetahuan ini bertujuan agar keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia mendatangkan manfaat yaitu peningkatan pengetahuan dan kompetensi tenaga kerja lokal.

Kedua, Pemerintah harus benar-benar mengawasi keberadaan tenaga kerja asing dan memastikan bahwa mereka adalah tenaga ahli di bidang tertentu, bukan tenaga kasar. Ketentuan ini harus ditegakkan, sebab untuk pekerjaan-pekerjaan kasar relatif dapat dipenuhi oleh tenaga-tenaga kerja lokal Indonesia. Dengan demikian, masuknya tenaga kerja asing benar-benar dapat meningkatkan investasi,  bukan justru melahirkan invasi.

Ketiga, Pemerintah harus transparan terkait data tenaga kerja asing. Data ini harus memuat secara rinci per wilayah bukan hanya tentang jumlah tenaga kerja asing, tetapi juga profil dasar, jabatan, dan riwayat pekerjaan mereka. Transparansi ini dapat dibangun dengan mengembangkan sebuah sistem berbasis aplikasi, sehingga masyarakat dapat ikut mengawasi keberadaan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.

Pada akhirnya, peringatan hari buruh sedunia, atau May Day, harus dijadikan sebagai momentum mencari solusi terbaik untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal Indonesia. Peningkatan kompetensi ini sangat penting agar tenaga kerja lokal memiliki daya saing yang tinggi. 

Daya saing inilai yang akan membuat mereka setara atau bahkan lebih unggul daripada tenaga kerja asing. Keberpihakan pemerintah pun harus ditujukan pada tenaga kerja lokal yang masih banyak membutuhkan pekerjaan. 

Selain itu, berbagai pihak harus mampu menahan diri. Hentikan semua polemik yang tidak berujung, debat yang tidak menghadirkan solusi, serta isu-isu yang tidak berdasar fakta dan data. 

Hal ini tidak bisa ditawar, sebab semua itu hanya membuat Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang tidak produktif. Semua itu harus dihentikan, sekarang, agar Indonesia yang berdikari benar-benar dapat terwujud. Selamat hari buruh. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun