Awal Oktober, dikabari rencana pernikahan salah satu cicik (bibi) paling bungsu dari keluarga besar mama di Jarai (arah ke Pagaralam) saat dibesuk keluarga karena kecelakaan. Meski saya mengabari bahwa kami baik-baik saja, tetapi banyak yang sulit percaya, karena kecelakaan itu terekam CCTV.Â
Kami empat beranak ditabrak motor matic berkecepatan tinggi di Jalan Soekarno-Hatta. Istri dan yang sulung terpental ke belakang, saya dan si bungsu terseret bersama motor. Saat itu kami hendak ke salah satu Ponpes di Pakjo, masih pagi dan suasana agak berkabut karena asap kemarau. Jalur itu biasanya ramai oleh truk dan kendaraan besar.
Meski sempat dibawa ke IGD, si bungsu yang tergeletak di aspal seperti pingsan ternyata tidak mengalami luka serius, hanya saya yang paling banyak mengalami luka-luka.
Hingga akhir November, saya belum juga membeli tiket Kereta Api. Satu-satunya transportasi paling worth it dari Palembang tujuan ke arah sebelum Pagaralam. karena harga karcis hanya Rp29.000 saja. Masih sekitar dua jam lagi dari Kabupaten Lahat tanpa KA.
4 Desember 2023, Tiket KA Libur Nataru Ludes, tulis harian Tribun Sumsel. Saya sudah tak biasa lagi naik bis atau travel, beberapa anak ketularan tak mau naik angkutan mobil bila mudik, khawatir mabuk darat. Seminggu jelang hari H, tiket bis sudah habis. Itu pun saya kaget karena harganya sudah mencapai Rp 135.000 (saking lamanya tak naik kendaraan umum).
Terpaksa, saya sendirian berangkat. Hanya satu anak yang bisa ikut, itu pun menumpang mobil teman sekelasnya yang satu arah dan satu tujuan (karena orang tuanya bibi saya juga).
Kondisi motor yang mulai butut, ditambah kecelakaan kemarin membuat keluarga dan rekan yang saya beri kabar, keberatan dengan rencana saya, termasuk istri, "...silakan pergi sendiri!" pungkasnya.
Jumat (22 Desember)
Hanya satu setel pakaian dan baju di badan, satu tas berisi perlengkapan yang saya persiapkan semalam. Itu pun ada yang mubazir tak terpakai.
Pukul 09.25 usai mengantar anak, saya langsung berangkat. Cuaca mendung dan terlalu terlambat dari rencana pukul 06.00Â
Pukul 10.34 tiba di Universitas Sriwijaya, meski cuaca sempat panas, ternyata hujan.
Pukul 12.59 tiba di Tahu Sumedang, mendekati Prabumulih.
Pukul 13.02 bensin mulai menipis. Untung antrian sepi. Tapi tak ada pertamax.
Pukul 13.19 makan pindang patin di Rumah Makan Sinar Pegagan Rp20.000 per porsi tanpa minum. Sebelumnya juga belanja buah nangka kupas Rp20.000 sekilo.
Sepanjang jalan cuaca mendung, ternyata sangat mendukung perjalanan jauh, mesin dan roda tak terlalu over heat. Meski sering berhenti.
Pukul 16.26 Hujan deras di Kecamatan Gunung Megang.
Pukul 17.44 Tiba di Kota Muaraenim masih suasana gerimis. Kota Lahat masih 43 kilometer lagi.
Pukul 18.33 Hujan semakin deras, kendaraan truk fuso pengangkut batubara mulai berjejer sangat panjang, beberapa ruas jalan yang macet juga karena melewati perlintasan KA.
Pukul 19.28 Saat Isya akhirnya sampai di rumah. Mestinya, sebelum pukul 17.00 sudah harus tiba di rumah, agar terhindar dari kemacetan. Idealnya, jarak tempuh dengan kendaraan umum hanya 4-5 jam saja. Rumah kosong, karena keluarga sudah lebih dulu berangkat kemarin.
Sabtu (23 Desember)
Pukul 05.56 Kembali melanjutkan perjalanan. Kembali mengisi bensin, tetapi SPBU masih tutup, terpaksa beli eceran.
Pukul 07.07 Rantai motor mulai kendor, untung ada bengkel pinggir jalan yang sudah buka. Saat mendekati perbatasan Pagaralam, motor sempat mogok usai menyalip truk di tanjakan.
