Belum pernah sebelumnya saya sesenang ini melihat keputusan SBY.
Ibarat klub, sebagai penggemar Liverpool saya selalu memandang sosok beliau sebagai MU.
Saya akui kehebatannya, tapi kalau disuruh mencintai mendukung, saya akan lebih memilih hijrah jadi penggemar sepak takraw saja.
***
Saya memang penikmat sepakbola, sebagaimana juga saya penikmat dinamika politik di Indonesia dan dunia. Hanya karena alasan kodrat terlahir di era Liverpool jaya, dan klub ini yang paling sering ditayangkan pertandingannya di stasiun televisi nasional di minggu pagi, yang membuat saya sejak usia 6 tahun hanya tahu satu klub yang menarik hati.
Demikian pula, hanya karena kodrat terlahir di era Orde Baru, maka saya cukup kenyang menyaksikan gejolak politik. Mulai dari gejolak semu di masa Soeharto yang represif, sampai gejolak mimpi nan tak terkendali selepas era reformasi.
Tapi dari keduanya saya belajar.
Belajar bagaimana menikmati menonton dinamika dunia sepak bola sementara klub yang disukai bertahun tahun tidak pernah menjuarai kompetisi.
Belajar bagaimana pertandingan yang seru, permainan yang cantik, sportivitas yang terjaga dan pemain yang ndak petakilan mencurangi atau apalagi menyakiti pemain lain, adalah kenikmatan sesungguhnya dari sebuah pertandingan, terlepas siapa atau klub mana yang jadi pemenang.
Di dunia politik, saya pun mau tak mau akhirnya sampai pada pola pikir yang sama. Saya sudah berhenti mendukung satu partai, jauh lebih lama dibandingkan saat saya mengenyahkan tayangan televisi lokal, sinetron berita kriminal dan debat politik awur-awuran dari kamus tayangan di rumah saya.
Bagi saya, parpol mana yang juara ndak penting-penting amat. Saya sudah berlepas dari kekuatiran kalau si anu berkuasa maka akan jadi begini atau begitu. Kalau partai anu berkuasa, negara akan dibawa ke jurang kehancuran. Saya sudah hidup cukup lama untuk bisa percaya, kekuatiran begitu hanya kembang-kembang dinamika politik saja.