Namun, meskipun jumlah media massa digital terus bertambah, hanya 902 media daring yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers hingga awal 2023. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak media massa digital yang belum memenuhi standar profesionalisme dan kode etik jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Fenomena ini menggambarkan realitas bahwa media sosial semakin mendominasi ruang informasi masyarakat. Namun, media massa konvensional tetap memiliki peluang untuk menjaga eksistensinya dengan meningkatkan kualitas jurnalisme, memanfaatkan platform digital, dan memperkuat kredibilitas sebagai sumber informasi yang tepercaya. Kolaborasi antara media massa dan media sosial dapat menjadi solusi dalam menciptakan ekosistem informasi yang sehat di era digital.
Hegemoni media sosial        Â
Media sosial telah menjadi saluran publik untuk konsumsi berita, hiburan, dan interaksi sosial. Dengan jumlah pengguna yang sangat besar serta pola penyebaran informasi yang cepat, media sosial telah mengubah lanskap komunikasi dan informasi publik. Fenomena ini memunculkan dominasi atau "hegemoni" media sosial yang memberikan dampak signifikan pada eksistensi media massa konvensional.
Hegemoni media sosial membawa perubahan besar dalam pola konsumsi informasi. Masyarakat kini lebih sering mengakses berita melalui media sosial dibandingkan media massa, yang mengakibatkan media konvensional kehilangan audiens. Penurunan jumlah audiens ini berdampak pada menurunnya pendapatan media massa, memaksa banyak perusahaan media mengurangi liputan mendalam yang membutuhkan biaya besar. Akibatnya, kualitas berita yang disajikan menurun.
Selain itu, media sosial memungkinkan diseminasi informasi yang sangat cepat namun cenderung dangkal. Informasi yang tersebar melalui media sosial sering kali belum melalui proses verifikasi yang ketat, sehingga meningkatkan risiko penyebaran berita yang tidak akurat atau menyesatkan.
Tantangan media massa
Media sosial memfasilitasi penyebaran informasi secara instan, yang menyebabkan konsumen beralih dari media massa konvensional ke platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok untuk mendapatkan berita terkini. Konten yang viral di media sosial sering kali lebih menarik perhatian dibandingkan dengan berita dari media konvensional. Hal ini memaksa media massa untuk bersaing dengan algoritma platform digital yang lebih memprioritaskan konten "populer" daripada konten yang "berkualitas."
Di sisi lain, banyak perusahaan kini lebih memilih mengalokasikan anggaran iklan ke media sosial karena platform tersebut memungkinkan penargetan audiens yang lebih spesifik dan terukur. Akibatnya, media massa konvensional mengalami penurunan pendapatan dari iklan cetak maupun tayangan sehingga dapat mengancam keberlanjutan bisnis mereka.
Selain itu, penyebaran informasi yang tidak terverifikasi di media sosial menjadi tantangan serius bagi media massa dalam mempertahankan kredibilitasnya sebagai sumber informasi yang tepercaya. Maraknya penyebaran hoaks atau berita palsu di media sosial semakin mengaburkan batas antara berita yang valid dan informasi yang salah. Situasi ini membuat publik semakin skeptis terhadap semua sumber berita, termasuk media massa konvensional.
Lantas, bagaimana media massa konvensional menghadapi tantangan tersebut? Tentunya, diperlukan sejumlah strategi agar keberadaannya tidak ditinggalkan oleh masyarakat. Salah satu langkah paling utama adalah dengan menjaga dan terus meningkatkan kualitas jurnalistik melalui penyajian liputan mendalam dan investigasi yang memberikan nilai lebih, sesuatu yang tidak dapat ditemukan di media sosial. Selain itu, tetap fokus pada akurasi, kredibilitas, dan integritas berita menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.