Pukul 08.14 Melewati liku Endikat, khawatir kembali mogok di tanjakkan dengan jurang di satu sisi.
Pukul 09.56 Melewati Kota Pagaralam, lanjut lagi ke Jarai, tinggal beberapa kilometer lagi.
Ahad (24 Desember)
Usai dua hari acara pernikahan Cicik Fifit (kayaknya dieja Pipit), petang hari meski mendung, sempat ziarah ke makam nenek, melewati Pasar Jarai yang dulunya ada lapangan bola di seberang jalan. lanjut ke Tempat Wisata Ayek Pacar, sepertinya ini tempat pemandian, jadi kami hanya melihat-lihat sekilas dari luar.Â
Sebelumnya, di pagi hari, saya berkeliling belakang rumah nenek. Terlalu banyak yang berubah disini, kolam ikan yang sudah tidak ada berganti semak. Puncak Gunung Dempo sudah sulit dilihat. Aroma kopi dari tempat penggilingan yang nyaris tak ada lagi.
Senin (25 Desember)
Pukul 08.43 Sebagian keluarga mulai pulang. Anak saya turut rombongan, dengan travel gelap. Ia sepertinya trauma naik mobil dengan AC karena mabuk sepanjang jalan.
Pukul 09.21 Mampir sebentar ke salah satu icon (menurut saya) Desa Jarai, yakni situs mirip Ruang Terbuka Hijau dengan beberapa pohon pinus sangat tua. Dulu, waktu kecil kami sering nongkrong disini. Kini, sudah ditutup untuk publik.
Pukul 11.23 Coba ke Situs Megalitikum di Tebing Tinggi. Awalnya ragu karena lokasi kata warga tak jauh,untunglah ia memastikan hanya lima menit. Tetapi, masuk ke lokasi lebih mirip ke kebun dan sempat nyasar. Situs purbakala ini hanya sering saya baca di buku atau sejarah. Sayang sekali, saya tak terpikir mampir ke lokasi wisata Plang Kenidai.
Siang menjelang sore usai istirahat di Lahat, mengajak anak dan keponakan ke Pasar Malam di Citimall, cukup jalan kaki dari rumah. Sekalian mencari jas hujan, karena kami akan berdua saja pulang ke Palembang besok.
Selasa (26 Desember)
Apakah aman tanya rekan saya via pesan singkat, "Yaaa, Allaaaah... Beduo bocah.... Apo dak papo, tuh?" saat tahu saya membawa anak dalam perjalanan jauh. Begini ceritanya:
Pukul 07.57 dari rumah dengan cuaca mendung hingga ke arah Muaraenim. Sempat berpapasan dengan warga yang membawa seember sarang lebah, kami membeli madu hutan.
Kemudian pukul 10.05 istirahat dan mengisi bensin Rp 27.000 lanjut makan durian di pinggir jalan satu jam kemudian.
Pukul 12.55 Tak jauh dari Simpang Belimbing, istirahat di masjid karena cuaca mulai panas. Meski ngantuk kata si bocah, ia meminta lanjut jalan. Bawa speaker bluetooth supaya tak bosan tapi malah tak terpakai sepanjang jalan.
Pukul 13.45 Mencari tempat teduh dengan banyak pohon di pinggir jalan. Ia bergelantungan ala Tarzan di ranting yang menjulur dari atas pohon. Tanaman apa ini? Pikir saya.
Pukul 14.51 Rencananya kembali makan pindang, tetapi malah makan bebek bakar, dia habiskan ayam kampung bakar seporsi sendiri. Ini menu yang paling mahal rupanya, lewat Rp 80.000
Pukul 16.42 Istirahat kembali di Masjid Al Asmaul Husna yang mirip Masjidil Aqsa.
Pukul 17.34 Melewati Universitas Sriwijaya, buru-buru berangkat lagi. Tak sempat membalas pesan singkat yang dikirim istri:
"Nah.. kemalaman Bi, kalian. Cak mana  Qinqin, Bi...?"
Sebelum azan Maghrib kami sudah masuk Kota Palembang, hilang kantuknya anak-anak pas tiba di rumah. Jadi, apakah worth it?
"Ya, kalau hanya berdua..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H